Pandemi Covid-19 dikhawatirkan akan berdampak pada ketahanan pangan sehingga diperlukan strategi untuk mengatasinya. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2020 memperingatkan ancaman krisis pangan akibat terhambatnya rantai pasokan pangan saat pandemi.

Salah satu strategi yang akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah proyek food estate di lahan gambut (Basundoro & Sulaeman, 2020). Diharapkan, proyek ini tidak mengulang kegagalan proyek pembukaan lahan gambut akibat kurangnya perhatian pada aspek teknis tata kelola air, sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan (Suriadikarta, 2009).

Hingga saat ini, lahan gambut terbukti dapat dikelola dan mampu memberikan nilai tambah. Akan tetapi, isu terkait emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari pengelolaan lahan gambut tersebut menuntut perbaikan atas teknik pengelolaan lahan gambut yang banyak dilakukan saat ini.

Lahan gambut dapat dikatakan terdegradasi jika dalam pengelolaannya berdampak negatif pada fungsi dan nilainya, di antaranya penyimpanan karbon, penyerap karbon, dan keanekaragaman hayati (Renou-Wilson et al, 2011). Dengan demikian, pelepasan simpanan karbon pada lahan gambut menjadi emisi GRK adalah salah satu tolok ukur apakah teknik pengelolaan lahan gambut dapat dikatakan berlanjut.

Selama ini, budidaya komoditas pangan di lahan gambut dilakukan melalui intervensi lahan.

Selama ini, budidaya komoditas pangan di lahan gambut dilakukan melalui intervensi lahan. Komoditas tersebut salah satunya adalah padi (Oryza sativa). Padi dibudidayakan di lahan cetak sawah dan lahan rawa gambut pasang surut. Dalam aplikasinya, kedua teknik tersebut membutuhkan banyak biaya untuk persiapan lahan, kapur penetral Ph, serta berbagai macam pupuk dan obat-obatan.

Untuk lahan tersebut, jenis padi yang sesuai pada tingkat keasaman tinggi adalah jenis padi lokal, seperti padi Sikin. Namun, sayangnya, produktivitasnya sangat rendah, hanya mencapai 2 ton per hektar. Terlebih lagi, kendala beragam jenis hama menyebabkan biaya obat-obatan dan pestisida meningkat.

Sedangkan komoditas lainnya, seperti jagung (Zea mays), ubi kayu (Manihot esculenta), dan ubi jalar (Ipomoea batatas) dibudidayakan dengan teknik pengeringan lahan gambut. Dalam skala kecil, komoditas tersebut ditanam di pematang sawah. Sedangkan dalam skala besar dilakukan pada petak lahan gambut yang dikeringkan.

Pengeringan lahan gambut dilakukan dengan pembuatan parit cacing dan parit besar untuk mengalirkan air gambut menuju kanal. Teknik persiapan lahan tersebut membutuhkan biaya besar, berkisar Rp 16 juta-Rp 22 juta per hektar. Selain itu, teknik tersebut juga kurang ramah lingkungan karena gambut kering rawan terbakar.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/_j4RKlsErLJ8p_reE9FJ_X6or6s=/1024x783/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2FIMG_20190626_194932_1561546311.jpgDINAS PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI PAPUA

Penanaman sagu di Kabupaten Mappi, Papua, sebagai upaya dari revitalisasi lahan gambut.

Berdasarkan penelitian dan pengamatan lapangan pada saat penelitian dilakukan, terdapat komoditas pangan yang tumbuh dengan baik tanpa intervensi lahan melalui pengeringan lahan gambut. Komoditas tersebut adalah pohon rumbia penghasil sagu (Metroxylon sago) dan tanaman keladi penghasil talas (Colocasia esculenta). Selama ini sagu sudah dikenal sebagai komoditas asli lahan gambut (Tata & Susmianto, 2016). Sedangkan talas merupakan jenis tanaman yang ternyata dapat tumbuh baik di lahan rawa gambut basah.

Berdasarkan hasil penelitian di beberapa desa di Kalimantan Utara, ditemukan fakta bahwa masyarakat enggan membudidayakan dan mengolahnya. Hal ini dikarenakan stigma yang muncul di masyarakat bahwa orang yang mengolah sagu biasanya orang yang sudah tidak mempunyai uang lagi untuk membeli beras.

Itulah mengapa banyak tanaman sagu yang tumbuh liar dan dibiarkan begitu saja. Selain sagu, terdapat beberapa jenis keladi yang tumbuh dengan baik pada lahan gambut tanpa pengeringan lahan gambut. Namun, sayangnya, hanya sebagian kecil petani yang masih mau mengusahakannya.

Ditinjau dari aspek ekonomi, terdapat beberapa alasan mengapa rumbia dan keladi belum menjadi primadona komoditas pangan lahan gambut. Alasan utamanya adalah nilai ekonomis komoditas sagu hampir tidak ada, sedangkan talas hanya dihargai Rp 4.000 per kilo. Padahal, produktivitas tanaman tersebut cukup tinggi.

Satu batang sagu dapat menghasilkan 200 kilogram sagu. Dalam 1 hektar, 100 batang pohon dapat menghasilkan 20 ton. Sedangkan dalam 1 hektar keladi dapat menghasilkan lebih dari 5 ton talas.

Nilai ekonomis suatu komoditas dipengaruhi oleh nilai manfaat, permintaan pasar, rantai pasar, dan daya simpan hasil panen. Guna memenuhi semua faktor yang memengaruhi tersebut, diperlukan pembangunan industri pengolahan hasil panen, seperti industri pengolahan tepung sagu dan industri pengolahan tepung talas. Dengan pembangunan industri tersebut diharapkan nilai tambah komoditas meningkat sehingga mampu memotivasi petani untuk membudidayakannya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/j7JbPqKq15xEWY8GRN0UudCOFUs=/1024x1723/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20201022-H25-ADI-lahan-Gambut-mumed_1603383755.png

Jika seandainya industri tersebut berhasil meningkatkan harga hasil panen sagu dan talas, apakah benar bisa menguntungkan? Persiapan lahan gambut tanpa pembuatan parit dan kanal cukup murah. Dengan modal sekitar Rp 4 juta, petani dapat menyiapkan lahan gambut seluas 1 hektar.

Jika seandainya sagu basah dan talas hanya dihargai Rp 4.000 per kg, dapat diperkirakan tambahan pendapatan per bulan dari sagu sebesar Rp 1,2 juta dan dari talas Rp 1,3 juta dalam satu kali panen. Dan, dari analisis usahanya, kedua komoditas tersebut dinilai layak dan menguntungkan.

Kombinasi budidaya kedua komoditas pangan lahan gambut tersebut cukup ideal bagi petani. Sagu dengan umur panen lima tahunan dapat menyokong pendapatan untuk jangka menengah. Sedangkan pendapatan bulanan petani didapatkan dari keladi yang dapat dipanen setelah lima bulanan. Penanaman dengan teknik tumpangsari tentunya mampu mengoptimalkan kegunaan lahan gambut.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/EzD01cP4KinQWp8JlqGjV1P0Ufo=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2F20200804IDO_Menjaga_Pangan5_1596539681.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Yohana (44), Ketua Kelompok Tani Perempuan Peduli Gambut di Desa Saka Kajang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, memeriksa pembukuan hasil dari penjualan sayuran organik mereka. Mereka memanfaatkan lahan gambut di pekarangan belakang rumah untuk menjaga pangan keluarga, bahkan daerah sekitar.

Dalam mewujudkan harapan di atas, tentunya dukungan berbagai pihak sangat berarti. Selain sosialisasi terkait manfaat komoditas pangan lahan gambut, dukungan pemerintah melalui penyediaan bibit unggul, sarana produksi (saprodi), kepastian supply chain, dan kebijakannya sangat diperlukan. Pada akhirnya, diharapkan budidaya pohon rumbia dan keladi ini dapat memenuhi aspek ekonomi, sosial, dan ekologi dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

(Dian Charity Hidayat, Peneliti di Litbang KLHK)