KOMPAS
Supriyanto
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar nomor satu di dunia, dan juga terluas nomor tujuh setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, China, Brasil, dan Australia, menghadapi tantangan yang berat untuk dapat mewujudkan dan memosisikan diri sebagai negara maritim yang mandiri, maju, dan kuat. Kebijakan kelautan Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 dan menjadi peletak dasar visi Indonesia menjadi poros maritim dunia belum berjalan efektif karena tidak disokong adanya grand design pembangunan kelautan nasional yang memberikan arah dan juga kepastian dalam jangka panjang menuju Indonesia 2050.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 pada UU No 17/2007 diakui bahwa sumbangan sumber daya kelautan terhadap perekonomian menempati urutan kedua setelah jasa-jasa. Namun, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024, dari 41 daftar program prioritas strategis hanya ada setidaknya empat program yang berkaitan langsung dengan penguatan infrastruktur kelautan. Empat program itu meliputi jaringan pelabuhan utama terpadu, pembangunan pelabuhan perikanan terintegrasi bertaraf internasional, pusat kegiatan strategis nasional di perbatasan, dan penguatan laut di Natuna.
Baca juga: Tamadun Maritim: Spiritual Nawacita
Program-program prioritas strategis tersebut dan juga program lainnya tentu diharapkan dapat mengakselerasi serta memberikan dorongan yang kuat pada kemajuan pembangunan kelautan nasional. Pembangunan kelautan nasional terbagi dalam lima kluster isu penting, yaitu batas maritim, ruang laut, dan diplomasi maritim; industri maritim dan konektivitas laut; industri sumber daya alam dan jasa kelautan serta pengelolaan lingkungan laut; pertahanan dan keamanan laut; serta budaya bahari.
Kluster kelautan di atas merupakan kerangka dari rencana aksi kebijakan kelautan Indonesia pada RPJM 2014-2019 yang memerlukan evaluasi, pengkajian dan pengembangan, serta keberlanjutan dengan memperhatikan perkembangan pembangunan kelautan dunia yang makin berkembang pesat dan dinamis. Kebutuhan masyarakat dunia akan sumber daya kelautan ini akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia yang diperkirakan akan mencapai 8,3 miliar pada 2030 dan 9,8 miliar pada 2050.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Deretan kapal kayu bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, beberapa waktu lalu. Rencana pemerintah merevitalisasi pelabuhan ini diharapkan tidak mengubah ciri sebagai pelabuhan rakyat.
Risiko
Peningkatan pemanfaatan sumber daya kelautan dunia di masa mendatang akan terfokus untuk pemenuhan kebutuhan pangan, transportasi, dan pertahanan. Ini membutuhkan perhatian serta kesiapan dalam menghadapi perkembangan dan kemajuan negara-negara lain di dunia.
Kebutuhan pangan global yang bersumber dari laut diperkirakan akan meningkat 36-74 persen atau mencapai 21 juta-44 juta ton pada 2050. Demikian juga volume perdagangan dunia melalui jalur laut mencapai 11,08 miliar ton tahun 2019 atau naik 0,5 persen dibandingkan dengan 2018 (UNCTAD 2020).
Kebutuhan pangan global yang bersumber dari laut diperkirakan akan meningkat 36-74 persen atau mencapai 21 juta-44 juta ton pada 2050.
Situasi ini menunjukkan bahwa manfaat yang besar dari sumber daya kelautan mengandung risiko karena menghadapi tekanan makin tingginya pertumbuhan berbagai aktivitas ekonomi yang berbasis dan terkait dengan sumber daya laut.
Fenomena ini yang mendorong dan menggerakkan terjadinya eksploitasi sumber daya kelautan secara berlebihan, seperti overfishing, polusi seperti sampah plastik, perubahan iklim, dan hilangnya biodiversitas sehingga berpotensi mengikis atau mengurangi kemampuan laut untuk dapat menjadi sumber kehidupan dan kemakmuran secara berkelanjutan.
Ekonomi kelautan
Untuk mendukung pengelolaan sumber daya kelautan yang memberikan dampak manfaat ekonomi yang besar bagi perekonomian negara diperlukan penerapan prinsip-prinsip pengembangan industri kelautan berdasarkan konsep pembangunan ekonomi biru. Dalam hal ini yaitu dengan menciptakan kebijakan ekonomi dan perlindungan lingkungan laut yang komprehensif; mendorong pembangunan ekonomi daerah; mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan mengedepankan sistem produksi bersih dan mendorong investasi yang kreatif dan inovatif.
Baca juga: Perikanan yang Berkeadilan
Nilai ekonomi sumber daya laut Indonesia dapat dihitung dari dua pendekatan, yaitu aktivitas ekonomi dan aset sumber daya. Nilai ekonomi dari aktivitas sektor kelautan diperkirakan mencapai 188,5 miliar dollar AS atau sekitar 20 persen dari total produk domestik bruto nasional yang disumbang dari perikanan, pariwisata bahari, transportasi laut, minyak serta gas dan mineral lepas pantai, industri manufaktur terkait laut, konstruksi kelautan, dan jasa kemaritiman. Sementara nilai ekonomi dari aset sumber daya alam kelautan yang dapat menghasilkan barang dan jasa ekosistem laut diperkirakan mencapai 403 miliar-411 miliar dollar AS (PEMSEA 2019).
Potensi nilai ekonomi sumber daya kelautan ini sangat besar dan strategis untuk dapat dimanfaatkan serta dikelola secara berkelanjutan dan bijaksana untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan ekonomi biru dalam pengelolaan sumber daya kelautan memerlukan dukungan kebijakan investasi, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi di bidang kelautan. Mengingat Indonesia berada pada posisi geopolitik, maka membutuhkan penguatan dalam penguasaan iptek dan inovasi dalam pengelolaan sumber daya kelautan dalam menghadapi kompetisi pasar bebas dan arus globalisasi yang makin kuat.
Pengkajian yang komprehensif
Meskipun Indonesia telah memberikan perhatian yang cukup besar pada pembangunan sumber daya kelautan dengan serangkaian berbagai perbaikan tata kelola, pada kenyataannya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan menghadapi realitas sosial yang kompleks, antara lain terjadi fenomena kapitalisasi sumber daya yang berlebih yang jika dalam jangka panjang diabaikan akan menimbulkan krisis sosial dan ekologi.
Pada percaturan perdagangan dunia Indonesia telah mengambil peran dengan memanfaatkan keunggulan komparatif wilayah dan perkembangan ekonomi global untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dengan menempatkan diri sebagai pusat lalu lintas pelayaran kapal-kapal internasional. Namun, masih memerlukan peran negara yang kuat dan juga swasta untuk mengatasi hambatan infrastruktur dan mis-manajemen yang mengakibatkan ketidaklancaran arus perdagangan barang dan tingginya biaya logistik.
Baca juga: Laut Kita Sarat Pungli
Dengan memperhatikan serta mencermati ruang dan dimensi pembangunan kelautan yang sangat luas dan kompleks diperlukan adanya pengkajian yang komprehensif menyangkut, pertama, aspek yang bersifat struktural meliputi aspek partisipasi, fungsi, peran, dan kepentingan politik, hambatan dan kendala. Kedua, aspek kelembagaan meliputi aturan formal dan informal, aturan main, insentif, dan perilaku aktor.
DOK. PRIBADI
Thomas Nugroho
Ketiga, aspek tokoh meliputi aktor kunci dan oposisi, momentum perubahan, dan koalisi untuk perubahan. Keempat, dinamika interaksi meliputi situasi, proses pembuatan keputusan, risiko dan peluang keterlibatan, kesenjangan informasi dan pengetahuan, serta ruang kritis lainnya. Pengkajian pembangunan kelautan yang mempertimbangkan dinamika ekonomi politik yang komprehensif dapat membantu mengonstruksi, menyusun, serta menetapkan haluan maritim Indonesia secara hati-hati, lugas, dan berwibawa.
Thomas Nugroho, Dosen Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan (PSP) FPIK IPB University