KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Ketua Kelompok Tani Gemah Ripah, Desa Karangasem, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Achmadi (52) menunjukkan kartu tani milik salah satu anggota kelompoknya, Minggu (9/2/2020). Kartu tani, yang dibagikan mulai 2018, dapat dimanfaatkan, antara lain, untuk membeli pupuk bersubsidi. Sosialisasi diupayakan agar manfaatnya lebih dirasakan petani.
Hilangnya pupuk subsidi dari peredaran meresahkan sejumlah petani di Jawa Barat. Rasanya seperti kehilangan arah. Padi kini kelaparan. Ujungnya, petani terancam tak makan.
Padi milik Baria (56) di Desa Getasan, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (29/9/2020), belum juga tumbuh meski mendapat cukup asupan sinar matahari dan air irigasi. Belum ada tanda-tanda munculnya anakan atau batang padi. Daunnya malah memutih, patah terancam mati karena kurang gizi.
Padi berumur 10 hari setelah tanam (HST) itu belum juga diguyur pupuk. Padahal, idealnya padi diberi asupan pupuk tujuh hari setelah ditanam. Dengan begitu, pada usia setengah bulan, anakan padi mulai muncul. Biasanya, satu bibit padi bisa melahirkan 30-50 anakan padi. Namun, kali ini, Baria ragu.
”Padinya belum dikasih pupuk. Saya datang ke tiga kios, enggak ada pupuk bersubsidi. Baru kali ini petani kesulitan pupuk,” katanya.
Padahal, ia telah terdaftar dalam E-RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok secara elektronik) sebagai syarat menerima pupuk gratis. Kartu tani juga telah dikantongi.
Sebenarnya ia bisa menggunakan pupuk nonsubsidi seperti yang dilakukan saat menyemai benih padi. Ketika itu, ia membeli 25 kilogram urea seharga Rp 150.000. Harga itu jauh lebih mahal dibandingkan dengan pupuk urea bersubsidi Rp 45.000 untuk 25 kg. Jika memakai 7 kuintal pupuk urea nonsubsidi untuk lahan garapannya seluas 1,4 hektar, Baria harus menyiapkan Rp 4,2 juta. Angka itu setara dengan harga 1 ton gabah kering pungut (GKP) di tingkat petani.
”Kalau pakai pupuk nonsubsidi, nanti saya jual gabahnya berapa? Yang bikin harga, kan, tengkulak, bukan petani,” kata bapak lima anak dan lima cucu ini. Lagi pula ia sudah tidak punya tabungan. Hampir 10 ton gabahnya hasil panen musim kemarin ludes terjual.
Padahal, ia juga harus memutar otak demi meraup modal musim tanam rendeng tahun depan. Biaya sewanya saja lebih dari Rp 7,5 juta untuk 0,7 hektar. Ini belum termasuk ongkos tanam hingga panen yang bisa menyentuh Rp 8 juta.
Baca juga : Permasalahan Pupuk Bersubsidi Rumit
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Baria (kanan) dan Kasan, petani, menunjukkan padi berusia 10 hari setelah tanam yang belum dipupuk, di Desa Getasan, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (29/9/2020). Petani setempat sulit mendapatkan pupuk bersubsidi. Penyebabnya, alokasi pupuk bersubsidi dari pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Pupuk urea bersubsidi, misalnya, dialokasikan 23.011 ton. Padahal, kebutuhan petani mencapai 25.021 ton.
Baria beberapa kali melapor soal kelangkaan pupuk bersubsidi kepada Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat Desa Getasan, Kasan. Namun, Kasan tidak bisa apa-apa. Kasan bahkan terpaksa menunda menggarap lahan 1,4 hektar karena masalah pupuk dan air. Memaksa menanam padi tanpa kepastian pupuk bersubsidi, katanya, akan berujung rugi.
”Lahan, sih, sudah ditraktor. Benih padi juga umur 20 hari. Tetapi, tunggu satu bulan saja untuk ditanam. Paling nanti dipotong lagi daunnya,” ucap Kasan.
Berbeda dengan Baria dan Kasan, Ikin (44), petani di Desa Bayur, Kecamatan Cilamaya Kulon, Karawang, memilih jalan lain. Ia tetap membeli pupuk nonsubsidi meski pasokan pupuk subsidi urea di distributor resmi tengah tiada. Pada awal tanam, asupan pupuk urea—yang merupakan salah satu komponen dalam pupuk bersubsidi—sangat dibutuhkan mempercepat pertumbuhan padi.
Harga pupuk urea nonsubsidi dia beli pada kisaran Rp 3.500-Rp 4.500 per kg. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2020, harga eceran tertinggi (HET) pupuk urea ditetapkan Rp 1.800 per kg.
Dalam satu periode tanam, setidaknya dilakukan dua kali pemupukan. Pupuk ini digunakan untuk tanaman padi berumur 14 hari dan 30 hari setelah tanam. Biasanya, dengan modal Rp 800.000, Ikin sudah mencukupi kebutuhan pemupukan selama masa tanam. Kini, dia harus mengeluarkan biaya pembelian pupuk nonsubsidi mencapai Rp 2 juta.
Awal Agustus, Saepudin (55), Ketua Kelompok Tani Mekarsari II Desa Pasirmulya, Kecamatan Majalaya, Karawang, mengajak 33 anggota petani untuk blusukan mencari pupuk subsidi ke kecamatan lainnya. Namun, mereka gagal menemukannya. Ujungnya, petani memadukan berbagai jenis pupuk nonsubsidi yang ada.
Jika tanaman padi tak dipupuk rutin, hasil panen bisa berkurang. Saepudin tak ingin hal tersebut terjadi. Dia memilih mengeluarkan biaya tambahan agar produktivitas stabil atau meningkat. Biasanya 1 hektar sawah menghasilkan 7-10 ton gabah.
Sebanyak 33 anggota petani Karawang blusukan mencari pupuk subsidi ke kecamatan lainnya. Namun, mereka gagal menemukannya. Ujungnya, petani memadukan berbagai jenis pupuk nonsubsidi yang ada.
Tambahan kuota
KOMPAS/MELATI MEWANGI
Seorang petani membeli pestisida di salah satu kios pupuk di Desa Lemahduhur, Kecamatan Tempuran, Karawang, Jawa Barat, Senin (10/2/2020). Kios ini menjadi tempat penyaluran pupuk subsidi untuk enam kelompok tani di desa tersebut.
Mengatasi hal ini, sejumlah daerah mengajukan kuota tambahan pada pemerintah pusat. Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon mengajukan kuota tambahan 5.000 ton pupuk subsidi. Berdasarkan E-RDKK, kuota pupuk subsidi petani di Cirebon sebanyak 25.021 ton.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Ali Effendi menuturkan, kuota pupuk bersubsidi di Cirebon tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Misalnya, Kementerian Pertanian mengalokasikan pupuk urea bersubsidi di Cirebon sebanyak 23.011 ton. Padahal, berdasarkan E-RDKK, kebutuhannya 25.021 ton.
Bahkan, alokasi untuk pupuk SP bersubsidi hanya 3.023 ton, sedangkan kebutuhan petani mencapai 10.082 ton. Begitu pun dengan alokasi pupuk NPK bersubsidi, hanya 16.038 ton dari kebutuhan 33.802 ton.
Adapun Dinas Pertanian Karawang mengajukan tambahan kuota sekitar 17.000 ton pupuk untuk memenuhi musim tanam tahun ini. Ada sekitar 34.000 ha sawah yang akan ditanami pada September. Saat ini, total luas sawah di Karawang 95.287 ha dengan produktivitas rata-rata tahun 2019 mencapai 7,3 ton per ha.
Saat ini, total kuota pupuk subsidi yang sudah disalurkan di Karawang 69.013 ton. Sementara jumlah pupuk subsidi yang dibutuhkan 25.064 ton SP-36, 56.845 ton urea, dan 31.876 ton NPK. Jumlah yang dibutuhkan jelas tidak seimbang dengan persediaan yang ada.
Baca juga : Karawang dan Cirebon Ajukan Tambahan Kuota Pupuk Subsidi
Perbaiki Sistem
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Seorang petugas melintasi gudang pupuk milik PT Pupuk Sriwidjaja, Sabtu (28/4/2018). Penyaluran pupuk bersubsidi tahun 2017 mencapai 9,5 juta ton.
Di Kecamatan Panguragan, Ketua Gabungan Kelompok Tani Sri Jaya Makmur H Amrin menilai, kelangkaan pupuk bersubsidi juga disebabkan perubahan sistem penyaluran. Penerimanya tidak hanya harus terdaftar dalam E-RDKK, tetapi juga punya kartu tani.
Padahal, tidak semua petani memiliki kartu itu. Sebagian besar petani merupakan penggarap atau penyewa lahan yang kerap berpindah sawah. ”Mereka tidak punya kartu tani. Kalau mau urus, prosesnya berhari-hari,” katanya.
Kios pupuk juga belum seluruhnya memiliki alat penangkap data elektronik (electronic data capture/EDC) untuk transaksi. Pemerintah seharusnya membenahi dulu kartu tani sebelum menerapkan sistem baru. Kalau masalah ini belum selesai, petani bisa terus berebut pupuk.
Ali juga mengakui, tahun ini, dari rencana pembagian sekitar 52.000 kartu tani, yang sudah tercetak baru 47.000 kartu. Padahal, jumlah petani di Cirebon diperkirakan lebih kurang 200.000 orang.
Menurut Rusli Abdullah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance, integrasi data pada kartu tani seharusnya bisa memudahkan petani untuk mendapatkan haknya. Namun, fakta di lapangan menunjukkan terjadi jurang pemahaman dan ketidaksiapan dari berbagai pihak.
Pemerintah sebaiknya juga memperbaiki data riil kebutuhan pupuk subsidi dengan jumlah lahan yang ada minimal setahun sekali. Ketidaksesuaian data tersebut berpotensi menyebabkan masalah baru bagi petani.
Integrasi data pada kartu tani seharusnya bisa memudahkan petani untuk mendapatkan haknya. Namun, fakta di lapangan menunjukkan terjadi jurang pemahaman dan ketidaksiapan dari berbagai pihak.
HUMAS PETROKIMIA GRESIK
Petugas sedang melakukan pengecekan stok pupuk bersubsidi di gudang PT Petrokimia Gresik di Gresik, Senin (6/5/2019).
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Cirebon Tasrip Abubakar menilai, kelangkaan pupuk di Cirebon merupakan ironi di tengah upaya pemerintah meningkatkan ketahanan pangan. ”Petani diminta menanam padi tiga kali. Tetapi, musim ketiga ini ada sekitar 10.000 hektar sawah terancam tidak dapat pupuk bersubsidi,” katanya.
Padahal, Cirebon termasuk lumbung padi dengan produksi lebih dari 350.000 ton beras per tahun. Adapun kebutuhan beras di daerah berpenduduk 2,2 juta jiwa itu sekitar 250.000 ton per tahun. Kelangkaan pupuk bisa menyeret produksi beras Cirebon.
Ketika matahari terus meninggi, Kasan mengingat cerita para sesepuh tentang Desa Getasan. Konon, siapa pun orang sakti yang datang ke desa itu akan putus (getas) ilmunya. Bahkan, kalau ada yang mau lamaran, harus berpikir dua kali untuk melintas di perempatan getasan.
”Takut hubungannya juga putus,” ucapnya. Kini, harapan petani seperti Kasan dan Baria untuk hidup sejahtera terancam putus karena kesulitan pupuk.
Baca juga : Petani Jawa Tengah Desak Kelangkaan Pupuk Subsidi Segera Diatasi