https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/4io1ZdqTtT65rZt905-XhOWVlGE=/1024x575/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2Ffafeb7ce-a05a-44d8-9e25-c7b45cf280cb_jpg.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Sisa-sisa rumah kayu yang rusak di Pekauman, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, yang terbawa arus, Kamis (21/1/2021). Di Pekauman, 80 persen warga sudah pindah ke posko pengungsian, tetapi masih ada warga yang memilih bertahan.

Banjir besar yang terjadi di Kalimantan Selatan yang terjadi sejak 9 Januari 2021, telah melumpuhkan 10 kabupaten kota. Merenggut 15 korban jiwa, ratusan ribu orang terdampak dan terpaksa mengungsi, belum termasuk kerugian ekonomi yang harus ditanggung warga.

Apa yang terjadi di Kalimantan Selatan sesungguhnya telah dapat dimitigasi jika saja pemerintah, baik pusat maupun daerah, menyimak apa yang telah disampaikan BNPB pada 2019. Pada 2019, BNPB menyebutkan bahwa selama kurun waktu 20 tahun terakhir, 98 persen kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologis.

Banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan bergantian mengikuti cuaca ekstrem yang terjadi. BNPB juga menyatakan bahwa Indonesia sudah berada dalam situasi darurat ekologis. Terang, bencana yang terjadi dipicu kerusakan lingkungan hidup yang semakin masif.

Sayangnya, pernyataan Presiden kala mengunjungi Kalimantan Selatan jauh dari harapan publik dan akhirnya menuai kritik. Curah hujan dan anomali cuaca dituding sebagai penyebab banjir yang melanda Bumi Banua ini. Kalimat tegas yang ada dalam janji Nawacita pertama bahwa ”negara ini berada pada titik kritis bahaya kemanusiaan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup” tak berjejak seperti hanyut bersama dengan luapan air Sungai Barito.

Pernyataan pemerintah ini sesungguhnya berusaha menyangkal dan menutup mata atas fakta praktik buruk industri ekstraktif di Indonesia.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/43il2tLtSrEXvSMwyXjbPhswLFg=/1024x575/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2F64cc7a75-27c9-40f1-9e70-a1d23a64e089_jpg.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Jahrani (43), warga Sungai Raya, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, melihat pasrah ke arah rumahnya dan 11 rumah lainnya yang digusur longsor perlahan di pinggiran Sungai Martapura, Jumat (22/1/2021).

Jared Diamond dalam Collapse, How Societies Choose to Fail or Succeed melihat kerangka kolaps pada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Faktor tersebut, antara lain, kerusakan lingkungan hidup dan perubahan iklim.

Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup, krisis iklim dan bencana ekologis di Indonesia yang terjadi hingga hari ini, semestinya dibaca dalam logika kompleks antara pertumbuhan yang diagung-agungkan, ketidakpahaman atas perubahan lingkungan hidup, dan pengabaian atas biaya yang ditanggung warga dalam setiap narasi pembangunan.

Diamond juga mengatakan bahwa pilihan untuk bertahan atau kolaps, jatuh pada entitas manusia yang tinggal di dalamnya. Pada konteks tertentu, entitas ditentukan oleh pilihan pemimpin politiknya. Dan, tampaknya pemimpin politik di Indonesia memilih jalan menuju kolaps dengan membiarkan bencana terjadi dengan intensitas yang meningkat dari tahun ke tahun.

Penanganan krisis ekologi tetap sama, tetap memberi karpet merah pada industri esktraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur, pembangunan infrastruktur raksasa tanpa pernah menghitung daya dukung dan tampung lingkungan hidup, mobilisasi bantuan secara serampangan, sambil terus menyalahkan alam.

Data yang diolah Walhi Kalimantan Selatan menyebutkan dari 3,7 juta hektar luasan wilayah Kalimantan Selatan, hampir 50 persen merupakan lahan tambang dan perkebunan sawit. Sudah bukan rahasia umum, telah lama wilayah ini dikenal surganya pebisnis tambang emas hitam. Tercatat 157 perusahaan tambang batubara di Kalimantan Selatan dengan 814 lubang tambang.

Hutan di Kalimantan Selatan terus menyusut dari waktu ke waktu, daya dukung dan tampung lingkungan hidup semakin merosot dan berakhir pada bencana ekologis. UU Minerba dan UU Ciptaker yang akan semakin menuai bencana ekologis dan krisis iklim.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/3hZnfx87Q4zat0mBN47aBl8TwG8=/1024x684/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2F548f6aac-204c-4d7c-87b1-5aa690f74ab3_jpg.jpgKOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Longsoran pekuburuan di bukit tepi Jalan Raya Manado-Tomohon, Kelurahan Winangun, Manado, Sulawesi Utara, belum dibereskan hingga Senin (25/1/2021). Longsor terjadi pada Jumat (22/1/2021) sore saat hujan lebat mengguyur Manado.

Pernyataan dari Presiden terkait situasi darurat ekologis inilah yang sesungguhnya ditunggu publik untuk kemudian menjadi pijakan bagaimana mengoreksi cara pandang pembangunan yang selama ini bertumpu pada industri ekstraktif yang rakus dan mengabaikan daya dukung alam dan memicu krisis iklim, ketimbang sibuk mengklarifikasi perbedaan data akibat tidak transparannya pemerintah terhadap data perizinan kepada publik.

Ekosida

Fakta darurat ekologis dan krisis iklim akibat dari paradigma ekonomi global yang menempatkan alam sebagai onggokan komoditas terjadi di berbagai belahan dunia. Situasi ini membuat keresahan para aktivis lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

Gagasan ekosida kemudian ditawarkan sebagai jalan untuk menghentikan praktik kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan secara sistematis dan berdampak luas dengan membawa pelaku kejahatan lingkungan untuk diminta pertanggungjawabannya.

Dalam pengalaman melakukan kerja-kerja advokasi lingkungan hidup bersama rakyat, Walhi menilai bahwa korporasi nasional dan TNC’s menjadi aktor utama dan berkelindan dengan negara melalui kebijakan-kebijakan dan perizinan yang diberikan merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Sebuah kejahatan yang terencana, sistematis, dan berdampak luas dan tidak bisa dipulihkan.

”Bahwa gejala eksploitasi yang masif terhadap sumber daya alam secara terbuka, menurut kenyataannya telah mengarah pada tindakan perusakan dan pemusnahan atas ekosistem sumber kehidupan dan lingkungan hidup, atau disebut ecocide. Deplesi ekologi saat ini lebih disebabkan oleh pengarahan pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dan masa depan generasi.” (Ecocide, Walhi 2005)

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/n6Thp7qGFZzE_Ky1_IBL6AQBK7s=/1024x575/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2F035336cb-34fc-4cd8-ae30-a9b2cddb7729_jpg.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Sebuah batu runtuh dari ujung tebing di lubang bekas tambang sehingga menimbulkan riak dan bunyi seperti dentuman, di Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (22/1/2021). Lubang tambang di Kalsel yang penuh dengan izin pertambangan masih banyak yang belum direklamasi.

Gagasan ekosida kini tengah berkembang untuk didiskusikan oleh beberapa parlemen dan pemimpin negara. Bahkan juga telah menjadi perhatian Paus Fransiskus, yang dalam sebuah pertemuaan keagamaan di Brasil (2019) menyatakan ekosida sebagai kontaminasi masif terhadap udara, sumber daya alam dan air, perusakan flora dan fauna dalam skala masif, serta tiap tindakan yang mampu mengakibatkan bencana ekologis atau penghancuran ekosistem.

Pada konteks Indonesia, kejadian bencana ekologis dari praktik kejahatan lingkungan hidup dari tahun ke tahun tidak menunjukkan penurunan dan bahkan jumlah korban yang meningkat. Hal ini dapat menjadi momentum untuk membawa gagasan kejahatan ekosida ke tengah publik dan pengurus negara dan pada akhirnya kejahatan ekosida dapat diakui secara hukum dalam undang-undang, mengakui bahwa kejahatan lingkungan hidup adalah pelanggaran berat hak asasi manusia.