KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Makanan berbahan baku komoditas lokal dilombakan saat pameran peringatan Hari Pangan Sedunia Ke-39 tingkat Jawa Timur tahun 2019 di JX International Convention Exhibition Surabaya, Rabu (20/11/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Perum Bulog, badan usaha milik negara bidang pangan, tengah membangun sistem penyerapan dan penyaluran pangan lokal. Upaya ini ditempuh untuk mewujudkan kemandirian melalui diversifikasi sumber pangan.
Saat ini Bulog tengah mengidentifikasi jenis-jenis pangan unggulan di tiap daerah. Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh, saat dihubungi, Senin (20/7/2020), menyatakan, setiap kantor cabang Bulog tengah mengidentifikasi dan mendata pangan lokal unggulan di wilayah kerja masing-masing. Pendataan dan identifikasi itu bermuara pada pemetaan potensi produksi, pengolahan bahan baku, hingga pasar.
Menurut Tri, waktu yang dibutuhkan untuk tahap itu sekitar dua tahun. Namun, pengembangan pangan lokal ini akan melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, serta Komisi IV DPR.
Setelah identifikasi dan pemetaan wilayah produksi, Bulog akan memodifikasi gudangnya agar mampu menyimpan beraneka ragam pangan lokal sesuai dengan karakteristiknya. Hingga kini, Bulog memiliki sekitar 1.500 gudang yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Tepung sagu dijual di Pasar Mardika, Kota Ambon, Maluku. Tepung sagu merupakan bahan untuk membuat papeda.
Di sisi penyaluran, lanjut Tri, penetrasi pangan lokal di masyarakat bisa ditempuh melalui kanal komersial ataupun kewajiban pelayanan publik (PSO). Di kanal komersial, Bulog akan menyiapkan unit-unit pengolahannya dan menjualnya dengan jenama sendiri.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan, diversifikasi pangan lokal sejalan dengan cita-cita pemerintah memenuhi kebutuhan industri dari dalam negeri, khususnya di industri makanan-minuman. ”Tepung mocaf yang berbahan baku singkong, misalnya, dapat menggantikan terigu yang berbasis gandum. Artinya, impor dapat dikurangi dan komponen lokal dapat ditingkatkan,” ujarnya.
Baca juga: Waktunya Mengangkat Produsen Pangan
Menurut Abdul Rochim, peningkatan komponen lokal dalam produk industri makanan-minuman itu akan menguntungkan Indonesia. Apalagi sejumlah produk industri makanan-minuman nasional berorientasi ekspor.
Meskipun demikian, ada sederet pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mendongkrak komponen lokal. Di hulu, misalnya, perlu lahan produksi yang cukup agar pasokan bahan baku berkelanjutan dan kontinu, baik dari sisi jumlah maupun kualitas. Di sisi pengolahan, kontrol terhadap pemrosesan bahan baku perlu ditingkatkan agar mutu terjaga dengan standar tertentu.
Tak hanya beras
Sejumlah sumber pangan memiliki kandungan gizi yang sama dan bisa menggantikan satu sama lain. Dalam konteks kemandirian pangan selama pandemi Covid-19, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menggarisbawahi keragaman pangan di Indonesia.
”Pangan (sumber karbohidrat) itu tidak hanya beras. Bulog tengah mencoba untuk berperan dalam menyerap produksi pangan lokal,” ujarnya dalam sebuah diskusi yang digelar IDX Channel pekan lalu.
Kementerian Pertanian dalam ”Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan 2016” memproyeksikan produksi ubi jalar nasional pada tahun 2020 mencapai 2,7 juta ton. Sementara itu, konsumsinya diprediksi mencapai 1,17 juta ton.
Dokumen yang sama menyebutkan, produksi ubi kayu di Indonesia pada tahun 2020 diprediksi 23,7 juta ton. Adapun konsumsinya diperkirakan dapat mencapai 23 juta ton.
Menurut Budi, perspektif penilaian kemandirian pangan masih berorientasi pada beras, termasuk di Papua yang memiliki potensi sagu berlimpah. ”Sayang sekali makan sagu tidak dijadikan kebiasaan, padahal produksi sagu berlimpah,” ucapnya.
Dalam catatan yang dipublikasikan IPB University, luas lahan tanaman sagu di Indonesia lebih dari 5 juta hektar dengan 90 persen di antaranya berada di Papua dan Papua Barat. Lahan tanaman sagu seluas 1 hektar bisa menghasilkan 20-40 ton pati sehingga 5 juta hektar sagu berpotensi menghasilkan 100-200 juta ton pati per tahun (Kompas, 20/7/2020).
Baca juga: Matinya Kedaulatan Petani dan Pangan
Di Papua, lanjut Budi, produksi beras hanya berpusat di Merauke dan Manokwari. Perum Bulog mesti bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengangkutnya. Terkadang, proses pengangkutannya menggunakan pesawat milik TNI. Biaya pengangkutan dan distribusinya dibebankan kepada pemerintah atau Bulog sehingga masyarakat di daerah tujuan dapat membeli beras dengan harga terjangkau.
Soal diversifikasi pangan, Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi berpendapat, peninjauannya mesti dari aspek suplai dan permintaan. Diversifikasi pangan dapat menghindarkan masyarakat dari syok pasokan yang terjadi akibat perubahan iklim serta gangguan pengangkutan atau distribusi.
Pendekatan kebijakan diversifikasi pangan bisa bersifat sangat lokal. Artinya, pemerintah di tingkat desa, kecamatan, atau kota/kabupaten perlu menjaga ketersediaan pangan dan membuat harganya bersaing sehingga diterima masyarakat.