lingkungan dan akan memutus akses kendali publik atas sumber air bersih, udara bersih, tanah, dan laut.
JAKARTA, KOMPAS — Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai melemahkan instrumen perlindungan lingkungan hidup, termasuk memangkas partisipasi masyarakat untuk turut berkontribusi mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ini dinilai sebagai langkah mundur.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana menjelaskan, dampak RUU Cipta Kerja yang paling krusial yaitu pelemahan partisipasi masyarakat terkait pengambilan keputusan dalam kegiatan yang berdampak pada lingkungan. Masyarakat hanya dilibatkan ketika penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
”Itu pun hanya masyarakat yang terkena dampak. Sementara pemerhati lingkungan serta akademisi sudah tidak diberikan tempat dan sudah hilang perannya dalam penilaian amdal. Hilang juga kepastian hak masyarakat untuk mengajukan gugatan atas persetujuan lingkungan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (8/10/2020).
Baca juga: Undang-Undang Sapu Jagat Rentan Perparah Dampak Lingkungan dan Konflik
Berdasarkan dokumen RUU Cipta kerja yang dibawa ke sidang paripurna, aturan yang berdampak pada lingkungan atau SDA salah satunya tercantum dalam bab ketiga. Bab tersebut mengatur tentang peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Aturan pada bab ketiga dijabarkan kembali ke dalam paragraf tiga yang memuat aturan tentang persetujuan lingkungan.
ARSIP KOMPAS
Praktik tambang minyak ilegal berlangsung terorganisasi dalam kawasan hutan tanaman industri di Kabupaten Sarolangun, Jambi, Rabu (3/6/2020), Aktivitas yang mengakibatkan kerusakan lingkungan itu butuh penegakan hukum terpadu.
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Raynaldo Sembiring mengatakan, dalam laporan analisis yang telah disusun ICEL, penerbitan RUU Cipta Kerja berdampak pada enam undang-undang yang memuat tentang substansi lingkungan dan sumber daya alam (SDA).
UU tersebut yakni UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), UU No 41/1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan UU No 19/2004, dan UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Selain itu, juga ada UU No 39/2014 tentang Perkebunan, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan.
Sejumlah ketentuan UU Lingkungan Hidup yang diubah bahkan dihapus dalam RUU Cipta Kerja yaitu Pasal 24, 38, 39, 40, 63, dan 69. Pengubahan pasal-pasal tersebut akan melemahkan secara sistematis dan terstruktur pada sejumlah proses amdal, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) serta perizinan lingkungan. Padahal, efektivitas amdal, UKL-UPL, dan perizinan lingkungan sangat ditentukan dan saling terkait dengan instrumen lingkungan hidup lainnya.
Baca juga: Emil Salim: ”Omnibus Law” Membuat Indonesia Kembali ke Masa Lalu
Pasal 24 UU PPLH menyatakan dokumen amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Namun, dalam RUU Cipta Kerja penjelasan tentang dokumen amdal ditambah dengan frasa untuk rencana usaha dan kegiatan. Dalam proses penyusunan amdal juga menghilangkan peran Komisi Penilai Amdal dan digantikan oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat.
KOMPAS
Penggalian tambang batubara yang masih beroperasi di kawasan konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Jumat (23/11/2018). Kawasan konservasi alam ini seharusnya dilindungi dan terbebas aktivitas pertambangan yang berakibat kerusakan hutan dan lingkungan serta sumber daya alam seperti air bersih.
Perubahan ini berpotensi menjauhkan akses informasi, baik bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha di daerah dalam menyusun amdal. Tidak adanya unsur masyarakat dalam Lembaga Uji Kelayakan yang sebelumnya ada dalam Komisi Penilai Amdal mengurangi ruang untuk menjalankan partisipasi yang hakiki.
Pelemahan partisipasi publik juga ditunjukkan dari penghapusan Pasal 38 UU Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja. Pasal 38 menyebut bahwa izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara. Penghapusan pasal ini berpotensi menghilangkan akses masyarakat terhadap proses peradilan yang dijamin dalam Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan Hidup dan Manusia.
Penghapusan Pasal 40 yang mengatur tentang izin lingkungan bagi suatu usaha atau kegiatan usaha juga akan kembali melemahkan partisipasi publik. Sebab, publik tidak bisa mengontrol secara langsung karena terdapat potensi bahwa pembatalan persetujuan lingkungan tidak serta merta membatalkan perizinan berusaha.
”Tanpa partisipasi publik dalam kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan, pada akhirnya UU Cipta Kerja berpotensi memperparah kerusakan lingkungan. Sebab, izin usahanya semakin mudah tetapi di sisi lain konsekuensi-konsekuensi tertentu dihilangkan,” ujar Andri.
Pemangkasan izin
Selain pelemahan partisipasi publik, Andri juga menyoroti RUU Cipta Kerja yang mengatur pemangkasan izin usaha lingkungan dari daerah langsung ke pusat. Bahkan, peran pengawasan juga lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat. Namun, RUU Cipta Kerja tidak jelas menyebut siapa pihak pemerintah pusat yang dimaksud.
”Pasal-pasal pendelegasian ini seharusnya jelas disebut dalam undang-undang, bukan diserahkan ke peraturan pemerintah. Sebab, jika UU tidak mengamanatkan, peraturan pemerintah juga tidak boleh menetapkan pendelegasian untuk kewenangan tertentu,” tuturnya.
Berkaca dari banyaknya permasalahan yang ada di RUU Cipta Kerja tersebut, Andri berharap pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Hal ini juga bertujuan untuk meredamkan unjuk rasa yang kian masif dari masyarakat dalam kondisi pandemi saat ini.
Baca juga: Pengesahan RUU Cipta Kerja Berpotensi Memperparah Perampasan Ruang Hidup Masyarakat
Sementara itu, dalam konferensi pers yang dihadiri 12 menteri pada Rabu (7/10/2020) lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menepis anggapan bahwa RUU Cipta Kerja akan melemahkan amdal. Dia pun menegaskan prinsip dan konsep dasar pengaturan amdal dalam RUU Cipta Kerja tidak berubah dari ketentuan sebelumnya. Perubahan hanya terjadi pada kebijakan dan prosedurnya.
”Amdal harus diberikan kemudahan bagi pelaku usaha. Undang-undang ini juga sebenarnya bukan menghapus izin lingkungan, tetapi mengintegrasikan izin lingkungan kepada izin berusaha dalam rangka meringkas sistem perizinan,” tuturnya.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memberikan keterangan dalam konferensi pers penjelasan Undang-Undang Cipta Kerja yang berlangsung di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (7/10/2020).
Siti menegaskan, RUU Cipta Kerja juga akan menguatkan perizinan berusaha. Sebab, terdapat ketentuan yang menyebutkan perizinan berusaha dapat dibatalkan apabila satu persyaratan yang diajukan dalam permohonan mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, hingga pemalsuan dokumen.
Sementara dalam ketentuan sebelumnya, menurut Siti, perusahaan masih bisa beroperasi meskipun izinnya dicabut. Namun, dalam RUU Cipta Kerja, izin usaha tidak akan diberikan pada perusahaan yang tercatat memiliki permasalahan terkait lingkungan. Ketentuan inilah yang disebut Siti sebagai integrasi izin lingkungan dengan izin berusaha.
Ia pun menepis peniadaan kesempatan bagi masyarakat untuk melayangkan gugatan. Ia menyatakan gugatan tata usaha negara dapat dilakukan terhadap perizinan berusaha yang penerbitannya didasarkan pada persetujuan lingkungan.
Terkait dengan dihilangkannya peran Komisi Penilai Amdal dan digantikan oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat, hal ini dilakukan guna memudahkan penilaian amdal. ”Dengan mekanisme ini, uji kelayakan dilaksanakan sesuai NSPK (norma, standar, prosedur, dan kriteria) dan terstandarisasi,” katanya.