PALANGKARAYA, KOMPAS — Program lumbung pangan atau food estate di Kalteng bukan satu-satunya jawaban untuk persoalan krisis pangan karena pandemi. Akses masyarakat ke lahan dan persoalan rantai distribusi juga harus diperhatikan. Apalagi program lumbung pangan bersinggungan dengan gambut.
Persoalan industri pangan dari hulu ke hilir merupakan masalah klasik yang tak kunjung selesai. Pemerintah kemudian menjawab masalah itu, salah satunya, dengan program lumbung pangan nasional. Pemerintah perlu berhati-hati dalam pelaksanaan di lapangan yang bersinggungan dengan gambut.
Untuk mengatasi krisis pangan yang disinyalir Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bakal terjadi karena pandemi, dijawab pemerintah dengan menciptakan program strategis nasional di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Hal itu sempat disinggung Presiden Joko Widodo dalam pidato sidang tahunan MPR-DPR di Jakarta, Jumat (14/8/2020).
Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan program lumbung pangan atau yang dikenal dengan sebutan food estate bakal meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. ”Food estate memperkuat cadangan pangan nasional bukan hanya di hulu, tetapi juga di hilir produk pangan industri,” katanya.
Baca juga : Proyek Lumbung Pangan di Kalteng Harus Berkelanjutan
Program lumbung pangan tersebut sudah mulai berjalan di Kalimantan Tengah dengan luas 30.160 hektar. Rinciannya, seluas 10.160 hektar berada di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 hektar di Kapuas. Wilayah program itu 13 kecamatan di dua kabupaten tersebut.
Namun, luas lahan 30.000 hektar atau setengah luas Provinsi DKI Jakarta itu baru tahap awal. Pemerintah bakal menyiapkan 164.000 hektar di Kalimantan Tengah dengan berbagai komoditas tak hanya padi sawah.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Presiden Joko Widodo tiba di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Ia bersama rombongan menteri memantau persiapan program lumbung pangan.
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran mengucapkan terima kasih kepada pemerintah pusat lantaran mempercayakan program itu di wilayahnya. Ia berharap program itu mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat Kalteng juga Indonesia pada umumnya.
”Yang penting sekarang itu kami akan bekerja keras supaya ini semua berjalan sesuai rencana dan bisa menyejahterakan masyarakat,” kata Sugianto saat ditemui di Palangkaraya Jumat sore.
Meskipun demikian, program itu juga menuai banyak persepsi berbeda dari pemerintah. Bukan hanya soal lingkungan, melainkan soal skema industri juga investasi yang bakal dilakukan pemerintah.
Baca juga : Infrastruktur Pertanian di Lokasi Lumbung Pangan Perlu Perbaikan
Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas mengungkapkan, permasalahan pangan dari hulu ke hilir merupakan masalah yang sudah lama dan masih terus terjadi hingga saat ini. FAO sudah memberikan dua rekomendasi, yakni soal pemberian bantuan alat produksi ke petani kecil dan masalah di hilir, yakni memperbaiki rantai pasokan juga memotong jalur distribusi.
”Tetapi responsnya justru food estate di lahan gambut yang dulu pernah dirusak dengan program yang sama. Kalau rekomendasi FAO dilakukan, seharusnya tidak perlu khawatir dengan krisis pangan karena stok pangan kita diprediksi cukup hingga awal 2021,” ungkap Iola Abas.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu kanal primer di lahan bekas PLG tahun 1995 di wilayah Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Kanal itu direncanakan bakal direhabilitasi untuk keperluan program lumbung pangan.
Iola menambahkan, untuk meningkatkan produksi yang seharusnya dilakukan adalah optimalisasi dan intensifikasi petani yang sudah ada dengan lahan yang memang cocok. ”Menjawab krisis pangan, pemerintah hanya perlu mengembangkan diversifikasi pangan dan mengembangkan pangan lokal yang sudah tersedia,” katanya.
Menjawab krisis pangan, pemerintah hanya perlu mengembangkan diversifikasi pangan dan mengembangkan pangan lokal yang sudah tersedia.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono. Menurut dia, menjawab krisis pangan bisa dilakukan dengan memperkuat petani lokal yang hingga kini masih terbentur dengan masalah lahan yang masuk kawasan hutan atau berkonflik dengan perusahaan pemegang konsesi.
”Kedaulatan pangan itu memberikan pengakuan atas hak para petani/peladang pada wilayah kelolanya. Industri pangan tanpa pengakuan terhadap para petani sama seperti memberi karpet merah pada investor pangan,” kata Dimas.
Kawasan budidaya
Pemerhati gambut dari Universitas Palangka Raya, Darmae Nasir, Phd, mengungkapkan, kawasan hidrologis gambut memiliki dua fungsi, yakni konservasi dan budidaya. Hal itu diatur dalam berbagai kebijakan pemerintah pusat di sejumlah kementerian terkait.
”Jadi pemerintah harus melihat mana kawasan hidrologis gambut yang memang cocok untuk budidaya, mana yang hanya untuk konservasi atau dilindungi saja dan tidak bisa ditanami, apalagi untuk sawah,” kata Darmae.
Baca juga : Pemerintah Perlu Antisipasi Dampak Lingkungan dari Food Estate di Kalteng
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Api masih membara dan menghanguskan lahan gambut di Desa Talio Hulu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Selasa (12/11/2019). Sekitar 5 hektar lahan di desa itu terbakar dan hanya warga yang mencoba memadamkannya dengan peralatan seadanya.
Dalam penelitian yang ia lakukan di lahan gambut, Darmae membagi kawasan gambut dengan dua bagian, yakni gambut ombrogen dan topogen. Kawasan gambut ombrogen tidak dipengaruhi pasang surut air. Di kawasan ini, petani atau peladang hanya mengandalkan hujan untuk mengairi kebunnya sehingga tidak cocok menjadi sawah, sedangkan gambut topogen merupakan wilayah pasang surut yang sangat cocok dengan sawah.
”Mengelola gambut ini butuh proses, waktu dan input. Input maksudnya kapur atau bahan lain untuk mengurangi asam di gambut. Tidak ada yang sim sala bim langasung jadi,” ungkap Darmae.