KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ikan hasil penangkapan di perairan Papua diturunkan dari lambung kapal untuk dibawa ke gudang berpendingin di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Sabtu (7/11/2020). Indonesia tercatat sebagai penghasil perikanan terbesar kedua di dunia. Sektor ini menghasilkan sekitar 4,1 miliar dollar AS pendapatan ekspor tahunan, menunjang lebih dari 7 juta pekerjaan, dan menyediakan lebih dari 50 persen protein hewani bagi Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Kreativitas dan inovasi terus berkembang di berbagai sektor kehidupun di era teknologi informasi dan pandemi Covid-19. Tak terkecuali sektor kelautan dan perikanan yang menjadi tumpuan Indonesia sebagai negera maritim.
Aplikasi dan sistem pendataan yang dilahirkan di sektor tersebut semakin mempermudah tata kelola perdagangan antarpulau, perikanan berkelanjutan, serta beragam informasi bagi para pelaut dan nelayan. Bahkan, ada juga teknologi yang memudahkan nelayan mengetahui harga ikan tangkapan agar tidak dipermainkan para tengkulak.
Pada akhir Januari 2021, misalnya. Zonasea, aplikasi penghubung pemilik kapal dengan pemilik muatan barang, diluncurkan. Platform e-dagang itu ditargetkan mendorong distribusi barang dan sumber daya antarpulau di Indonesia.
Founder Zonasea Roland Permana, Jumat (29/1/2021), mengatakan, pandemi Covid-19 berdampak pada industri pelayaran dan maritim. Industri ini mengalami hambatan layanan dan distribusi.
Aktivitas para pengusaha untuk bertemu secara langsung ataupun dalam memperkenalkan kapalnya kepada pelanggan semakin terbatas. Oleh karena itu, diperlukan upaya menjembatani agar perusahaan kapal bisa fokus memperluas layanan distribusi untuk beragam komoditas.
”Peluncuran Zonasea diharapkan menghubungkan pemilik kapal dengan pemilik muatan, yang fokus pada angkutan curah, angkutan cair, dan angkutan kimia melalui aplikasi digital,” ujarnya.
Peluncuran Zonasea diharapkan menghubungkan pemilik kapal dengan pemilik muatan, yang fokus pada angkutan curah, angkutan cair, dan angkutan kimia melalui aplikasi digital.
Di lain pihak, pemilik kapal juga dapat mengisi kekosongan kapal untuk perjalanan pulang sehingga biaya pengangkutan bisa lebih efisien. Aplikasi itu diharapkan turut berperan dalam program tol laut dan mencapai visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.
”Kami berharap perusahaan kapal tidak hanya fokus melayani hanya satu komoditas saja, tetapi juga pada komoditas yang lain. Misalnya, pemilik kapal tanker tidak harus fokus pada market minyak sawit saja, tetapi juga bisa fokus pada market lainnya, seperti transportasi BBM,” tutur Roland.
Hingga saat ini, terdata 100 kapal yang mendaftar ke aplikasi tersebut, dengan bobot kapal kisaran 1.000-22.000 metrik ton. Zonasea menargetkan pertumbuhan jumlah kapal yang terdaftar mencapai 1.000 kapal tahun ini dengan jangkauan distribusi hingga ke luar negeri.
Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI) juga meluncurkan Online Database Kapal Perikanan One-by-one Indonesia. Sistem pendataan dasar kapal perikanan secara daring (Portal Kapal) itu dibuat untuk memudahkan pendataan dan pengumpulan informasi tentang status sertifikasi kapal. Misalnya kapal-kapal pancing ulur (hand line) dan huhate (pole and line) yang masuk dalam rantai pasok anggota AP2HI di seluruh Indonesia.
”Status kapal yang telah bersertifikat ini bisa menjadi rujukan dan verifikasi berbagai pihak, seperti anggota AP2HI, pembeli luar dan dalam negeri, serta pemangku kepentingan lainnya,” kata Ketua AP2HI Janti Djuari.
Baca Juga: Produk Tuna Ramah Lingkungan Indonesia Diakui Dunia
KOMPAS/R ADHI KUSUMAPUTRA
Aplikasi digital Laut Nusantara yang bisa membantu meningkatkan produktivitas dan keamanan kerja masyarakat nelayan Indonesia. Aplikasi ini memuat informasi kelautan yang dibutuhkan nelayan kecil, mulai dari data tentang wilayah tangkapan, informasi sebaran ikan di pelabuhan, hingga kondisi cuaca di laut. Aplikasi hasil kolaborasi antara Balai Riset dan Observasi Laut (BROL), Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan perusahaan telekomunikasi PT XL Axiata Tbk (XL Axiata) ini dibangun di atas sistem operasi Android dan merupakan 100 persen buatan Indonesia.
AP2HI membutuhkan sistem tata kekelola data ini karena anggotanya mencakup seluruh rantai pengolahan tuna, mulai dari nelayan, perusahaan perikanan, hingga industri pengolahan ikan. Langkah pembangunan sistem ini juga dalam rangka mendukung upaya mewujudkan perikanan berkelanjutan.
”Ketertelusuran ikan hasil tangkapan dan olahan para anggota AP2HI ini bisa menjadi jaminan untuk memenuhi permintaan dan peraturan pasar global,” kata Janti.
Pembangunan sistem ini juga dalam rangka mendukung upaya mewujudkan perikanan berkelanjutan. Ketertelusuran ikan hasil tangkapan dan olahan bisa menjadi jaminan untuk memenuhi permintaan dan peraturan pasar global.
Baca Juga: Pasar Ikan Modern Diperbanyak, Pemasaran Daring Diperkuat
Membantu nelayan kecil
Tidak hanya itu, jauh sebelum pandemi, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bekerja sama dengan perusahaan penyedia platform komunikasi digital Supertext asal Swedia. Mereka menyediakan kanal komunikasi dan informasi untuk komunitas nelayan dan pembudidaya dengan nilai investasi sebesar 15 juta dollar AS.
Aplikasi komunikasi berbasis teknologi 2G ini diharapkan dapat meningkatkan akses komunikasi digital dan peluang bisnis pelaku usaha perikanan di pelosok daerah.
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia sehingga komunikasi merupakan kunci untuk menghadirkan sejumlah hal positif. Namun, sebagian pengguna telepon seluler di Indonesia belum bisa menggunakan internet.
Aplikasi Supertext yang dapat diunduh melalui telepon genggam sederhana diharapkan bermanfaat dalam memberdayakan komunitas perikanan dan nelayan.
”Teknologi informasi memungkinkan masyarakat menciptakan kesempatan, peluang, dan solusi kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Baca Juga: Aplikasi Ponsel untuk Memudahkan Nelayan
Per 2019, sekitar 280.000 nelayan di Indonesia telah menggunakan aplikasi Supertext. Penggunaan Supertext yang diunduh lewat Playstore itu dinilai ideal di Indonesia sebagai negara kepulauan dengan perairan luas. Sebab, masih banyak wilayah kepulauan yang belum terjangkau layanan internet sehingga dibutuhkan komunikasi digital berbasis 2G.
Sementara itu, sejak 2015, Aruna.id, perusahaan teknologi yang bergerak di bidang kelautan dan perikanan, telah banyak membantu masyarakat pesisir. Aruna.id membangun sistem penampilan informasi harga secara terbuka. Dengan data itu, nelayan memahami fluktuasi harga dan mendapatkan harga yang lebih adil. Aruna.id juga mendampingi kelompok ibu-ibu untuk mengolah ikan agar mendapatkan nilai tambah.
Teknologi ini tercipta berkat kegelisahan tiga mahasiswa, yakni Utari Octavianty (27), Indraka Fadhillah (27), dan Farid Naufal Aslam (26), terhadap situasi masyarakat pesisir. ”Ide Aruna.id berasal dari pengalaman Utari dan Indraka sebagai bagian dari masyarakat pesisir,” kata Farid, CEO PT Aruna Jaya Nuswantara atau Aruna.id.
Menjalani hidup di pesisir, benak Utari dan Indraka dipenuhi pertanyaan, mengapa masyarakat pesisir cenderung tak sejahtera? Mengapa nelayan hanya bisa menjual tangkapannya ke tengkulak? Trio Aruna.id menerabas keterbatasan dengan teknologi. Mereka membangun sistem yang menjembatani masyarakat pesisir dengan pembeli, baik di dalam maupun di luar negeri.
Teknologi dan pendampingan dari Aruna.id berbuah baik. Menurut Farid, rata-rata penghasilan nelayan mitra naik dari Rp 2 juta per bulan menjadi Rp 15 juta per bulan. Saat ini, sekitar 11.000 nelayan yang tersebar di 31 kabupaten/kota di Indonesia menjadi mitra Aruna.id.
Baca Juga: Solusi Digital dari Generasi Milenial