https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/RijfJbG8RK1YfsytKmJPFNTGhAY=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2F96befb7f-d02b-4af3-a1ed-1eda21a1c7c7_jpg.jpgAFP/DON MACKINNON

Kabut asap menjadi pemandangan di sejumlah kawasan di Kanada saat gelombang panas menerjang negara berpenduduk 38 juta jiwa tersebut.

JAKARTA, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG memastikan bahwa Indonesia tidak mengalami gelombang panas seperti yang tengah terjadi di dunia. Hal ini karena secara geografis Indonesia berada di wilayah ekuatorial sehingga memiliki karakteristik dinamika atmosfer yang berbeda dengan wilayah lintang menengah-tinggi.

Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal menjelaskan, selain berada di wilayah ekuatorial, Indonesia juga memiliki karakteristik perubahan cuaca yang cepat. Dengan perbedaan karakteristik dinamika atmosfer tersebut, fenomena gelombang panas dipastikan tidak terjadi di wilayah Indonesia.

”Fenomena yang terjadi di wilayah Indonesia adalah kondisi suhu panas harian yang umumnya terjadi di wilayah tropis. Ini disebabkan oleh kondisi cuaca cerah pada siang hari dan relatif menguat saat posisi semu matahari berada di sekitar ekuatorial,” ujarnya, di Jakarta, Senin (2/8/2021).

Hujan yang terjadi beberapa hari terakhir di Jabodetabek cenderung disebabkan oleh kondisi dinamika atmosfer yang bersifat lokal, seperti daerah pertemuan angin atau konvergensi.

Menurut Herizal, berdasarkan siklus tahunannya, yakni pada bulan Maret hingga pertengahan September, saat ini posisi semu Matahari berada di belahan Bumi utara. Pada periode ini, angin timuran yang identik dengan musim kemarau terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/b66XH5I_ppXy6qEHiloiASVp5N8=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2Fb24bf076-5aa2-4a90-926f-cc79b7408cdd_jpg.jpgAP/KENT PORTER

Badan Cuaca Nasional Amerika Serikat mengingatkan gelombang panas tidak hanya akan mengancam kesehatan penduduk, tetapi juga akan membuat sejumlah wilayah semakin rentan terhadap kebakaran hutan dan memperburuk dampak kekeringan yang sedang berlangsung.

Menurut hasil pengamatan BMKG, suhu maksimum pada 30 Juli 2021 tercatat 24-35,5 derajat celsius. Suhu maksimum sekitar 24 derajat celsius terjadi di bagian tengah Papua dan maksimum mencapai 35,5 derajat celsius terjadi di Kalimarau, Berau. Suhu maksimum ini masih berada pada kondisi normal dan perubahan dapat terjadi dalam skala waktu harian bergantung pada kondisi cuaca atau awan di suatu wilayah.

Gelombang panas atau heatwave merupakan fenomena cuaca ketika suhu udara panas tercatat lebih tinggi 5 derajat celsius dari rata-rata suhu maksimum hariannya dan berlangsung selama lima hari atau lebih secara berturut-turut. Fenomena ini kerap terjadi di wilayah lintang menengah-tinggi, seperti Amerika, Eropa, dan Australia, serta terjadi pada wilayah dengan massa daratan yang luas.

Baca juga: Korban Gelombang Panas di Kanada dan AS Terus Bertambah

Secara dinamika atmosfer, hal tersebut dapat terjadi karena adanya udara panas yang terperangkap di suatu wilayah disebabkan adanya anomali dinamika atmosfer yang mengakibatkan aliran udara tidak bergerak pada wilayah yang luas, misalnya saat terbentuknya sistem tekanan tinggi dalam skala yang luas dan bertahan cukup lama.

Badan Meteorologi Dunia melaporkan terjadinya gelombang panas di wilayah Amerika Utara yang memecahkan beberapa rekor suhu tertinggi dan berdampak luas pada manusia ataupun ekosistem. Suhu di wilayah British Columbia Kanada tercatat mencapai 49,6 derajat celsius dan 47,7 derajat celsius di Phoenix Arizona pada pertengahan Juni 2021.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/S91gPN2pB5eyZIXrI8wKEs25ngY=/1024x1126/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2F20210702-TCJ-Gelombang-Panas-mumed_1625212408.png

Gelombang panas juga tercatat berlangsung di Eropa pada minggu pertama Agustus 2021. Suhu di beberapa wilayah di Eropa Selatan diprediksi mencapai 40-45 derajat celsius.

Prakiraan cuaca

Terkait dengan prakiraan cuaca beberapa hari ke depan, Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fachri Radjab menyatakan bahwa wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) masih berpotensi hujan dengan intensitas ringan hingga sedang.

Menurut Fachri, hujan yang terjadi beberapa hari terakhir di Jabodetabek cenderung disebabkan oleh kondisi dinamika atmosfer yang bersifat lokal, seperti daerah pertemuan angin atau konvergensi. Namun, beberapa daerah lain juga tercatat berpotensi mengalami hujan dengan intensitas lebat, salah satunya di Masamba, Sulawesi Selatan.

Sampai akhir Juli 2021, sebagian besar wilayah Indonesia berada pada musim kemarau. Meski secara sporadis hujan masih berpeluang terjadi di sebagian wilayah, tingkat perawanan akan cukup rendah pada siang hari. Masyarakat diimbau tetap mengantisipasi perubahan cuaca dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan menjaga kesehatan diri.