https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/HeJGUJNjjRVWZYPoHgdfFXQI1F0=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2Fc7c809e7-3051-4b41-9042-d2c887afb537_jpg.jpgKOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Endih (60) memeriksa tanaman padi garapannya di lahan persawahan padi organik di Kampung Ciharashas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Rabu (22/7/2020).

JAKARTA, KOMPAS — Ketahanan pangan di tengah pandemi Covid-19 menjadi hal krusial yang harus tetap dijaga keberlanjutannya untuk terhindar dari krisis pangan. Koperasi pangan pun berperan besar dalam memastikan kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi.

Secara global hingga akhir 2019, data World Food Program menunjukkan, lebih dari 135 juta orang di 55 negara dan wilayah menghadapi krisis pangan, malnutrisi, dan kehilangan mata pencarian. Hingga akhir 2020 ditambah dengan adanya pandemi, diperkirakan akan ada lebih dari seperempat miliar orang di seluruh dunia yang menderita kelaparan akut.

Untuk itu, koperasi pangan menjadi penting diwujudkan guna menjembatani antara petani dengan konsumen secara langsung. Melalui koperasi, hasil pertanian akan terserap lebih efektif, bahkan mampu membentuk cadangan pangan rakyat.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, per 30 April 2020 tercatat ada 1.785 koperasi dan 163.713 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia yang terdampak Covid-19. Pemerintah berupaya melindungi dan memulihkan koperasi dan UMKM yang terdampak pandemi (Kompas, 11 Mei 2020).

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya A Erani Yustika menyampaikan, melalui koperasi pangan akan ada nilai tambah bagi hasil produksi para petani. Tanpa adanya nilai tambah, ekonomi perdesaan akan kehilangan masa depan karena tidak mampu menjangkau aktivitas lain.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Pfb78aB1AeGdc-cBS-HOo5bhpz4=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2Ff28fac61-ae5e-4e22-9202-2c50eb51a68e_jpg.jpgKOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Padi organik di Kampung Ciharashas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, di petak sawah yang digarap Jumat (68), Rabu (22/7/2020).

”Koperasi akan memperluas skala ekonomi dengan memproduksi komoditas sehingga ada nilai tambah. Posisi daya tawar petani pun lebih besar sehingga dapat menjadi penentu harga, bukan hanya penerima harga,” kata Erani dalam diskusi virtual Koperasi Benih Kita Indonesia (Kobeta) pada Rabu (29/7/2020).

Diskusi ini mengangkat tema ”Bagaimana Sebaiknya Koperasi Pertanian Pangan Dibentuk di Desa-desa Indonesia?”. Hadir  pula sebagai narasumber, antara lain, Koordinator Nasional Forum Desa Mandiri Tanpa Korupsi A Bahruddin; anggota Komisi IV DPR RI, Luluk Nur Hamidah; Koperasi Gema Indonesia Jaya (Koperasi Petani dan Pendamping Perhutanan Sosial), Siti Fikriyah; dan Dani Setiawan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia.

Konsep dari koperasi pangan, menurut Erani, tecermin dari pemikiran Bung Hatta yang menyatakan, koperasi bisa menempa ekonomi rakyat yang lemah agar menjadi kuat serta merasionalkan perekonomian, yakni dengan mempersingkat jalan produksi ke konsumsi. Koperasi merupakan senjata persekutuan kaum lemah untuk mempertahankan hidupnya.

Menurut Erani, koperasi harus dibangun dari komunitas yang memiliki kesadaran bersama terkait perjuangan ekonomi di bidang pertanian dan pangan. ”Ada perjuangan semesta di desa masing-masing yang membuat gerak lebih ringan karena disanggah oleh banyak masyarakat,” ujarnya.

Bahruddin mengatakan, basis komunitas untuk membangun koperasi dapat dimulai dari lingkungan rukun tetangga dengan melibatkan minimal satu perwakilan keluarga menjadi anggota. Selanjutnya, koperasi primer ini dapat dikolaborasikan dengan koperasi primer lain untuk membentuk badan usaha milik desa.

Baca juga: Keluarga Membangun Koperasi

Gerakan yang disebut Jamaah Produksi ini, kata Bahruddin, menyasar pendekatan kewilayahan rukun tetangga yang diyakini dapat menyasar warga lemah atau warga miskin. Sebab, gerakan ini membuat rakyat memberdayakan dirinya dengan memanfaatkan sumber daya agraria di sekitar.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/LKXEUFzwZB5A_hNAoDyIU5_3HXg=/1024x1447/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F20200724-H01-ARS-Profil-Koperasi-mumed_1595608450.png

Luluk Nur Hamidah menyampaikan, koperasi pangan merupakan salah satu kunci utama mewujudkan ketahanan pangan dan kemandirian pangan rakyat. Setidaknya terwujud dalam skala lokal yang menjadi jangkauan koperasi di suatu daerah.

”Dibutuhkan political will untuk menghidupkan kembali koperasi, perlu juga revolusi sistem dan manajemen dengan mengedepankan kegotong-royongan, yaitu saling menguatkan dan tidak terjadi eksploitasi,” kata Luluk.

Koordinasi antarkementerian dan lembaga terkait juga menjadi penting untuk menghindari terjadinya tumpang-tindih program bagi petani, misalnya untuk urusan koperasi dibina oleh Kemenkop dan UKM, sedangkan untuk memaksimalkan produksi tani dibina oleh Kementerian Pertanian.

Pendampingan koperasi

Siti Fikriyah menjelaskan, sebagai pembina dan pendamping Koperasi Gema Indonesia Jaya, ia melakukan pendekatan per kluster komoditas, bukan berbasis desa atau kabupaten. Pendekatan ini dilakukan untuk lebih meminimalkan biaya dan memaksimalkan hasil.

Misalnya untuk kayu yang berasal dari Kediri, Banyuwangi, dan Pemalang, semua dikumpulkan di Koperasi Kayu Gema di Pemalang, Jawa Tengah. Selain itu, jagung yang diambil dari Grobogan, Kendal, Pemalang, dipusatkan di Koperasi Jagung Gema di Grobogan, Jawa Tengah.

”Kami membuat koperasi yang bersifat nasional seperti ini supaya bisa mengakumulasi modal dan komoditas dari seluruh lokasi perhutanan sosial. Kami juga berprinsip tidak mengandalkan orang lain supaya perkembangan ekonomi masyarakat enggak bergantung pada orang lain,” kata Siti.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/qsGu_w5lpCxb280vvnEj8hEsKrE=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F2406c953-bf9d-4873-9797-04580fa59cf9_jpg.jpgKOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Nelayan merapikan jaringnya kembali setelah pulang melaut di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (16/7/2020).

Adapun Dani Setiawan menyampaikan, koperasi nelayan perlu dibentuk untuk menyuplai kebutuhan nelayan. Dengan demikian, biaya produksi nelayan dapat dikurangi atau dengan kata lain meningkatkan pendapatan nelayan.

Meski demikian, sering kali terjadi kegagalan pembentukan koperasi nelayan karena identifikasi dan perencenaan usaha yang salah sehingga tidak jelas manfaatnya bagi anggota. Selain itu, nelayan juga difasilitasi untuk membentuk koperasi yang mengambil alih peran perantara sementara mereka kurang kapasitas dan minat dalam pemasaran serta penjualan.

Baca juga: Gerakkan Koperasi-UMKM Topang ”Stay at Home Economy”

”Perlu ada kolaborasi atau kemitraan bagi koperasi, termasuk akses pembiayaan. Kemenkop dan UKM juga diharapkan dapat bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memperkuat pemberdayaan bagi nelayan dan koperasi,” kata Dani.