Program lumbung pangan atau food estate nasional di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo. Namun, hingga kini masyarakat kebanyakan belum mengerti bagaimana konsep lumpung pangan itu.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/lgd6ggckebXAskgqE5BfQUpPn_0=/1024x557/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20201027_150543_1603786150.jpgBPMI SETPRES/LAILY RACHEV

Presiden Joko Widodo meninjau kawasan lumbung pangan nasional di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Selasa (27/10/2020).

Pemerintah diminta mengomunikasikan konsep lumbung pangan sejak awal secara menyeluruh. Lumbung pangan harus mengakui hak ulayat, melibatkan masyarakat sekitar, melindungi komoditas pertanian lokal, dan menjaga kualitas lingkungan Danau Toba. Lumbang pangan juga jangan menambah konflik agraria di Sumut.

”Presiden Joko Widodo sudah meresmikan program food estate di Humbang Hasundutan. Namun, hingga kini masyarakat belum mengerti konsepnya seperti apa,” kata Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi, Kamis (29/10/2020).

Delima mengatakan, hingga kini, masyarakat belum tahu bagaimana konsep kepemilikan lahan, pengelolaan, pelibatan masyarakat, dan peran investor dalam program food estate di Humbang Hasundutan. ”Masyarakat hanya mendengar akan ada sejumlah investor yang mengelola lumbung pangan. Namun, bagaimana porsinya dan apa peran masyarakat belum jelas seperti apa,” kata Delima.

Baca juga:  Presiden Resmikan Lumbung Pangan di Sumut, 60.000 Hektar untuk Bawang dan Kentang

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/ShTDXg8N5a6VlocvJL1I84kNBQM=/1024x687/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2FIMG_20200814_213107_1597415551.jpgHUMAS PEMPROV SUMUT

Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, dan Sekretaris Daerah Sumatera Utara Sabrina (dari kiri ke kanan), Sabtu (20/6/2020).

Presiden meresmikan kawasan lumbung pangan nasional seluas 60.000 hektar di empat kabupaten di Sumatera Utara yakni Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Pakpak Bharat, pada Selasa (17/10/2020). Presiden pun meninjau langsung program lumbung pangan perdana di Desa Siria-Ria, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan.

Program lumbung pangan di Humbang Hasundutan dilaksanakan di dataran tinggi di sekitar Danau Toba dengan mengembangkan komoditas kentang, bawang merah, dan bawang putih.

Delima mengatakan, pada prinsipnya masyarakat mendukung program ketahanan pangan yang dilaksanakan pemerintah, tetapi harus tetap berpihak pada kepentingan masyarakat. Salah satu persoalan yang disorot masyarakat adalah tentang kepemilikan lahan

Konflik agraria

Sebagian areal lumbung pangan di Sumut disiapkan pemerintah dengan mengurangi konsesi PT Toba Pulp Lestari, perusahaan berbasis hutan tanaman industri di Sumut. Pada 28 Juli 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dalam surat keputusannya nomor SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020 mengurangi area Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) PT Toba Pulp Lestari seluas 16.574 hektar.

Dalam surat keputusan itu ditulis, pengurangan itu dilakukan untuk mendukung kebijakan pemerintah menyiapkan usulan lokasi ketahanan pangan seluas 14.826 hektar, pengembangan kebun raya seluas 1.120 hektar, kawasan hutan dengan tujuan khusus dan kemenyan masyarakat seluas 618 hektar, pengembangan herbal pemerintah daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan, serta TPA sampah Kabupaten Simalungun seluas 10 hektar.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/IckgZFoJaqEpHHu4PSHSu_pQllM=/1024x681/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_1949917_44_0.jpegKOMPAS/ICHWAN SUSANTO

Masyarakat Adat Panduman Sipituhuta menunjukkan hutan adat kemenyan di Kabupaten Humban Hasudutan, Sumatera Utara, Senin (26/8/2013).

Selama ini, sebagian areal konsesi yang dikurangi itu adalah obyek konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan. Selain untuk areal lumbung pangan, pelepasan sebagian konsesi juga untuk menyelesaikan konflik agraria. ”Karena itu, pengadaan lahan untuk lumbung pangan harus mengakui hak ulayat agar tidak menimbulkan konflik baru,” kata Delima.

Karena itu, pengadaan lahan untuk lumbung pangan harus mengakui hak ulayat agar tidak menimbulkan konflik baru. (Delima Silalahi)

Peta lokasi lumbung pangan di Humbang Hasundutan pun sudah dibuat pemerintah. Namun, masyarakat tidak mengetahui kawasan mana di desanya yang menjadi lumbung pangan. Di Desa Pandumaan dan Sipitu Huta, misalnya, ditetapkan kawasan lumbung pangan seluas 280 hektar. ”Namun, masyarakat tidak tahu di mana kawasan lumbung pangan itu,” kata Delima.

Padahal, masyarakat di dua desa itu sudah 11 tahun terlibat konflik agraria dengan PT TPL karena hutan adat mereka juga diklaim sebagai area konsesi. Masyarakat adat pun mendapat angin segar ketika Presiden Jokowi mengundang mereka ke Istana dan mengukuhkan 5.172 hektar Tombak Haminjon (hutan kemenyan) sebagai hutan adat. Kawasan itu pun dikeluarkan dari konsesi PT TPL.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/cyCquwyisD5buTapNiAJCY6gxAA=/1024x682/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_27917653_39_0.jpegKOMPAS

Presiden Joko Widodo (kanan) disaksikan Menko Polhukam Wiranto (kiri) menerima sematan kain ulos khas Batak dari perwakilan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Pandumaan Sipitu Huta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, seusai acara Pencanangan Pengakuan Hutan Adat Tahun 2016 di Istana Negara, Jakarta, Jumat (30/12/2016).

”Namun, pengukuhan itu seharusnya ditindaklanjuti dengan surat keputusan penetapan hutan adat oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, hingga kini masyarakat belum mendapatkannya,” kata Delima.

Petani kemenyan

Kepala Desa Pandumaan Edismar Nainggolan mengatakan, dalam peta kawasan lumbung pangan terdapat 280 hektar areal lumbung pangan di desa mereka. ”Namun, hingga kini kami belum tahu wilayah mana di desa kami yang menjadi lumbung pangan. Belum pernah ada yang komunikasi kepada kami,” kata Edismar.

Edismar mengatakan, pemerintah juga seharusnya melihat komoditas unggulan mereka. Selama ini, Humbang Hasundutan bukan penghasil kentang, bawang merah, atau bawang putih. Wilayah yang berada di ketinggian 1.000 sampai 1.500 meter di atas permukaan laut itu merupakan penghasil kopi arabika dan kemenyan.

Kopi arabika sumatera lintong yang berasal dari Humbang, misalnya, telah mendapat sertifikat indikasi geografis. Kopi itu juga cukup dikenal hingga ke luar negeri. Selain itu, Humbang Hasundutan juga merupakan daerah penghasil kemenyan yang merupakan tanaman endemik di sekitar Danau Toba. ”Warga desa kami hampir semuanya merupakan petani kemenyan dan kopi. Kami tidak pernah bertani kentang dan bawang,” katanya.

Baca juga : Janji Usang Lumpung Pangan 

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/awwRngbitquTkgOvobFf36hA80s=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FIMG_1104_1590679124.jpgKOMPAS/NIKSON SINAGA

Kawasan pariwisata Danau Toba tampak dari Bukit Singgolom, Desa Lintong Nihuta, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Kamis (12/3/2020).

Kementerian LHK juga selama ini selalu meminta masyarakat desa penyangga hutan agar menanam tanaman hutan, seperti kemenyan dan kopi, karena punya fungsi konservasi untuk Danau Toba sekaligus menjadi sumber ekonomi warga. ”Kini, Kementerian LHK malah melepaskan kawasan hutan untuk ditanami tanaman hortikultura,” kata Delima.

Menurut Delima, area lumbung pangan di Sumut sebagian besar masih merupakan tegakan hutan. Alih fungsi akan membuat daerah tangkapan air Danau Toba semakin rusak.

Kerusakan hutan di daerah tangkapan air dalam beberapa tahun terakhir membuat sungai-sungai yang bermuara di Danau Toba mengalami kekeringan saat musim kemarau dan banjir bandang saat musim hujan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/GrlKwSnXsVmbqIv5B1hCVQxf2Tk=/1024x512/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2FScreenshot_2020-10-29-11-59-07-253_cn.wps_.moffice_eng_1603956633.pngPEMKAB HUMBANG HASUNDUTAN

Peta jalan pengembangan food estate Humbang Hasundutan

Adapun Jandres Silalahi, salah satu Direktur PT Toba Pulp Lestari, menyatakan, pada prinsipnya pihaknya mendukung program yang dicanangkan pemerintah di Kabupaten Humbang Hasundutan, yakni ketahanan pangan (food estate), pengembangan kebun raya, kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK), dan pengembangan tanaman herbal Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan.

”Kami berharap semoga program yang dicanangkan tersebut tidak mengenai tanaman pokok perusahaan berikut infrastrukturnya yang telah menjadi aset-aset perusahaan,” kata Jandres.

Pihaknya juga menyampaikan bahwa di areal HTI TPL di Kabupaten Humbahas terdapat tanaman kemenyan masyarakat yang tetap mereka lindungi dan tetap diusahakan petani  (Kompas.id, Senin, 26/10/2020).

Memenuhi kebutuhan daerah

Menurut Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, pembangunan food estate itu penting untuk memenuhi kebutuhan warga Sumut. Sejauh ini, kebutuhan beberapa komoditas di Sumut masih sedikit yang bisa dipenuhi sendiri sehingga perlu pengembangan kawasan lumbung pangan baru. ”Untuk Sumut saja masih kurang, belum lagi untuk Sumatera,” ujarnya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/ktP8CrLRk0UmjmmoJMjsX-Udb5w=/1024x512/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2FScreenshot_2020-10-29-11-58-14-622_cn.wps_.moffice_eng_1603956752.pngPEMKAB HUMBANG HASUNDUTAN

Rencana lokasi lahan food estate Humbang Hasundutan

Edy mencontohkan, komoditas bawang merah masih harus dipasok dari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Padahal, menurut dia, lahan di Sumut cukup subur dengan areal potensial yang cukup luas. Untuk itu, peningkatan produksi dimulai dengan menjadikan Humbang Hasundutan sebagai kawasan food estate.

Adapun Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor, yang saat ini sedang cuti kampanye pemilihan kepala daerah, pada September lalu mengatakan, pihaknya sudah menyusun peta jalan pengembangan lumbung pangan di daerahnya. ”Pengembangan tahap pertama akan dilakukan di areal 1.000 hektar,” katanya.

Selanjutnya, food estate akan diperluas menjadi 4.000 hektar pada 2021, 10.000 hektar pada 2022, dan 30.000 hektar pada 2023. Lima perusahaan menurut rencana akan ikut menggarap lumbung pangan itu yakni PT Indofood Sukses Makmur, PT Wings Food, PT Calbee Wings Food, PT Champ, dan PT Great Giant Pineapple.

Dosmar mengatakan, pengembangan lumbung pangan di daerahnya berfokus untuk menciptakan sentra baru penghasil bawang merah, substitusi impor bawang putih, menyediakan kentang untuk kebutuhan industri, dan agrowisata yang terintegrasi Danau Toba.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Fvp9Ds4MwLyYgrP-e2bNqxQnJEM=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2FIMG_0715_1561636873.jpgKOMPAS/NIKSON SINAGA

Hamparan lahan kritis tampak dari penerbangan komersial di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, Kamis (27/6/2019). Kerusakan daerah tangkapan air Danau Toba disebabkan alih fungsi dan perambahan hutan.

Pelepasan hutan

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Sumut Herianto mengatakan, sebanyak 80 persen dari total 61.042 hektar lahan lumbung pangan yang disiapkan pemerintah akan dikelola masyarakat. Sebanyak 20 persen sisanya dikelola perusahaan, kata Harianto pada pertenganan November 2020.

Menurut Herianto, lahan tersebut disiapkan dari pelepasan kawasan hutan di empat kabupaten. Usulan alih fungsi hutan tersebar di Kabupaten Humbang Hasundutan 23.225 hektar, Tapanuli Utara 16.833 hektar, Tapanuli Tengah 12.665 hektar, dan Pakpak Bharat 8.329 hektar.

Saat ini, pelepasan hutan masih tahap penelitian tim ahli dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Sumatera Utara, dan Dinas Kehutanan Sumut. ”Tim ahli meneliti dan mempertimbangkan dengan sangat hati-hati agar tidak menyalahi aturan dan mencegah dampak buruk lingkungan maupun sosial,” kata Herianto.

Menurut Herianto, tidak semua lahan yang diusulkan dialihfungsikan menjadi lahan lumbung pangan agar tidak menyebabkan dampak buruk terhadap lingkungan. Lahan yang sudah disetujui pun akan dikelola masyarakat dan perusahaan. Kepada setiap keluarga nantinya akan diberi hak kelola seluas 1 hektar per keluarga. Namun, lahan tersebut tidak bisa dijual.