Sepasang pengantin remaja, laki-laki 17 tahun dan perempuan 15 tahun, warga Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, melangsungkan ijab kabul pada Selasa (19/7/2022). Pernikahan dini dijadikan jalan pintas untuk keluar dari jerat kemiskinan, tetapi hal itu justru melanggengkan penderitaan. KOMPAS/AHMAD ARIF

Sepasang pengantin remaja, laki-laki 17 tahun dan perempuan 15 tahun, warga Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, melangsungkan ijab kabul pada Selasa (19/7/2022). Pernikahan dini dijadikan jalan pintas untuk keluar dari jerat kemiskinan, tetapi hal itu justru melanggengkan penderitaan.

 

Ketika ladang tak boleh lagi ditanami, petani Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah jatuh dalam kemiskinan. Anak-anak berhenti sekolah dan pernikahan dini dijadikan jalan keluar. Namun, ternyata itu hanya melanggengkan kemiskinan, bahkan memperdalam tragedi.

Malam itu, Selasa (19/7/2022), sepasang remaja duduk di lantai rumah panggung kayu di tepi Sungai Kapuas. Mereka duduk berhadapan disaksikan keluarga dan penghulu untuk menjalani ijab kabul.

Pengantin laki-laki masih 17 tahun, tamatan sekolah dasar dan sekarang bekerja sebagai petambang emas ilegal. Sementara pengantin perempuan baru menginjak 15 tahun, putus sekolah kelas II sekolah menengah pertama. Keduanya bertetangga, sama-sama lahir dan besar di Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas.

Ruangan tamu 2 meter x 3 meter itu disesaki kerabat dan tetangga. Tak ada dekorasi khusus. Remaja laki-laki berkemeja putih berbaju hitam dengan kopiah dan remaja perempuan berkaus lengan panjang putih dan kerudung hitam.

Di Desa Kalumpang saja setidaknya tiga anak sudah dinikahkan dini dalam enam bulan terakhir.

Tangan pengantin laki-laki menggenggam erat penghulu, yang menuntunnya mengikrarkan janji nikah. Sementara pengantin perempuan lebih banyak menunduk sambil sesekali menutup mulut.

Pembacaan ijab kabul harus diulangi sebelum kemudian penghulu bertanya kepada para saksi. ”Sah…?” Seketika, keluarga dan tamu mengiyakan dan ruangan itu pun gegap gempita oleh ucap syukur.

Baca juga : Anak dan Kaum Muda Harus Tahu Risiko Perkawinan Anak

Tera Listi (16) merekam upacara pernikahan temannya menggunakan telepon genggam. Pengantin alki-laki itu kakak kelasnya semasa SD, sedangkan pengantin perempuan adik kelasnya di SMP. ”Kalau saya tidak mau menikah cepat-cepat,” kata Tera yang baru masuk sekolah menengah atas (SMA) ini.

Tera beruntung bisa melanjutkan SMA. Kebanyakan temannya, terutama perempuan, berhenti di SMP. ”Saya ingin melanjutkan kuliah dan bekerja di luar,” lanjutnya.

Suasana di Desa Kalumpang, Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, pertengahan Juli 2022.KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Suasana di Desa Kalumpang, Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, pertengahan Juli 2022.

Namun, Tera sadar betul impian ini tidak akan mudah diraih. Seperti petani lain di Desa Kalumpang, kondisi ekonomi keluarganya memburuk semenjak larangan berladang pada 2015. Fenomena ini meluas di desa-desa peladang lain di Kalimantan Tengah, yang di antaranya bisa ditandai dengan kecenderungan penurunan tingkat pendidikan anak sebagaimana tercatat pada Kalimantan Tengah dalam Angka.

Angka partisipasi murni (APM) anak di Kapuas yang masuk sekolah dasar (SD) meningkat, yaitu dari 97,73 persen pada 2014 menjadi 99,15 persen pada 2021. Namun, APM anak yang masuk jenjang SMP menurun, yaitu dari 85,95 persen pada 2014 menjadi 75,16 persen pada 2021. Banyak anak yang berhenti di SD.

”Dulu kami bisa mencukupi kebutuhan makan dari berladang. Panen padi cukup untuk makan, bahkan lebih dan bisa dijual. Sayur dan ikan juga tidak beli. Semua ada di ladang. Hasil kebun karet untuk biaya sekolah,” kata Sanyo, kerabat mempelai perempuan, yang juga Mantir (Ketua) Adat Desa Kalumpang.

Namun, tambah Sanyo, semenjak kebakaran hebat di hutan dan lahan pada 2015, para petani dilarang berladang. Mereka yang kedapatan membuka ladang dengan cara membakar ditangkap. Kegiatan berladang tradisional turun-temurun selama ribuan tahun oleh orang-orang Dayak Ngaju ini dituding sebagai sumber kebakaran lahan dan emisi karbon.

”Sejak itu, kami harus membeli beras dan kebutuhan pangan lain. Akhirnya, sekolah anak jadi korban,” kata Sanyo.

Baca juga : Larangan Bakar dan Solusi Masih Belum Ketemu

Tak hanya berdampak ekonomi. Menurut Etnawati (42), warga Kalumpang, pelarangan berladang juga mengganggu rumah tangga. Suaminya harus bekerja menjadi buruh sedot emas ilegal dan hanya pulang ke rumah sebulan sekali. Itu pun hasilnya tak menentu, sering kali tak cukup untuk bayar utang di warung tetangga.

”Setiap bulan kami bon kebutuhan pokok dari warung, biasanya dibayar kalau suami pulang. Namun, sering hasil menambang tidak cukup membayar utang,” ujarnya.

Sejak awal tahun Etnawati terpaksa menjadi buruh harian lepas di perkebunan sawit. Ia diupah Rp 110.000-Rp 140.000 per hari, tergantung luasan kebun yang dibersihkannya.

Setiap hari ia bangun pukul 03.00 untuk menyiapkan makanan bagi dua anaknya, yang salah satunya masih berumur 3,5 tahun. Karena tidak ingin repot, dia biasanya hanya memasak nasi, mi instan, telur, atau ikan asin yang akan menjadi menu pagi hingga siang.

Salah seorang pengepul buah tandan sawit di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menimbang buah tandan sawit milik petani pada Selasa (26/4/2022).KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Salah seorang pengepul buah tandan sawit di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menimbang buah tandan sawit milik petani pada Selasa (26/4/2022).

Etnawati harus sudah berangkat ke kebun sawit pada pukul 04.00 dan baru kembali ke rumah pukul 16.00. Si bungsu yang masih balita itu diasuh kakak lelakinya yang baru berusia 15 tahun.

”Saya kasih tahu anak, udah ampih (berhenti) saja sekolah, tapi jangan kasih tahu Bapak. Mending bantu Ibu sama Bapak saja kerja,” katanya.

Anaknya pun berhenti sekolah. Namun, karena masih berumur 15 tahun dan belum ber-KTP, dia belum bisa diterima bekerja di perkebunan sawit. ”Kalau saja anak saya perempuan, pasti sudah saya nikahkan seperti beberapa anak lain di kampung,” ucapnya.

 

Anak jadi korban

Pernikahan dini dianggap sebagai jalan pintas untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Menurut Margaretha Winda, Ketua Serikat Perempuan (SP) Mamut Menteng Kalteng, tren pernikahan dini di Kalteng sebenarnya telah berlangsung sejak lama.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan, provinsi di Indonesia dengan angka perkawinan anak paling tinggi untuk rentang usia 15–18 tahun adalah Kalimantan Tengah (52,1 persen), Jawa Barat (50,2 persen), Kalimantan Selatan (48,4 persen), Bangka Belitung (47,9 persen), dan Sulawesi Tengah (46,3 persen). Ada kecenderungan kenaikan angka pernikahan dini yang tercatat SP Mamut Menteng.

Baca juga : Tidak Ada Pembenaran bagi Perkawinan Anak

”Kabupaten Kapuas termasuk paling banyak kasus. Di Desa Kalumpang saja setidaknya tiga anak sudah dinikahkan dini dalam enam bulan terakhir. Salah satu anak yang biasa ikut membantu kami kalau di lapangan juga mau menikah bulan September mendatang,” tuturnya.

Rata-rata perempuan yang menikah dini ini masih berusia 16 tahun atau bahkan kurang. Berdasarkan pengakuan calon mempelai perempuan, alasan mau menikah dini adalah ingin membantu meringankan beban keluarga. ”Padahal, yang banyak terjadi kemudian adalah munculnya banyak masalah baru,” kata Winda.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/9VNZ8mSWlIRkjHwPn6eXsgzz2H4=/1024x991/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F02%2F16%2F20200216-NSW-Pernikahan-Usia-Anak-2-mumed_1581839400_png.png

Pernikahan anak jelas bukan jalan keluar dari masalah sosial dan ekonomi. Sebaliknya, hal ini kerap menjadi sumber berbagai persoalan baru, baik bagi anak itu sendiri maupun bayinya. Winda mencontohkan, pada 2020 dirinya mendampingi anak perempuan usia 10 tahun yang dinikahkan dari Desa Sei Ahas, Kecamatan Mentangai.

”Anak ini bahkan belum haid dan akhirnya mengalami pendarahan saat digauli suaminya yang masih 17 tahun sehingga harus mendapatkan perawatan,” ungkapnya.

Banyak kasus pernikahan dini yang berakhir pada kekerasan dalam rumah tangga, bahkan kemudian memicu konflik antarkeluarga. ”Anak-anak ini belum matang secara emosional sehingga kalau ada masalah rentan berujung cekcok dan kekerasan. Padahal, status pernikahannya tidak melalui catatan sipil karena masih di bawah umur,” katanya.

Pernikahan dini memang tidak melulu soal ekonomi. Namun, hal ini juga menyangkut pendidikan dan kadang budaya. Dalam kasus di Desa Kalumpang, pelarangan berladang itu jelas berkontribusi menyebabkan anak-anak dipaksa menikah dini dan mengorbankan masa depan.

Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center