https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/kAtGaidrEjy5dSO-KTLs3C99I7E=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F9e44bde1-6f29-4371-962c-8a34b127d01f_jpg.jpgAP / CHANNI ANAND

Para pengunjuk rasa memegang spanduk bertuliskan ”tanpa petani, tidak ada makanan” saat mengikuti mogok nasional di Jammu, India. Pemogokan terjadi setelah lima kali pembicaraan antara petani dan Pemerintah India gagal menghasilkan terobosan apa pun.

Tidak ada petani, tidak ada makanan. Demikian bunyi spanduk yang dibentangkan pengunjuk rasa sambil mengendarai sepeda motor di Jammu, India, Selasa (8/12/2020). Aksi itu bagian dari pemogokan nasional yang diserukan ribuan petani India untuk memprotes undang-undang pertanian yang baru.

Di Ghazipur, di pinggiran New Delhi, menurut laporan Associated Press (AP), ratusan petani memblokir semua rute masuk dan keluar. Mereka meneriakkan slogan-slogan seperti ”hidup persatuan petani” dan membawa spanduk bertuliskan pesan serupa, ”tanpa petani, tidak ada makanan”.

Foto-foto serta laporan AP dan Agence France-Presse (AFP) menunjukkan skala aksi tersebut. Di Kalkutta, para pendukung partai oposisi memblokir jalur kereta api, sementara massa petani di Amritsar membentangkan spanduk dan meneriakkan yel-yel untuk memprotes reformasi pertanian yang dilakukan pemerintah.

Azadpur Mandi, pasar sayur dan buah grosir terbesar di New Delhi, tutup untuk mendukung para petani. Di pasar bunga di Mumbai, para pedagang menutup kios, sementara para buruhnya libur sebagai wujud dukungan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/ClXI6KnVSpcpoWWe17nkbhFnWVU=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F0f9c105f-687c-425a-a4c6-38f2e3a3c706_jpg.jpgAP / BIKAS DAS

Pendukung partai oposisi memblokir jalur kereta api saat mogok nasional yang diserukan oleh ribuan petani India di Kalkutta, India. Mereka menyebut UU itu lebih menguntungkan perusahaan dan merugikan petani.

Pemogokan itu menyusul lima putaran pembicaraan antara petani dan Pemerintah India sebelumnya yang gagal menghasilkan terobosan. Puluhan ribu petani dilaporkan memblokir jalan raya utama di pinggiran New Delhi, ibu kota, selama hampir dua pekan. Petani menolak tawaran pemerintah untuk mengubah beberapa ketentuan yang diperdebatkan dalam undang-undang baru.

Para petani memprotes reformasi yang menurut mereka dapat merusak harga tanaman dan mengurangi pendapatan mereka. Mereka menilai, undang-undang itu akan mengarahkan pemerintah untuk berhenti membeli biji-bijian dengan harga jaminan minimum dan mengakibatkan eksploitasi oleh perusahaan yang akan menekan harga.

Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi menegaskan reformasi akan menguntungkan petani. Petani akan dimungkinkan untuk memasarkan produk mereka dan meningkatkan produksi melalui investasi swasta. Namun, petani mengatakan bahwa mereka tidak pernah dimintai pendapat.

Baca juga : Mencemaskan Masa Depan Petani

Melihat aksi petani India, kita seolah sedang menatap cermin. Dalam skala dan bentuk protes yang berbeda, sejumlah kelompok petani, nelayan, dan peternak di Indonesia memprotes beberapa substansi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang ditetapkan awal November 2020. Sebab, sejumlah pasal di dalamnya mengubah, menambah, dan menghapus substansi perlindungan petani.

UU Cipta Kerja, antara lain, mengubah, menghapus, atau menetapkan norma baru yang sebelumnya diatur dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Pangan, UU Hortikultura, dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Selain mencabut pasal-pasal perlindungan, ketentuan umum tentang ketersediaan pangan diubah sehingga impor pangan diyakini bakal lebih besar dan dikhawatirkan makin menekan petani.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/0DqaatLDUCxVMkwsVtgT9wJ5j78=/1024x1360/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20201016-H09-NSW-RUU-Cipta-Kerja-mumed_1602864115.jpg

Sejumlah kelompok masyarakat, termasuk Serikat Petani Indonesia, memang telah mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja. Namun, kekhawatiran petani belum juga pupus. Sebagaimana petani India, para petani di Tanah Air, khususnya skala kecil, mencemaskan kelangsungan usahanya. Sebab, sebentar lagi mereka mesti bersaing dalam persaingan yang lebih ketat dengan produk-produk pertanian impor.

Kemarahan petani India bisa jadi menggambarkan karakter petani Jawa dengan sikap ngalahngalih, dan ngamuk, atau mengalah, beralih, dan marah atau berontak. Segenap sikap ini mencerminkan reaksi atas situasi yang mereka hadapi. Dalam situasi terdesak, petani bakal ngamuk, antara lain diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa.

Berkaca dari pengalaman di masa lalu, juga di negara lain, kemarahan petani bukanlah perkara sepele. Selain krisis pangan, kemarahan petani bisa merembet ke krisis politik dan sosial. Rezim bisa tumbang karenanya.

Baca juga : Sikap Petani: ”Ngalah”, ”Ngalih”, lalu ”Ngamuk”