https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/znx8TrpXl8Jv5KVuSl-bjbjONKc=/1024x1672/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201223-Opini-6_Pertanian-dan-Pangan-2020_1608734384.jpg

Tahun 2020 diawali dengan pandemi virus terbesar di abad modern tepat 100 tahun setelah pandemi flu Spanyol yang memakan korban lebih dari 50 juta orang pada 1918-1920.

Selain dampak ke kesehatan, dunia juga khawatir dampak besarnya pada pertanian yang menyebabkan krisis pangan dunia (FAO 2020). Pada Maret-Mei 2020, berita mengenai krisis pangan dunia mendominasi berita terkait pertanian dan pangan.

Pada April muncul laporan The Global Report on Food Crisis 2020, hasil kajian 16 organisasi dunia terkait ”krisis pangan akut” yang akan menimpa banyak negara di dunia. Pada bulan yang sama, Presiden Jokowi memperingatkan Kabinet Indonesia Maju terkait ancaman krisis pangan di tengah pandemi Covid-19.

Baca juga : Anatomi Krisis Pangan Baru

Peringatan Presiden sekaligus menjadi dasar program peningkatan produksi pangan nasional yang dikenal dengan food estate, terutama di bekas proyek lahan gambut 1 juta hektar.

Enam kementerian terlibat langsung dalam proyek besar ini: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian Pertahanan. Proyek kemudian diperluas ke Sumatera Utara dan Papua dengan luas sekitar 2 juta hektar.

Apakah krisis pangan dunia 2020 akhirnya terjadi sebagaimana diperingatkan oleh FAO? Dalam artikel ”Krisis Pangan 2020” (DA Santosa, Kompas 21/4/2020), penulis memprediksi krisis pangan dunia tak akan terjadi. Produksi serealia dunia 2019/2020 justru mencapai rekor tertinggi menembus 3 miliar ton, jauh melampaui produksi saat krisis pangan dunia 2011/2012 sebesar 2,1 miliar ton (FAS-USDA 2010-2020).

Harga pangan di masa awal pandemi justru terus menurun.

Serealia merupakan produk pertanian teramat penting yang digunakan sebagai pangan pokok hampir seluruh penduduk di bumi dan bahan baku utama pakan ternak.

Harga pangan di masa awal pandemi justru terus menurun. Indeks harga pangan dunia mencapai puncak tertinggi Januari sebesar 102,5 dan terus mengalami penurunan hingga 91,1 pada Mei dan setelah itu mengalami peningkatan lagi hingga saat ini (FAO World Food Situation, Desember 2020).

Baca juga : Krisis Pangan 2020

Kondisi ini sangat berbeda dengan krisis pangan dunia 2007-2008 dan 2011 di mana Indeks Pangan Dunia mencapai angka 225,8 (Juni 2008) dan 240,1 (Februari 2011) yang menyebabkan guncangan politik besar di Afrika Utara dan Timur Tengah dan tumbangnya berbagai rezim di sana, dikenal dengan Arab Spring.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/sI2MB-oeWofQ4_a9zQanq_KM-4Q=/1024x640/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2Fd455fcd7-fc6b-46f7-ab6b-c71bca986a7c_jpg.jpgKOMPAS/AGUS SUSANTO

Buruh tani membawa gabah kering di Desa Karangsegar, Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (15/12/2020). Pusat Informasi Harga Pangan Strategis mencatat, harga rata-rata beras nasional di konsumen terus turun dari Rp 11.900 per kg pada 1 April menjadi Rp 11.800 per kg pada 2 Oktober.

Pertumbuhan dan neraca perdagangan pertanian

Bagaimana kondisi pertanian 2020 di Indonesia? Di tengah resesi ekonomi dengan kontraksi 5,32 dan 3,49 persen di triwulan II dan III-2020 (year-on-year) dan penurunan tajam pertumbuhan empat sektor utama, yaitu industri pengolahan, konstruksi, perdagangan, dan penyedia akomodasi; sektor pertanian menjadi satu-satunya yang tumbuh positif.

Baca juga : Kebangkitan Neo-pertanian

Sektor pertanian tumbuh 0,02 persen di triwulan I dan kemudian meningkat menjadi 2,19 dan 2,15 persen pada triwulan II dan III (BPS 2020). Meskipun pertumbuhannya lebih rendah daripada rata-rata tahun-tahun sebelumnya, capaian ini tetap harus diapresiasi.

Neraca perdagangan pertanian juga menunjukkan angka yang menggembirakan. Di tengah pendapat bahwa pandemi menyebabkan guncangan sistem logistik pangan dunia serta produsen pangan menahan produknya, yang terjadi justru sebaliknya.

Ekspor komoditas pertanian Indonesia justru meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya.

Ekspor komoditas pertanian Indonesia justru meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya. Ekspor tumbuh dari 21,1 miliar dollar AS menjadi 24,0 miliar dollar AS atau 13,7 persen (Januari-Oktober) yang didominasi produk perkebunan kelapa sawit.

Peningkatan ekspor juga diikuti peningkatan impor produk pertanian, tetapi dalam laju lebih rendah. Selama periode Januari-Oktober 2020, Indonesia menikmati surplus perdagangan komoditas pertanian 7,9 miliar dollar AS, lebih tinggi dibandingkan 2019 (6,6 miliar dollar AS).

Baca juga : Nilai Ekspor Agrikultur Sulut Meningkat Pesat

Di subsektor tanaman pangan tidak terdapat perkembangan menggembirakan. Impor komoditas pertanian nonperkebunan justru kian meningkat setiap tahun dan 2020 impor mencapai titik tertingginya selama delapan tahun terakhir, yaitu 11,8 miliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan subsektor ini mencapai 9,7 miliar dollar AS (Januari-Oktober 2020) (Kementan, 2020).

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/3OjudnCDodXgDtsD8Q_yOGjraY0=/1024x586/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2F20200812_195238_1597236908.jpgSUMBER: GABUNGAN PENGUSAHA KELAPA SAWIT INDONESIA

Kinerja ekspor produk kelapa sawit Indonesia sepanjang semester-I 2020

Kesejahteraan petani

Salah satu indikator paling sederhana untuk menilai kesejahteraan petani adalah nilai tukar petani (NTP). NTP adalah nisbah antara indeks harga yang diterima petani dari hasil menjual produk yang dihasilkannya dengan indeks harga yang dibayar petani untuk produk yang tak mereka hasilkan.

NTP sempat mencapai titik tertinggi enam tahun terakhir pada Januari 2020, yaitu 104,2, setelah itu menurun drastis di masa awal pandemi dan mencapai titik terendah pada Mei 2020 di angka 99,5. Rata-rata NTP setelah Mei 2020 adalah terendah enam tahun terakhir (BPS 2014-2020).

NTP petani hortikultura anjlok tajam dari 105,2 di Januari menjadi hanya 97,4 di September 2020 akibat jatuhnya harga produk hortikultura di periode tersebut. Baru dua bulan terakhir ini, harga produk hortikultura membaik dan meningkatkan NTP petani hortikultura.

Penurunan harga berbagai produk pertanian di Indonesia bukan akibat peningkatan produksi, melainkan lebih karena penurunan permintaan.

Petani yang paling menderita di 2020 adalah yang bergerak di subsektor peternakan, dengan NTP rata-rata hingga November 2020 hanya 98,0, jauh lebih rendah dibandingkan lima tahun terakhir yang ada di kisaran terendah 105,5 dan tertinggi 110,2.

Penurunan harga berbagai produk pertanian di Indonesia bukan akibat peningkatan produksi, melainkan lebih karena penurunan permintaan. Petani yang menikmati tingkat kesejahteraan tertinggi saat ini adalah petani tanaman perkebunan rakyat. NTP mereka melonjak drastis sejak Juni 2020.

Evaluasi pangan 2020

Kondisi pangan di Indonesia tak jauh berbeda dengan dunia. Harga pangan pokok sumber karbohidrat dan protein tak memperlihatkan gejolak berarti. Harga beras sempat naik hingga Mei, tetapi kemudian mengalami penurunan hingga saat ini.

Baca juga : Momentum Kemandirian Pangan

Dari hasil survei AB2TI di 46 kabupaten sentra produksi, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani terus naik dari Rp 4.311 per kilogram (kg) pada Maret menjadi Rp 4.800/kg pada September, tetapi setelah itu menurun hingga Rp 4.483/kg pada November, jauh lebih rendah dibanding 2019 (Rp 4.950) dan 2018 (Rp 5.208). Harga gabah di tingkat petani 2020 mencapai titik terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, mengisyaratkan penurunan kesejahteraan petani padi.