https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/oKInzZPRcMC9BnhB3xWvNmRin_8=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F04%2FKebakaran-Lahan-Gambut_88806822_1587220707.jpgKOMPAS/IRMA TAMBUNAN (ITA) 20-09-2019

Aktivitas para pembalak liar terindikasi menyebabkan kebakaran hutan lindung gambut Sungai Buluh yang dikelola masyarakat di Desa Sinarwajo, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Kamis (19/9/2019). Penegakan hukum mendesak dilakukan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

JAKARTA, KOMPAS — Riset dan kajian yang meliputi hidrologi ataupun pengelolaan gambut mendesak untuk ditingkatkan. Sebab, sampai saat ini sejumlah riset, kajian, dan jurnal internasional terkait dengan hidrologi ataupun pengelolaan gambut agar selalu basah dianggap masih minim.

Deputi Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut (BRG) Haris Gunawan mengungkapkan, pihaknya cukup kesulitan menemukan kajian internasional terkait hidrologi gambut. Minimnya riset ini menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi pengelolaan gambut di Indonesia.

Penelitian tentang bagaimana melakukan restorasi pada skala lanskap juga merupakan tugas besar yang harus diselesaikan.

”Perlu ada riset soal gambut yang benar-benar harus dikejar dari aspek hidrologi. Penelitian tentang bagaimana melakukan restorasi pada skala lanskap juga merupakan tugas besar yang harus diselesaikan,” ujarnya dalam diskusi daring, Selasa (11/8/2020).

Dalam menjawab tantangan tersebut, BRG tengah mengembangkan sejumlah sistem pemantauan, pengawasan, hingga pengelolaan lahan gambut. Salah satu yang dikembangkan adalah sistem deteksi dini fire danger rating system (FDRS) khusus gambut berbasis data air di darat dan kelembaban tanah dari analisis citra satelit.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/FmzrUc25vLcvo8FD-lBngLe6Yro=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191027IDO_Gambut-1_1572169403.pngSAVE OUR BORNEO

Lokasi gambut di PT AUS sebelum terbakar pada akhir tahun 2013 di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.

Tantangan lain, menurut Haris, adalah program restorasi tidak bisa hanya dilakukan di satu lokasi, tetapi harus dalam level lanskap atau skala yang lebih luas. Sebab, lanskap lahan gambut memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Namun, di sisi lain, permasalahan di setiap lanskap juga beragam, seperti perambahan, penebangan liar, hingga kebakaran.

Dari level masyarakat, inovasi juga mulai banyak bermunculan. Masyarakat mitra BRG banyak mengembangkan komoditas ramah gambut. Mereka juga mulai memahami pentingnya ketersediaan air di lahan gambut.

”Produk turunan saat ini banyak dikembangkan untuk kepentingan diversifikasi berbagai macam olahan sagu. Kami juga mempertimbangkan bagaimana sagu itu ramah lingkungan. Masalah dasarnya adalah pada aspek hilirisasi dan pemasaran,” katanya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/ns9zRN-08krCeWPr3dMm7f4kkos=/1024x655/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2F20190814-ANU-Restorasi-Lahan-Gambut-mumed_1565791351.png

Guru Besar Studi Gambut dan Paleoekologi Universitas Greifswald, Jerman, Hans Joosten menyatakan, dalam melakukan riset atau mengembangkan sistem yang sesuai untuk pengelolaan gambut, perlu dilakukan eksperimen di tingkat tapak atau lapangan. Selain itu, riset juga perlu didukung dengan teknologi berupa analisis citra satelit.

Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (UGM) Azwar Maas menambahkan, yang terpenting dalam pengelolaan lahan gambut ialah menjamin tidak terjadi lagi kebakaran. Peningkatan produktivitas juga dinilai lebih utama daripada ekstensifikasi atau perluasan area.

”Untuk mengerti kondisi gambut harus mengetahui kejadian-kejadian secara geologi, geomorfologi, dan pedologi. Misalnya, jika diteliti, gambut juga memengaruhi proses terbentuknya batubara dari sebuah proses geologi,”ujarnya