https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/t5SooWdFlbE4zUMcTZHu9MSXoGM=/1024x693/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F03%2Faaa1ca2b-3ab9-4301-b548-1478ac562e5b_jpg.jpgKOMPAS/KRISTI DWI UTAMI

Suasana Gudang Bulog Cabang Pekalongan, Desa Munjungagung, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa (23/3/2021).

JAKARTA, KOMPAS — Setelah hampir sebulan menuai pro-kontra, Presiden Joko Widodo memastikan tidak ada impor beras, setidaknya hingga Juni 2021.   Kepala negara juga telah memerintahkan Menteri Keuangan untuk menyiapkan anggaran yang diperlukan untuk menyerap beras petani.

”Berasnya belum masuk. Saya pastikan beras petani akan diserap oleh Bulog dan saya akan segera memerintahkan Menteri Keuangan untuk membantu anggarannya,” kata Presiden dalam keterangan pers secara daring  dari Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (26/3/2021) malam.

Presiden memahami bahwa memasuki masa panen kali ini, harga beras di tingkat petani belum sesuai  harapan. Oleh karena itu, pemerintah akan berupaya untuk menyerap atau membeli langsung beras hasil panen  petani.

”Oleh sebab itu, saya minta segera hentikan perdebatan yang berkaitan dengan impor beras. Ini justru bisa membuat harga jual gabah di tingkat petani turun atau anjlok,” kata Presiden.

Presiden menambahkan, sudah hampir tiga tahun  Indonesia tidak mengimpor beras. Namun, Presiden mengakui ada nota kesepahaman dengan Thailand dan Vietnam terkait penyediaan beras. Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga mengingat situasi di tengah pandemi Covid-19 yang penuh ketidakpastian.

Keputusan pemerintah mengimpor 1 juta ton beras menjadi polemik sebulan terakhir. Kalangan petani, sejumlah organisasi kemasyarakatan, dan kepala daerah memprotes rencana itu. Sebab, rencana impor tersebar saat petani tengah panen raya serta data surplus produksi dan harga beras di dalam negeri yang relatif stabil tiga  tahun terakhir.

Baca juga : Surplus, tapi Kok Impor?

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/z2MvLHe-SV8OhzvFUu9wUZztGFM=/1024x1514/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F03%2F20210324-H01-DMS-produksi-realisasi-beras-mumed_1616628813.png

Ombudsman RI menduga ada potensi malaadministrasi terkait keputusan itu. Sebab, segenap indikator dinilai tidak mendukung urgensi impor, khususnya dari sisi produksi dan harga di dalam negeri. Sementara sebagian pihak menduga ada motif perburuan rente di tengah disparitas harga  yang signifikan antara pasar beras dalam negeri dan  pasar beras dunia.

Harga beras Thailand dengan kadar kerusakan 5 persen di pasar internasional, menurut laman indexmundi, mencapai 557 dollar AS per ton pada Februari 2021. Dengan kurs Rp 14.400 per dollar AS, angka itu sekitar Rp 8,02 juta per ton atau Rp 8.020 per kilogram (kg). Sementara harga beras Vietnam per Februari 2021, menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), berkisar 486,6-507,3 dollar AS per ton atau Rp 7.000-Rp 7.300 per kg.

Padahal, rata-rata harga beras di dalam negeri, menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, berkisar Rp 11.800-Rp 11.850 per kg dalam sebulan terakhir. Artinya, ada selisih Rp 3.800 per kg hingga Rp 4.800 per kg antara harga beras internasional dan harga beras di dalam negeri.

Managing Director  Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan memperkirakan, perbedaan harga beras lokal dan beras di pasar internasional berkisar Rp 1 juta hingga Rp 4 juta per ton. Dengan demikian, selisih harga bisa Rp 1 triliun hingga Rp 4 triliun untuk tiap 1 juta ton beras impor jika dibandingkan harga beras di dalam negeri.

Apresiasi

Di tengah polemik tentang rencana impor beras, harga gabah di tingkat petani anjlok. Petani di sejumlah sentra padi, seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Lampung, yang ditemui Kompas sepekan terakhir, menyatakan, harga gabah anjlok di bawah ongkos produksi sehingga mereka rugi musim ini.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi menyebutkan, per Rabu (24/3/2021), ada 459 kecamatan di 85 kabupaten yang melaporkan kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP), yakni  Rp 4.200 per kilogram untuk gabah kering panen (GKP). Kasus harga di bawah HPP terbanyak di Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/SSCJgz00rbhAJew7zmXEW-FLeho=/1024x804/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F03%2F20210305-H09-ARJ-beras-rev-mumed_1614958938.png

Baca juga : Penolakan Impor Beras Meluas

Namun, petani di sejumlah daerah menyambut baik pengumuman Presiden yang memastikan tidak ada impor hingga Juni 2021 dan menjamin penyerapan hasil panen dalam negeri. Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Cirebon Tasrip Abubakar menyatakan, petani mengapresiasi keputusan pemerintah menunda impor.

Akan tetapi, petani meminta pemerintah menghitung lagi produksi beras di dalam negeri sebelum memutuskan impor pada Juni-September 2021. ”Kalau hasil panen mencukupi, sebaiknya impor  tetap ditunda,” katanya.

Sekretaris Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Lampung Jiwa Shofari menyatakan, dengan kondisi surplus beras di daerah-daerah, dia menilai Indonesia tidak membutuhkan beras impor. Pemerintah semestinya mengoptimalkan penyerapan beras petani untuk memperkuat cadangan pangan nasional.

”Serap dulu hasil panen petani sebanyak-banyaknya. Kalau memang tidak mampu (penuhi ketersediaan), baru datangkan dari luar,” kata Wakil Ketua KTNA Kabupaten Grobogan Hardiono.

Solusi hulu-hilir

Menurut anggota Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Husein Sawit, Bulog membutuhkan penyaluran publik yang besar, seperti program beras sejahtera (rastra). ”Penyaluran yang besar berdampak pada penyerapan yang besar pula,” ujarnya dalam diskusi daring yang digelar Narasi Institute, Jumat.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/5I4x6t1AESO-WDr6t41fPlCFTVY=/1024x919/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F03%2F20210312-H09-ARJ-produksi-padi-mumed_1615569126.png

Baca juga : Dasar Impor Beras Mesti Kuat

Anggota Perhepi, Lely Pelitasari, menyatakan, Bulog membutuhkan kebijakan perberasan terintegrasi dari hulu ke hilir, dari penyerapan hingga penyaluran. Kebijakan yang terintegrasi menopang fungsi stabilisasi harga di tingkat petani ataupun konsumen di hilir.

Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal menyatakan, perusahaan dapat mencari dan menyerap gabah atau beras sesuai dengan kualitas yang ditentukan pemerintah. Walaupun demikian, perusahaan membutuhkan kebijakan beras yang utuh, terintegrasi, dan tidak parsial. (IKI/VIO/DIT)