JAKARTA, KOMPAS Indikator kepulihan pada upaya-upaya restorasi gambut yang dijalankan pemerintah perlu dijabarkan dan saling disinergikan. Itu bisa mempermudah publik untuk membantu pemerintah dalam memantau perkembangan restorasi gambut di lapangan.
Peneliti Pantau Gambut Agiel Prakoso di Jakarta, Jumat (6/11/2020) menyampaikan, indikator keberhasilan restorasi atau kepulihan gambut sampai saat ini tidak pernah disampaikan Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam setiap laporan kinerjanya. Padahal, poin-poin indikator keberhasilan telah disebutkan dalam Pasal 18 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.
Laporan terbaru yang disusun Pantau Gambut berjudul "Nasib Restorasi Gambut", pada 2015-2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerima laporan pemulihan ekosistem gambut dari 280 perusahaan. Angka ini jauh melebihi target yang tertulis pada rencana yaitu 180 perusahaan.
Baca juga: Pertanian Ramah Gambut Tingkatkan Perekonomian Desa
Perusahaan tersebut juga melaporkan kegiatan pemulihan dengan menjaga tata kelola air. Ini ditunjukkan dengan pemenuhan syarat tinggi muka air tanah 40 centimeter, seperti parameter Sistem Informasi Muka Air Tanah Gambut 0,4 meter (SiMATAG-0,4m) KLHK. Dari dokumen tersebut, KLHK menyatakan sekitar 3,47 juta hektare lahan gambut area konsesi di 17 provinsi bergambut yang tersebar di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua telah berhasil dipulihkan.
BADAN RESTORASI GAMBUT
Restorasi gambut yang dikerjakan Badan Restorasi Gambut sejak dibentuk pada awal Januari 2016. Ini ditampilkan pada presentasi Badan Restorasi Gambut pada diskusi virtual, 11 Mei 2020.
Selain itu, KLHK juga menyatakan 9.950 hektar lahan masyarakat di delapan provinsi bergambut pulau Kalimantan dan Sumatra berhasil dipulihkan melalui kegiatan pembasahan gambut (rewetting). Capaian kinerja ini melampaui rencana yang telah ditentukan dalam rencana strategis Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut (PKG) yang menyatakan bahwa selama periode 2015-2019 area gambut masyarakat yang harus direstorasi seluas 7.176 hektare.
Sementara itu, Pantau Gambut menyebut BRG hingga akhir 2019 menyatakan berhasil merestorasi 87 persen area gambut nonkonsesi atau seluas 778.181 hektar. Untuk area konsesi baru sekitar 29 persen atau 552.113 hektar disupervisi.
Salah satu upaya yang dilakukan BRG dalam restorasi ini adalah pembangunan sekat kanal untuk memastikan gambut tetap basah di sejumlah lokasi. Namun, menurut Agiel, beberapa lokasi pembangunan sekat kanal tidak tepat sasaran karena dibangun bukan berdasarkan tingkat kerawanan terhadap api tahunan sehingga belum mampu membasahi gambut secara optimal.
Baca juga: Api Hanguskan Lokasi Restorasi di Jambi
“Terdapat beberapa infrastruktur sekat kanal yang rusak atau hancur akibat aliran air yang sangat deras. Hal ini juga bisa terjadi karena absennya pemeliharan sehingga infrastruktur itu tidak mampu membendung air secara optimal,” ujarnya.
Agiel menegaskan, pemerintah seharusnya tetap memantau dan mengawasi area-area yang sudah diintervensi serta terus memperbaiki mekanisme restorasi gambut yang belum sempurna. Kegiatan pencegahan karhutla dan pemenuhan target-target restorasi yang tersisa harus segera diselesaikan dengan mempertimbangkan tantangan implementasi kegiatan fisik di lapangan selama pandemi Covid-19.
Pantau Gambut meminta agar publikasi capaian BRG dan KLHK disertai informasi indikator pulih dalam setiap klaim keberhasilan restorasi yang dijalankan. Selain itu, didorong pula transparansi informasi mengenai program kerja yang bersinergi serta penggunaan metode monitoring yang sama di antara kedua lembaga pemerintah tersebut. Keselarasan metode ini untuk menjamin hasil restorasi yang dinaungi masing-masing instansi di lokasi yang berbeda dapat dibandingkan dan diakumulasikan.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Kebakaran merambat di lokasi restorasi gambut di pinggir Hutan Lindung Gambut Londerang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Kamis (5/9/2019). Sekat kanal dan sekeliling alat pemantau kebakaran (EWF) ikut hangus dilalap api.
Dihubungi terpisah, Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna Safitri mengatakan, saat ini pihaknya belum dapat menjabarkan poin-poin keberhasilan karena pihaknya tengah menyusun laporan hasil capaian selama lima tahun masa kerja. Laporan tersebut rencananya akan selesai pada Desember mendatang tepat pada saat habisnya masa tugas BRG sesuai Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016.
Menurut BRG, Indonesia memiliki 13 juta hektar ekosistem gambut dan 2,67 juta hektar di antaranya mengalami kerusakan. Seluas 1,7 juta hektar lahan gambut yang rusak berada di area konsensi dan lebih dari 890.000 hektar lainnya berada di luar area konsensi.