PALEMBANG, KOMPAS — Pengembangan perekonomian desa di lahan gambut terhambat sejumlah hal, mulai dari keterbatasan infrastruktur dan kapasitas warga, permodalan, hingga pemasaran produk. Penguatan dan integrasi lembaga-lembaga ekonomi tingkat desa mutlak dibutuhkan agar pengembangan produk lokal lebih terarah.
Hal ini mengemuka dalam Webinar Nasional dengan tajuk ”Peluang dan Tantangan Kelembagaan Ekonomi dalam Mendukung Pembangunan Pedesaan Gambut” yang diselenggarakan Badan Restorasi Gambut (BRG) dengan Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, Selasa (1/9/2020). Berdasarkan data dari BRG pada 2016 tercatat 2.945 desa/kelurahan di sekitar lahan gambut. Dari jumlah tersebut, sebagian besar masih berstatus desa tertinggal.
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna A Safitri mengatakan, ada beberapa penyebab desa di daerah gambut masih banyak berstatus tertinggal. Salah satu penyebabnya ialah keterbatasan infrastruktur yang menghambat aksesibilitas bagi distribusi produk kebutuhan.
Sebagian besar desa gambut berada di daerah perairan dan terpencil sehingga mesti menggunakan transportasi air untuk mengangkut berbagai macam produk. Hal ini tentu akan menambah biaya produksi yang muaranya pada harga jual yang tidak kompetitif.
Baca juga: Kesatuan Hidrologis Gambut di Sumsel Berstatus Siaga
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Petani sedang menggarap lahan pertanian menggunakan traktor di Kecamatan Muara Padang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu (28/8/2019). Daerah ini merupakan salah satu kawasan yang masuk dalam program Selamatkan Rawa, Sejahterakan Petani (Serasi). Sumsel mendapatkan jatah sekitar 200.000 hektar untuk program ini. Amran pun menargetkan program Serasi di Sumsel selesai pada 19 Oktober 2019.
Masalah lain yang ditemukan ialah produktivitas warga yang masih terbatas. Ini terjadi lantaran jenis usaha sebagian besar warga yang hidup di lahan gambut masih berskala rumah tangga sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar. Salah satu contohnya, lanjut Myrna, ketika BRG mendapatkan penawaran dari salah satu perusahaan yang akan menampung produksi kelapa dari petani di lahan gambut.
Hanya saja, petani yang bersangkutan diharuskan memasok sekitar 350 ton kelapa. ”Terkait hal itu, kemampuan petani menyediakan kebutuhan tersebut secara berkesinambungan masih dipertanyakan,” ucap Myrna.
Baca juga: Desa Peduli Gambut Dijaga Terus Berlanjut
Walau terbentur sejumlah kendala, menurut Myrna, semangat masyarakat di sekitar lahan gambut untuk berwirausaha sudah cukup baik. Untuk itu, diperlukan pendampingan termasuk penguatan kelembagaan untuk memecahkan sejumlah permasalahan di lapangan.
Hingga Juli 2020 ada 509 desa peduli gambut (DPG) di Indonesia dengan total luas wilayah 7,3 juta hektar. Mereka didampingi para tenaga pendamping yang terus berada di desa tersebut selama 10 bulan. Tugas mereka memetakan potensi desa, misalnya pertanian, perikanan, perkebunan, kerajinan, peternakan, dan agrowisata. Tugas lainnya, melakukan pendampingan dalam hal manajemen serta pemasaran produk.
Penguatan kelembagaan
Tidak hanya itu, lanjut Myrna, upaya pembentukan dan penguatan kelembagaan BUMDes juga terus dilakukan untuk menampung dan mengelola hasil pertanian sehingga mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Dengan metode tersebut, dari 366 DPG yang masuk program restorasi dan dianalisis untuk masuk dalam Indeks Desa Membangun (IDM), ada kenaikan status cukup signifikan terhadap desa binaan.
Pada tahun 2016, dari 366 DPG, 87 persen di antaranya merupakan desa sangat tertinggal dan tertinggal. Namun, pada 2019, jumlahnya menurun menjadi hanya 36 persen. ”Dari fakta ini, pendampingan dan penguatan lembaga ekonomi desa menjadi faktor penting pengembangan ekonomi di desa gambut,” katanya.
Jika warga desa dibiarkan terpuruk, dikhawatirkan hal itu akan berdampak pada terancamnya upaya restorasi gambut yang sedang dilakukan BRG.
Menurut Myrna, pengembangan ekonomi di desa di lahan gambut perlu diprioritaskan. Pasalnya, jika warga desa dibiarkan terpuruk, dikhawatirkan akan berdampak pada terancamnya upaya restorasi gambut yang sedang dilakukan BRG.
”Kalau masyarakat desa tidak bisa mengembangkan ekonominya, mereka akan tergoda merusak ekosistem gambut di sekitarnya,” ucapnya.
Pembina BUMDes Wiraguna di Desa Ganesha Kabupaten Banyuasin, Tuwon Sari, membenarkan, keterbatasan permodalan, infrastruktur, dan juga pemasaran menjadi kendala utama pengembangan ekonomi di desa gambut. Hal ini berdampak pada sulitnya warga meningkatkan taraf ekonomi. Namun, dengan sejumlah program pendampingan dan penguatan BUMDes, sejumlah inovasi pun muncul.
Baca juga: Antisipasi Dini Karhutla di Sumsel, Modifikasi Cuaca Dilakukan di Daerah Rawan
Inovasi itu mulai dari pemasaran produk desa secara daring, serta diversifikasi untuk memberikan nilai tambah. Warga juga sudah dibina untuk memanfaatkan perusahaan marketplace. Produk yang dipasarkan mulai dari produk pangan, pertanian, dan kerajinan.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Evi Norjanah (kiri) bersama ibu-ibu dari Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, pada Sabtu (7/3/2020) sore, membersihkan sedotan purun buatannya untuk mengganti sedotan plastik.
Menurut Tuwon, dari sektor pertanian, warga mulai mengembangkan produk beras merah dan beras hitam yang punya nilai ekonomi lebih tinggi. ”Tertarik dengan harga yang cukup baik di pasar, petani tertarik menanam padi jenis beras hitam dan merah,” katanya.
Alhasil, produktivitas 1.200 hektar lahan pertanian di Desa Ganesha pun bertambah dari 3,8 ton per hektar menjadi 4,1 ton per hektar dalam sekali panen. ”Bahkan, penyaluran hasil pertanian sudah sampai ke Bangka Belitung. Hanya saja, petani belum memiliki izin dagang sehingga belum berani memperluas pasarnya ke pasar swalayan,” ujar Tuwon.
KOMPAS
Warga berusaha memadamkan api yang membakar semak belukar pada lahan gambut dengan peralatan seadanya di Kelurahan Simpang Pelabuhan Dalam, Pemulutan, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (12/9). Dari data BMKG kemarin, jumlah titik panas yang terpantau Satelit Aqua/Terra Modis di Sumsel berjumlah 750 titik.
Pakar ekonomi pedesaan dari Fakuktas Eknomi Universitas Sriwijaya, Sukanto, mengatakan, kendati sudah mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak, masyarakat di desa gambut masih banyak yang miskin. Permasalahannya terletak pada belum sinkronnya program antara tiga kelembagaan yang berperan penting bagi kesejahteraan warga, yakni koperasi, UMKM, dan BUMDes.
”Ada desa yang BUMDes-nya maju, tetapi koperasinya turun performanya. Padahal, ketiga lembaga ini harus berjalan seiring,” ucap Sukanto.
Menurut dia, penguatan kelembagaan dan pengelolaan keuangan merupakan faktor penting untuk meningkatkan kesejahteraan warga. ”Kelembagaan yang efektif mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan wilayah,” ucapnya.