https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/ew-TxccqzB2yBodU4f2kPZ6TO4A=/1024x684/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F04%2Fcc4069a5-ddf5-41dd-b59a-680905a8b0e4_jpg.jpgKOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Petugas mengecek cadangan beras pemerintah di gudang Perum Bulog Paceda, Kecamatan Madidir, Bitung, Sulawesi Utara, 10 April 2021. 

Keluhan Bulog tidak dapat menyerap lebih banyak beras petani, karena sulit menyalurkan cadangan beras, memerlukan penyelesaian menyeluruh.

Hingga 17 Mei 2021, Bulog memegang 1,37 juta ton beras cadangan pemerintah. Hampir sepertiganya, 413.856 ton, tergolong turun mutu karena berasal dari impor tahun 2018 dan pengadaan dalam negeri tahun 2018 dan 2019.

Pada sisi lain, Bulog hanya menyalurkan beras cadangan itu untuk ketersediaan pangan, stabilisasi harga, dan bantuan pangan saat bencana alam sebesar 600.000 ton per tahun. Dengan peluang penyaluran itu, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso dalam rapat bersama dengan Komisi IV DPR, Selasa (18/5/2021), menyatakan khawatir tak dapat menyerap lebih banyak beras petani. (Kompas, 19/5/2021)

Beras bukan satu-satunya bahan pangan utama, tetapi yang terpenting dan dominan. Beras juga komoditas politik yang dapat memengaruhi keberlanjutan pemerintahan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/gnoVed98LrqZt9R68PYVuIw1ke0=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F03%2Fc145dab9-5761-4761-808e-70535cc4c4a6_jpg.jpgKOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO

Petani di Desa Brobot, Purbalingga, Jawa Tengah, 23 Maret 2021, memasukkan gabah hasil panen ke dalam karung.

Baca juga: Penyaluran Rendah, Bulog Khawatir Serap Beras Petani

Di Asia, setidaknya pemerintah di China, Jepang, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Laos, dan Myanmar menjaga ketat produksi, distribusi, perdagangan beras, kesejahteraan petani produsen beras, dan ketersediaan untuk konsumsi penduduk (Kebijakan Perberasan di Asia, 2003). Bagi Indonesia dan negara-negara Asia itu, beras merupakan pangan pokok dan sumber penghidupan petani yang jumlahnya cukup besar.

Mata rantai penting dalam mengelola pangan adalah stabilisasi harga bagi produsen dan konsumen, distribusi dan keterjangkauan, serta ketersediaan. Bulog dibentuk 10 Mei 1967 dengan tujuan menjaga ketiga hal tersebut saat Indonesia dalam keadaan kurang pangan.

Pada periode Orde Baru, saluran terbesar beras Bulog adalah untuk pegawai negeri dan anggota TNI-Polri. Pada awal dekade 2000-an pemberian beras diganti uang tunai. Beras Bulog kemudian disalurkan untuk masyarakat prasejahtera sebesar 2,6 juta ton per tahun dan dihentikan tahun 2019 karena alasan kualitas dan distribusi tidak tepat sasaran.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, negara kepulauan, dan mayoritas mengonsumsi beras, kita sepakat penyanggaan beras masih diperlukan. Apalagi pandemi menyebabkan rantai pasok perdagangan pangan ikut terganggu.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/VUWqMosvJikWRpgqx0i7tIRhnlA=/1024x684/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F03%2F20210319WEN3_1616127190.jpgKOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Buruh tani meratakan gabah yang dijemur di Desa Kawengen, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, 19 April 2021. 

Baca juga: Harga Gabah Sentuh Titik Terendah

Sebagai perusahaan umum, Bulog tidak ditugasi mencari untung sebesar-besarnya, tetapi juga tidak boleh merugi. Prinsip tata kelola perusahaan yang baik harus dilakukan.

Cara termudah membantu Bulog adalah kembali memberi saluran beras cadangan kepada aparat sipil negara, anggota TNI-Polri, dan masyarakat prasejahtera.

Namun, Bulog perlu memodernisasi diri, misalnya, mendirikan lebih banyak silo untuk menjaga kualitas dalam waktu lebih lama dan berada langsung di daerah sentra produksi untuk meningkatkan efisiensi. Kualitas cadangan beras perlu menyesuaikan dengan perubahan demografi penduduk. Bulog perlu mencari cara baru menyalurkan beras disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Inovasi tidak boleh berhenti dilakukan agar Bulog dapat menjalani perannya sebagai penyangga cadangan pangan nasional dengan baik.