JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana akan merampingkan dan membubarkan sejumlah lembaga negara untuk efisiensi anggaran di tengah pandemi Covid-19, salah satunya Badan Restorasi Gambut. Namun, lembaga negara ini dinilai masih diperlukan untuk memulihkan ekosistem lahan gambut yang setiap tahun terbakar.
Pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) diatur lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016. Pasal 30 perpres tersebut menyatakan, BRG melaksanakan tugas selama lima tahun dan berakhir pada 31 Desember 2020. Setelah berakhir, seluruh kegiatan BRG menjadi tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca juga : Presiden Jokowi Akan Memperpanjang Masa Kerja BRG
Setahun sebelum berakhir, seusai rapat bersama Presiden Joko Widodo, Nazir Foead mengemukakan bahwa masa kerja BRG akan dilanjutkan (Kompas.id, 17 Februari 2020). Namun Selasa (15/7/2020), Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko menjelaskan sedang dilakukan evaluasi atas rencana perampingan. Sejumlah lembaga tersebut bisa digabung apabila memiliki kemiripan tugas dan fungsi. Dicontohkan, BRG dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Pertanian.
Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan IPB University Bambang Hero Saharjo menyampaikan, pasal tersebut memang telah jelas menyatakan masa tugas BRG. Namun, sesuai Pasal 20, semua itu kembali kepada hasil evaluasi oleh menteri lingkungan hidup kehutanan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara, dan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP).
”Hanya saja dalam perpres tersebut tidak dinyatakan seperti apa kriteria yang dianggap berhasil dalam melakukan kegiatan oleh BRG. Padahal ini bisa menjadi pegangan perhatian publik yang mungkin telah mendapatkan manfaat dari kegiatan yang dilakukan atau sebaliknya,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (15/7/2020).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Lahan gambut yang sebagian ditanami kelapa sawit di Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau, terbakar, Kamis (19/9/2019). Kebakaran di lahan gambut itu sulit dipadamkan. Asap dari kebakaran menyebar ke Pekanbaru dan sekitarnya.
Menurut Bambang, apabila BRG belum dianggap berhasil menjalankan restorasi gambut sesuai target, justru perlu dipertimbangkan lagi untuk mempertahankan lembaga ini. Sebab, kasus kebakaran di lahan gambut pada 2019 kembali meningkatkan emisi gas rumah kaca dari tahun sebelumnya.
Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas juga menyampaikan hal serupa. Menurut Iola, saat ini masih diperlukan lembaga khusus yang bertugas merestorasi lahan gambut. Pembubaran dan tidak diperpanjangnya masa tugas BRG dinilai sebagai langkah mundur.
Baca juga : Ini Masukan BRG apabila Dibentuk BRG 2.0
Selain itu, tugas BRG tidak bisa dilebur ke lembaga lain, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) karena tugas, pokok, dan fungsi kedua lembaga ini yang berbeda. Secara umum, BRG fokus bertugas memulihkan ekosistem gambut yang rusak, sedangkan BNPB menanggulangi bencana.
”Selama ini kalau kami nilai, BRG sudah menjalankan proses restorasi dengan cukup baik meskipun tetap harus dikritisi dan diawasi. Tetapi sayangnya, BRG tidak diberikan kewenangan yang cukup oleh presiden. Dengan kewenangan yang terbatas, membuat restorasi gambut menemui banyak kendala,” ungkapnya.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Kebakaran lahan di Desa Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti Riau, Februari 2018. Desa Lukun sudah masuk dalam program restorasi Badan Restorasi Gambut, tetapi beberapa tahun terakhir, masih ada lahan di desa tersebut yang terbakar
Ia berharap, BRG menjadi lembaga dengan kewenangan yang lebih kuat untuk merestorasi lahan gambut di Indonesia, khususnya terkait evaluasi perizinan. Ini karena kerja BRG pada area konsesi acap kali terkendala kewenangan.
782.000 hektar
Deputi III Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna Safitri mengatakan, selama empat tahun dibentuk atau sampai akhir 2019, BRG telah merestorasi 782.000 hektar lahan gambut di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Berdasarkan data BRG, Indonesia memiliki 13 juta hektar ekosistem gambut dan 2,67 juta hektar di antaranya mengalami kerusakan. Seluas 1,7 juta hektar lahan gambut yang rusak berada di area konsensi dan lebih dari 890.000 hektar lainnya berada di luar area konsensi.
Penanggung jawab untuk kegiatan restorasi gambut di area konsesi ada pada pemegang konsesi yang bersangkutan.
”Penanggung jawab untuk kegiatan restorasi gambut di area konsesi ada pada pemegang konsesi yang bersangkutan. BRG sendiri sesuai perpres mempunyai fungsi untuk memberikan supervisi kepada pemegang konsensi tersebut,” ujarnya.
ANTARA FOTO/MANGGALAAGNI
Foto udara kebakaran lahan gambut yang masuk di arel perkebunan sawit milik PT SARI di Kecamatan Lalolae, Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, Minggu (15/9/2019).
Selama empat tahun terakhir, kata Myrna, upaya restorasi yang dilakukan BRG bersifat cepat tanggap. Ini didasarkan pada kebutuhan untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem lahan gambut yang lebih parah.
Ke depan, ia berharap pelaksanaan restorasi gambut harus berbasis pada kesatuan hidrologis gambut dan memperkuat kolaborasi dari semua pemangku kebijakan ataupun sejumlah pihak lainnya.