Film berjudul The Burning Season (1994) pernah menyita perhatian dunia. Film ini menghadirkan kisah nyata seorang aktivis lingkungan hidup berdarah Brasil, yakni Chico Mendes (1944-1988), yang begitu militan dalam mempertahankan hutan hujan tropis Amazon dari rencana penebangan untuk pembukaan jalan dan peternakan.

Chico Mendes bersama dengan beberapa temannya melakukan usaha perlindungan dan penyelamatan hutan dengan cara yang antikekerasan (empate). Memang, tidak sedikit yang menjadi korban dengan usaha demikian. Bahkan, Chico Mendes sendiri harus terbunuh.

Akan tetapi, Chico dan para ”martir lingkungan hidup Amazon” telah menyadarkan dunia untuk peka menyelamatkan hutan dan lingkungan hidup demi keselamatan manusia. Mereka rela mengorbankan nyawa demi menyelamatkan banyak nyawa yang lain. Untuk itu, Chico Mendez pernah memberikan filosofi penuh moral lingkungan hidup: ”Kalau kamu mengambil terlalu banyak, hutan akan menelanmu dan kau akan menghilang!”

Bagi Chico Mendes, menyelamatkan lingkungan hidup harus dilakukan dengan cinta. Karena, menyelamatkan lingkungan hidup sama dengan pemuliaan kehidupan. Maka, penyelamatan harus sungguh-sungguh dilakukan dengan aksi penuh penghormatan terhadap kehidupan, bahkan jika itu dilakukan terhadap perusak lingkungan hidup itu sendiri.

Apa yang dilakukan oleh Chico Mendes sesungguhnya didasari oleh satu spiritualitas cinta dan peka pada lingkungan hidup. Ia telah sampai pada kepekaan hakiki, yakni memandang lingkungan hidup sebagai ”saudara yang sungguh hidup” sebagaimana manusia memiliki tubuh, jiwa, dan roh kehidupan.

Baca juga : Mempertaruhkan Keselamatan demi Menyelamatkan Lingkungan

Mengatasi alienasi

Sejak berkembangnya Revolusi Industri pada abad XIX, kesenjangan relasi antara manusia dan lingkungan hidup terasa semakin kuat. Lingkungan hidup dianggap sebagai obyek yang sewajarnya dimanfaatkan sehabis-habisnya demi memudahkan proses kehidupan manusia. Sementara itu, manusia menganggap diri sebagai tuan penguasa atas lingkungan hidup yang bisa bertindak sesuka hati.

Ujung dari pandangan keliru ini adalah pengasingan (alienasi) di bumi. Manusia dan lingkungan saling terasing dan terpisah satu sama lain!

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/evUQcfD-qxpvL-YF_bgzcvsvwyc=/1024x643/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F3381b995-0fb6-4416-b70f-4a2c1bf0762b_jpg.jpgKOMPAS/ALIF ICHWAN

Sejumlah aktivis pencinta lingkungan hidup menggelar aksi di kawasan hari bebas kendaraan bermotor, Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (29/9/2019). Aksi dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah atas seringnya kebakaran hutan yang terjadi di sejumlah daerah dan menyerukan untuk segera menyelamatkan hutan Indonesia.

Apa pun ceritanya, manusia dan lingkungan hidup adalah satu keluarga dan punya relasi yang begitu erat. Kalau lingkungan hidup sehat, manusia akan sehat. Sebaliknya, kalau lingkungan hidup sakit atau menderita, betapa lebih lagi manusia di dalamnya yang hanya menjadi bagian kecil (mikrokosmos) dari lingkungan hidup.

Kesulitan terbesar di zaman ini ada pada titik alienasi ini. Keprihatinan manusia di berbagai tradisi telah berpusat secara eksklusif pada hubungan antarmanusia dan antara yang ilahi-manusia. Sementara itu, hubungan manusia-bumi tidak lagi mendapat perhatian.

Di zaman sekarang ini, manusia memerlukan suatu pola hubungan baru dengan lingkungan hidup.

Keterasingan seperti ini perlu diubah. Di zaman sekarang ini, manusia memerlukan suatu pola hubungan baru dengan lingkungan hidup. Perubahan ini akan menyembuhkan penyakit kultural yang telah begitu dalam mengakar dan merusak.

Mgr Samuel Oton Sidin OFMCap dalam Hari Studi Sidang Sinodal KWI pada November 2012 menyatakan bahwa bumi ini punya aturan permainan. Makhluk-makhluk yang tak berakal budi dan semua yang ada dalam kesatuan dengannya terikat pada hukum alam yang bagi orang beriman diyakini berasal dari Sang Pencipta.

Bapa Uskup melihat bahwa tidak ada alienasi di bumi. Semua makhluk justru saling terikat satu sama lain dengan peranannya masing-masing, menjaga stabilitas lingkungan hidup yang indah, otentik, unik, dan terlebih punya roh ekologis. Bahkan, lingkungan hidup sanggup mempresentasikan Sang Pencipta sendiri.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/248IvsIp3ynDh93DdHbhD8i43VU=/1024x480/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F20211025-ILUSTRASI-OPINI-Hak-Warga-atas-Lingkungan-yang-Sehat-dan-Bebas-Merkuri_1635175580.jpg

Bersatu dengan alam

Apabila semakin membedakan diri dari lingkungan hidup, semakin manusia merasa lebih tinggi dan menjadi penguasa. Manusia akan jatuh pada antroposentrisme dan egosentrisme yang menyatakan bahwa dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu.

Manusia akan mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Sebaliknya, lingkungan hidup akan terancam rusak dan punah serta tidak dipedulikan.

Keadaan seperti ini akan semakin sulit apabila pembelotan manusia dari lingkungan hidup semakin menjadi-jadi. Manusia hanya akan semakin mengoyak sistem kehidupan yang telah tertata harmonis dan koheren. Teknologi ciptaan manusia tidak berjalan selaras dengan irama alami lingkungan hidup.

Baca juga : Kepedulian dan Donasi Kita Menjaga Kelestarian Bumi

Jalan keluar dari situasi ini adalah manusia harus bergabung dan bersatu dalam komunitas bumi sebagai anggota yang berpartisipasi aktif, menumbuhkan kemajuan dan kemakmuran komunitas bioregion. Thomas Berry dalam The Dream of the Earth (1988) membagi bioregion dalam enam fase.

Fase pertama, menggandakan diri sendiri dengan mengenali hak setiap spesies atas lingkungan hidup, jalur migrasi, dan tempatnya dalam komunitas. Setiap anggota komunitas meneruskan keberadaan dirinya melalui pergantian generasi berikutnya. Tingkat keseimbangan pun harus dipertahankan dalam komunitas tersebut.

Fase kedua, memberi makan untuk diri sendiri. Anggota komunitas saling menyokong dalam pembentukan pola dunia alamiah demi kesejahteraan seluruh komunitas dan anggotanya.

Fase ketiga, mendidik diri sendiri melalui pola fisik, kimiawi, biologis, dan budaya. Setiap anggota komunitas saling membutuhkan yang lain. Manusia juga harus belajar dari alam untuk dapat bertahan hidup dan mencapai pemenuhan hidupnya.

Manusia juga harus belajar dari alam untuk dapat bertahan hidup dan mencapai pemenuhan hidupnya.

Fase keempat, mengatur dirinya sendiri. Terjadi ikatan internal komunitas sehingga setiap anggota terlibat dalam tatanan pengaturan hidup masing-masing. Manusia menggabungkan diri ke dalam komunitas dengan berbagai perayaan ritual.

Fase kelima, penyembuhan diri sendiri. Setiap anggota komunitas membawa dalam dirinya (in sich) energi untuk hidup dan regenerasi. Ketika kerusakan terjadi, penyembuhan akan berlangsung. Manusia pun punya peranan penting untuk menyembuhkan komunitas lingkungan hidupnya yang rusak.

Fase keenam ditemukan dalam kegiatan mencapai kepenuhan diri (self-fulfillment). Manusia mampu sampai pada kepenuhan diri karena andil dari komponen terkecil sekalipun dari lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, manusia perlu melalukan perubahan (movement) dari antroposentrisme-eksploitatif menuju biosentrisme-partisipatif.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/WWmEIEBsCG00vTThf7XLgijKiVY=/1024x563/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F11%2F20211115-OPINI-Menyeimbangkan-Ekologi-dan-Ekonomi-di-Ruang-Laut_1636992175.jpg

Melek ekologis

Sudah saatnya setiap orang melakukan perubahan menuju pembaruan dan spirit peka akan lingkungan hidup yang kian rusak. Desakan ini bukan hanya dialamatkan pada ratapan di masa lalu dan sekarang. Akan tetapi, hal ini mengandung dinamika di masa depan.

Untuk sampai pada harapan di atas, diperlukan transformasi radikal dalam seluruh kegiatan manusia. Terlebih, manusia sendiri harus melek terhadap apa saja yang tengah berlangsung di dalam lingkungan hidup yang dihuninya. Karena, melek secara ekologis (ecoliteracy) menjadi dasar untuk menyelamatkan lingkungan hidup.

Fritjof Capra dalam The Turning Point (1982) menyatakan bahwa melek ekologis yang harus dicermati manusia berada pada tatanan paradigma sistemik, organik, holistik, dan ekologis dari suatu lingkungan hidup.

Melek ekologis tecermin dalam perubahan pola, tindakan, dan gaya hidup manusia. Hal ini akan menunjang bangkitnya kesadaran ekologi setiap insan untuk hidup selaras dan harmonis dengan alam semesta.

Baca juga : Menciptakan Zaman Ekologis

Prinsip penting menurut Fritjof Capra dalam melek ekologis adalah memahami dengan benar dan tepat prinsip-prinsip ekologis, seperti jejaring (networks), siklus (cycles), energi surya (solar energy), kemitraan (partnership), keanekaragaman (diversity), dan keseimbangan dinamis (dynamic balance).

Jika prinsip tersebut dipahami dengan sungguh, niscaya manusia akan sadar dan kemudian menata kehidupan yang ekologis. Manusia juga akan sampai pada tingkat cerdas secara ekologis dengan bijak memilih produk ramah lingkungan, peka membaca tanda-tanda alamiah (natural signs) yang muncul dari lingkungan hidup, dan cerdas mengatasi gejala-gejala tersebut dengan bijaksana.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/HPlnhyHh6OgIjQJshX0ZIUxASyU=/1024x1371/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2FArgumentasi-Kos3-Agustian-Ganda-Putra-Sihombing_1573459842.jpgDOKUMENTASI PRIBADI

Agustian Ganda Putra Sihombing

Kita menantikan agar semakin banyak orang yang tersentuh hatinya dan bergerak untuk mencintai lingkungan hidup seperti dirinya sendiri. Kita menantikan pula agar pendidikan ekologis dan optimalisasi spirit peka lingkungan hidup semakin bersemi di dunia dan tanah air Indonesia. Tujuan utama dari mengembangkan spiritualitas peka akan lingkungan hidup adalah membangun sebuah relasi manusia-bumi yang saling menguntungkan dan menguatkan. Sic fiat!

Agustian Ganda Putra Sihombing, Anggota Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kapusin Medan - Divisi Lingkungan Hidup Biarawan Ordo Kapusin Provinsi Medan (OKPM)