https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/7uIo_y1Di_M3Jj9Lg9YLXh1P0_M=/1024x684/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2FDSC04706_1594133371.jpgKOMPAS/KRISTI UTAMI

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kanan) memeriksa alat tangkap cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah, Selasa (7/7/2020). Menurut Edhy, legalisasi cantrang dilakukan untuk menyejahterakan nelayan.

JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah membuka ekspor benih lobster dan melegalkan alat tangkap cantrang dan sejenisnya dikhawatirkan menyulut konflik horizontal antarnelayan semakin marak. Pemerintah dinilai mengabaikan perlindungan terhadap nelayan kecil dan lebih berpihak pada kepentingan investor.

Di sisi lain, tantangan ekspor perikanan Indonesia semakin besar ke negara tujuan utama ekspor. Pemerintah Amerika Setikat (AS), misalnya, berencana memperketat regulasi impor produk perikanan.

Legalisasi ekspor benih lobster dan penggunaan alat tangkap cantrang dan sejenisnya merupakan bagian dari revisi 18 peraturan menteri kelautan dan perikanan di sektor perikanan tangkap. Kebijakan ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah RI yang ditetapkan pada 4 Mei 2020.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang usaha penangkapan ikan juga segera direvisi untuk mendorong investasi. Dalam revisi itu, beberapa alat tangkap ikan yang dilarang akan diizinkan lagi, antara lain, trawl udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik.

Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia Masnuah, Selasa (21/7/2020), mengatakan, rencana pemerintah melegalkan cantrang dan sejenisnya meresahkan perempuan nelayan di Demak yang selama ini bergantung pada tangkapan rajungan. Selama ini, konflik kerap terjadi dengan nelayan alat tangkap tak ramah lingkungan.

”Kapal nelayan rajungan kerap ditabrak kapal berjaring arad (varian cantrang), dan jaring rajungan hilang. Tidak ada penyelesaian sesama komunitas nelayan,” ujarnya dalam telekonferensi pers yang digelar Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

Kapal nelayan rajungan kerap ditabrak kapal berjaring arad (varian cantrang), dan jaring rajungan hilang. Tidak ada penyelesaian sesama komunitas nelayan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/KpiYePJy-x9f3yI_6vFWaYpP5H4=/1024x1855/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F515124_getattachment02112a13-ef90-4038-8a24-668c4b3f6e1a506511.png

Ketua Aliansi Nelayan Sumatera Utara Tris Zamanzyah menyatakan, kebijakan legalisasi pukat harimau dan sejenisnya, termasuk cantrang, merupakan langkah mundur Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dampak legalisasi cantrang dinilai akan merugikan nelayan tradisonal.

Faktanya, cantrang dan sejenisnya itu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga mengeruk berbagai jenis ikan dari ukuran kecil sampai besar serta merusak lingkungan. ”Kami akan terus menolak cantrang dan sejenisnya dengan berbagai cara demi keberlangsungan sumber daya ikan di Nusantara dan kehidupan kami,” katanya.

Baca juga : Konflik Nelayan Berpotensi Menguat

Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati menilai, dinamika kebijakan kelautan dan perikanan kehilangan arah dalam konteks kedaulatan dan kesejahteraan. Arah kebijakan legalisasi cantrang dan ekspor benih lobster justru mendorong liberalisasi pemanfaatan sumber daya ikan, tetapi tidak berpihak pada nelayan tradisional dan pembudidaya lobster.

”Era sebelumnya, KKP menyebut cantrang merusak. Kini, ganti menteri, cantrang dilegalkan lagi. Jangan sampai kebijakan di KKP hanya dibuat seusai pesanan. Muncul kesan, pemerintah membuka menu kepada para investor besar dan tidak bicara dalam konteks nelayan tradisional,” katanya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/iU0GhqT3rQrHLGpSiu9Bn9ntlxw=/1024x639/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F20200703-ANU-pelaku-usaha-lobster-mumed_1593794534.jpg

Susan juga menyoroti kebijakan ekspor benih lobster yang merupakan kegagalan pemerintah. Dari 32 perusahaan yang sudah memperoleh rekomendasi izin ekspor benih lobster, 25 persen di antaranya perusahaan baru. Ia mempertanyakan transparansi dan mekanisme pemilihan perusahaan eksportir serta jaminan keberlanjutan sumber daya lobster.

”Pemerintah berlindung di balik benih lobster yang berlimpah, tetapi mengabaikan fakta bahwa ada rantai pangan dan ekosistem yang terganggu jika eksploitasi benih lobster berlangsung bersa-besaran. Nelayan mana yang didorong sejahtera?” ujarnya.

Baca juga : Ekspor Benih Lobster Dinilai Tidak Transparan

Regulasi AS

Tantangan sektor perikanan juga datang dari negara mitra dagang. Pemerintah AS akan mengimplementasikan Undang-Undang (UU) Perlindungan Kelautan Mamalia AS (US Marine Mammal Protection Act Import Provisions) pada Januari 2022. UU ini mengatur larangan impor produk makanan laut yang ditangkap dengan cara yang bertentangan dengan upaya mengurangi penangkapan sampingan mamalia.

Fisheries Program Spesialis Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) Fisheries Departemen Perdagangan AS,  Dale Jones, mengatakan, program monitoring impor ini guna memastikan produk-produk makanan laut yang masuk ke AS tidak dihasilkan dari praktik perikanan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing), dan kecurangan (seafood fraud).

Seafood fraud meliputi pencantuman label atau informasi yang keliru dan mengubah tampilan fisik produk perikanan agar tampak menarik meski sudah tidak segar.

”Dengan tingginya konsumsi ikan di AS, kami melihat tanggung jawab dan perlu memastikan bahwa kami tidak mengonsumsi dan membeli produk yang dihasilkan dari praktik IUU Fishing,” ujarnya dalam seminar daring ”Tantangan dan Peluang Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan ke AS”, Selasa.

Dengan tingginya konsumsi ikan di AS, kami melihat tanggung jawab dan perlu memastikan bahwa kami tidak mengonsumsi dan membeli produk yang dihasilkan dari praktik IUU Fishing.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/1FfvzVNmtZNXbhFpihYb72H4WEo=/1024x681/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F9efce740-609d-4ccd-a485-ca522daa7785_jpg.jpgKOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memegang ikan nila yang dibudidayakan Balai Perikanan Budi Daya Air Tawar Tatelu, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, dalam kunjungan kerja pada Selasa (18/2/2020). Pemerintah akan mendorong pengembangan pakan mandiri untuk menekan harga pakan serta mengembangkan bibit unggul.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan, ketatnya persyaratan impor negara tujuan dan persaingan antarnegara eksportir perikanan jadi tantangan dan peluang bagi eksportir perikanan nasional. Indonesia memiliki kebijakan yang sejalan dengan AS dalam hal keamanan produk pangan dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam.

”Indonesia telah menerapkan, antara lain, sertifikasi hasil tangkapan ikan, ketertelusuran hasil perikanan, implementasi buku kapal (logbook), dan menjaga sumber daya laut lewat konservasi sumber daya alam dengan mengurangi risiko kematian mamalia laut dalam kegiatan penangkapan ikan,” ujarnya.

Baca juga : Syarat Kian Ketat, Ekspor Ikan ke AS Penuh Tantangan

KKP mencatat, nilai ekspor perikanan Indonesia ke AS pada 2019 sebesar 1,83 miliar dollar AS atau 37,65 persen dari total nilai ekspor perikanan Indonesia. Komoditas utama yang diekspor meliputi udang, kepiting, rajungan, tuna, dan cakalang.

Berdasarkan data United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade) 2020, Indonesia menempati peringkat ke-5 negara eksportir produk perikanan laut ke AS dengan kontribusi 8,2 persen terhadap pangsa pasar impor produk perikanan AS. Pemasok utama produk perikanan ke AS adalah Kanada, India, Chile, dan China.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/R_mbTv7YblynEOwY_EXRFaJdmAw=/1024x1213/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20200526-ANU-ekspor-perikanan-mumed_1590512496.jpg