KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petani memanen kubis di Desa Genting, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (10/7/2020).
Setiap keluhan dan persoalan sejatinya adalah peluang. Di tangan anak-anak muda, peluang itu dimanfaatkan dengan membangun platform untuk berbagi peran, berkolaborasi, dan berjejaring guna tumbuh sekaligus mengatasi persoalan bersama.
Sebut saja masalah yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Hari-hari ini kita bisa dengan mudah menyebut solusinya. Terhadap problem permodalan yang dialami petani, peternak, nelayan, dan pelaku usaha mikro kecil, misalnya, ada tawaran dari sederet usaha rintisan (start-up) pinjam meminjam antarpihak (peer to peer lending) yang membantu dengan pendampingan, syarat peminjaman yang lebih mudah, dan bunga yang lebih rendah dari rentenir.
Problem anjloknya harga jual produk pertanian dan perikanan pun ada ”obatnya”. Usaha rintisan, seperti Tanijoy, RegoPantes, TaniFund, Crowde, Sayurbox, dan Aruna, memotong rantai distribusi dengan menghubungkan petani atau nelayan langsung ke pasar atau konsumen. Dengan demikian, para produsen pangan itu bisa mendapatkan harga yang lebih baik.
Sejumlah usaha rintisan itu juga mendampingi petani untuk memacu produktivitas tanaman dan mengefisienkan proses produksi. Selain ke pemodal dan pasar, beberapa usaha rintisan juga menghubungkan petani yang tidak memiliki lahan ke pemilik lahan melalui aplikasi sehingga proses budidaya bisa terjadi.
Apa yang melatari lahirnya usaha-usaha yang sebagian besar dirintis oleh generasi dengan usia 20-30 tahun itu? Kegelisahan tiga mahasiswa, yakni Utari Octavianty (27), Indraka Fadhillah (27), dan Farid Naufal Aslam (26), terhadap situasi masyarakat pesisir melahirkan Aruna.id, perusahaan teknologi yang bergerak di bidang kelautan dan perikanan, tahun 2015.
KOMPAS/MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
CEO PT Aruna Jaya Nuswantara atau Aruna.id Farid Naufal Aslam dalam sesi diskusi SDGs (Sustainable Development Goals) Annual Conference 2019 yang digelar Bappenas di Jakarta, Selasa (8/10/2019).
”Ide Aruna.id berasal dari pengalaman Utari dan Indraka sebagai bagian dari masyarakat pesisir,” kata Farid, CEO PT Aruna Jaya Nuswantara atau Aruna.id, Senin (26/10/2020).
Menjalani hidup di pesisir, benak Utari dan Indraka dipenuhi pertanyaan, mengapa masyarakat pesisir cenderung tak sejahtera? Mengapa nelayan hanya bisa menjual hasil tangkapannya ke tengkulak?
Trio Aruna.id menerabas keterbatasan dengan teknologi. Mereka membangun sistem yang menjembatani masyarakat pesisir dengan pembeli, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sistem itu menampilkan informasi harga secara terbuka. Dengan data itu, nelayan memahami fluktuasi harga dan mendapatkan harga yang lebih adil. Aruna.id juga mendampingi kelompok ibu-ibu untuk mengolah ikan untuk mendapatkan nilai tambah.
Teknologi dan pendampingan dari Aruna.id berbuah baik. Menurut Farid, rata-rata penghasilan nelayan mitra naik dari Rp 2 juta per bulan jadi Rp 15 juta per bulan. Saat ini, sekitar 11.000 nelayan yang tersebar di 31 kabupaten/kota di Indonesia menjadi mitra Aruna.id.
Kegelisahan serupa melatari M Nanda Putra, bersama temannya, Kukuh Budi Santoso dan Febrian Imanda Effendy, membangun Tanijoy, usaha rintisan yang bergerak di permodalan petani, ketika usia mereka belum genap 27 tahun pada 23 April 2017. Mereka membantu petani agar lepas dari ketergantungan dengan tengkulak, memacu produktivitas lahan, dan mendapatkan harga jual yang lebih baik.
Sebagaimana Aruna dan Tanijoy, perusahaan teknologi finansial (tekfin) peer to peer lending Amartha lahir dari kegelisahan yang sama. Pendirinya, Andi Taufan Garuda Putra, menyadari adanya ketimpangan di tengah masyarakat sehingga memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya di IBM untuk membangun koperasi di Ciseeng, Bogor, Jawa Barat.
Baca juga: Siasat Modal untuk Petani di Era Keroyokan
Sebelum bertransformasi menjadi perusahaan tekfin, Amartha adalah sebuah koperasi kecil yang didirikan tahun 2010 untuk membantu permodalan usaha ibu-ibu di Ciseeng. Sasarannya adalah masyarakat desa yang kesulitan mengakses pinjaman modal dari bank karena tidak memiliki syarat yang cukup.
Pendekatan Amartha berhasil. Berawal dengan modal Rp 15 juta, Amartha dapat menjangkau 1.000 nasabah di tahun pertama. Pada tahun 2015, model bisnis Amartha berubah dari penyalur pinjaman mikro konvensional menjadi peer to peer yang memungkinkan satu pendana meminjamkan uangnya ke satu nasabah peminjam. Pada Oktober 2020 ini, Amartha menyatakan telah menyalurkan lebih dari Rp 2,7 triliun kepada lebih dari 550.000 perempuan pengusaha mikro di perdesaan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pendiri dan CEO AmarthaAndi Taufan Garuda
”Seratus persen peminjam merupakan pelaku usaha mikro perempuan di desa. Kami ingin membantu mencapai sustainable development goals melalui pilar pengentasan kemiskinan, partisipasi perempuan dalam pembangunan, dan mengurangi ketimpangan pendapatan di perdesaan,” ujar Taufan.
Sebagaimana Aruna, dampak sosial menjadi ukuran keberhasilannya. Pada Maret 2020, Amartha meraih peringkat tertinggi sebagai perusahaan berdampak sosial dari GIIRS (Global Impact Investing Rating System).
Usaha mikro
Di tengah kemajuan teknologi informasi, anak-anak muda hadir untuk merawat modal sosial bangsa dan membantu sesama. Model sharing economy atau collaborative economy, yang memungkinkan beberapa pihak berkolaborasi dan berbagi peran, menghadirkan solusi konkret bagi persoalan yang dihadapi masyarakat.
Salah satu usaha rintisan yang memberikan solusi itu adalah Moka. Perusahaan yang dirintis dua anak muda, Haryanto Tanjo dan Grady Laksmono, ini hadir untuk membantu pengusaha kecil bertahan di tengah terpaan dampak Covid-19 terhadap usaha mikro kecil dan menengah.
Baca juga: Usaha Rintisan Perikanan Melaju di Tengah Krisis
Co-founder Moka, Grady Laksmono (32), mengatakan, pendirian Moka pada 2014 berawal dari keinginan memajukan usaha mikro dan kecil yang kesulitan mengelola usahanya secara digital, terutama dari sisi layanan point-of-sale (POS).
Saat pulang ke Indonesia dari Amerika Serikat pada 2014 silam, Grady dan Haryanto yang merupakan profesional di ranah teknologi informasi melihat banyak usaha kecil, seperti kedai kopi, yang menjalankan bisnisnya dengan cara manual. Pedagang baju di Mangga Dua yang membuka gerai toko lebih dari satu pun masih berbisnis dengan bermodal kertas dan pulpen.
Di sekitar kita, banyak usaha yang belum dibantu teknologi. Masih konvensional, hanya menggunakan kertas dan pulpen, mesin kasir manual atau kalkulator.
”Di sekitar kita banyak usaha yang belum dibantu teknologi. Masih konvensional, hanya menggunakan kertas dan pulpen, mesin kasir manual atau kalkulator. Kami lalu berpikir, apa yang bisa dibuat untuk membantu UMK kita menjadi lebih maju dan digital. Dari situ, ide Moka tercetus,” kata Grady, Selasa (27/10/2020).
Moka menyediakan solusi ekosistem bisnis penunjang penjualan usaha skala bisnis mikro dan kecil. Selain aplikasi POS yang merupakan mesin kasir versi modern untuk mencatat semua transaksi usaha secara detail, aplikasi Moka juga membantu pengusaha mikro dan kecil melakukan pembukuan, pembelian bahan baku, hingga memberi pinjaman modal usaha.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Suasana peluncuran A Cup of Moka (ACOM) di Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Guna mengembangkan layanannya bagi pelaku UMKM, Moka mengembangkan sayap dan berkolaborasi dengan banyak pihak, termasuk usaha rintisan lain, seperti OVO dan Gopay, sebagai mitra pembayaran dompet digital. Dengan kolaborasi itu, pelaku usaha kecil pengguna aplikasi Moka bisa menerima pembayaran digital dalam transaksi sehari-hari.
”Sekarang, orang-orang sudah tahu apa saja keuntungan mendigitalisasi usahanya. Apalagi, kalau bisnis mereka berkembang dan meluas, pasti semakin sulit kalau masih pakai cara manual,” katanya.
Inovasi lain untuk mengangkat usaha kecil menengah ditawarkan oleh Santara, platform urun dana berbasis teknologi. Menurut Chief of Business Officer PT Santara Daya Inspiratama, Krishna T Wijaya, banyak usaha kecil menengah gagal naik kelas karena masalah permodalan.
Baca juga: Urun Dana Saham Jadi Alternatif
”Pada momentum tertentu, ada kondisi kebutuhan pembiayaan lebih besar daripada agunan akhirnya tidak dapat didukung lembaga keuangan formal,” ujarnya.
Di sisi lain, kelas menengah tumbuh dan memunculkan kebutuhan alternatif investasi dengan imbal hasil menarik, adil, dan berdampak positif seperti membantu bisnis skala kecil dan menengah. Dengan membeli kepemilikan saham melalui skema urun dana, ada semangat untuk berkontribusi bagi pembangunan ekonomi.
Santara mengantongi izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada September 2019 sebagai platform equity crowdfunding yang pertama. Hingga 27 Oktober 2020, jumlah pengguna mencapai 234.768 investor dengan dana terhimpun mencapai Rp 102,812 miliar untuk membiayai 72 pelaku bisnis yang menawarkan saham mereka di platform Santara.