Alam memang penuh marabahaya, tetapi bencana selalu terjadi karena ulah manusia. Jadi, jangan pernah menyalahkan alam ketika terjadi kerugian material atau korban jiwa.
Hancurnya pulau tak berpenghuni oleh gunung api atau gempa bumi bukanlah bencana. Itu hanya siklus alam biasa. Tanah longsor dan banjir tidak menjadi bencana, betapapun besarnya, kecuali jika ada kerusakan dan dampak kepada manusia.
Jadi, kenapa kita kerap menambahkan kata ”alam” dalam sejumlah kejadian bencana? Apalagi sampai menyalahkan hujan?
Istilah bencana alam ini sebenarnya tidak lagi dipakai dalam manajemen bencana modern, seperti ditegaskan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR). ”Bencana selalu berdimensi sosial dan ekonomi politik,” tulis Chester Hartman dan Gregory D Squires, dalam buku, There Is No Such Thing as a Natural Disaster: Race, Class, and Hurricane Katrina (2006).
Namun, di Indonesia, istilah bencana alam, masih kerap dipakai, termasuk oleh media, yang umumnya untuk merujuk kejadian yang disebabkan kekuatan di luar kendali manusia.
Padahal, dari semua kejadian yang kerap dikategorikan sebagai ”bencana alam” itu sebenarnya selalu ada peran manusia.
Baca juga: Hidup di Tengah Ancaman Bencana
Sebagai ilustrasi, jika tsunami Aceh 2004 yang dipicu gempa magnitudo 9,3 sebagai bencana alam semata, korban jiwa hingga 200.000 juga seharusnya juga terjadi di tempat lain setara jika peristiwa serupa terjadi. Namun, saat gempa dan tsunami dengan kekuatan nyaris setara melanda pantai timur Sendai, Jepang pada 2011, korban jiwa ”hanya” sepersepuluhnya. Jadi, skala bahaya yang sama dampaknya bisa sangat berbeda.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Suasana sore di kawasan Pantai Ulee Lheue, Kota Banda Aceh, Minggu (12/1/2020). Kawasan ini pernah hancur dihantam gelombang tsunami, tetapi kini kembali ramai setelah dibuka sebagai lokasi wisata. Warga bersantai sambil menyaksikan matahari tenggelam.
Dalam konteks mitigasi bencana, kita mengenal istilah relativitas risiko. Risiko bisa membesar atau mengecil tergantung pada kapasitas kita dalam mempersiapkan diri dalam mengelola ancaman atau bahaya. Dengan memperkecil risiko, dampak kehancuran dan kematian bisa minimal.
Untuk meminimalkan dampak bencana bisa dilakukan dengan cara merekayasa sumber bahaya, mencegah, hingga menghindar. Rekayasa sumber bahaya, misalnya dilakukan Belanda 100 tahun lalu dengan membuat terowongan menembus dinding Gunung Kelud untuk mengurangi volume air kawah. Sementara pencegahan dilakukan dengan pembuatan dam atau tanggul untuk menghambat aliran lahar Kelud serta melarang hunian di dalam zona bahaya.
Mayoritas sumber bahaya alam tidak bisa direkayasa sehingga pada umumnya yang bisa dilakukan adalah mencegah dan menghindar. Misalnya, gempa bisa dimitigasi dengan menjauhi jalur sesar dan memperkuat bangunan. Sejumlah negara, seperti Jepang, Taiwan, dan Selandia Baru adalah contoh negara-negara yang sukses memitigasi bencana ini dengan menerapkan sistem bangunan aman gempa.
Jika kita mau mengubah pola pikir bahwa tidak ada yang benar-benar bencana alam, kita akan tergerak untuk membenahinya.
Bagi negara-negara ini, pengabaian standar bangunan merupakan pelanggaran hukum. Misalnya, Kejaksaan Taiwan menyeret pengembang dan arsitek apartemen 17 lantai yang roboh saat gempa magnitudo 6,4 pada 6 Februari 2016. Jaksa menuduh pengembang mengabaikan standar bangunan sehingga berujung kematian puluhan orang.
Prinsip serupa diterapkan pengadilan di Kota Ishinomaki, Jepang, yang menyatakan pemerintah setempat lalai sehingga ratusan siswa di 23 SD tewas akibat gempa dan tsunami pada 11 Maret 2011. Pengadilan memutuskan pemerintah membayar 13,4 juta dollar AS kepada keluarga korban. Pengadilan yang sama juga memerintahkan operator bus membayar denda kepada keluarga empat siswa TK yang meninggal karena bus jemputan mereka terseret tsunami.
Sebaliknya terjadi di Indonesia. Karena gempa dianggap bencana alam, robohnya bangunan, termasuk bangunan publik seperti dalam gempa M 6,2 di Mamuju-Majene, Sulawesi Barat, pada Jumat (15/1/2021) lalu, seolah dilihat sebagai peristiwa biasa.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara Mamuju, Sulawesi Barat, Selasa (19/1/2021).
Padahal, sebenarnya sudah ada Standar Nasional Indonesia (SNI) Gempa 2012 dan 2019 yang menetapkan bahwa percepatan tanah maksimum akibat guncangan gempa di kawasan ini mencapai 0,5 gal (gravitational acceleration). Karena itu, bangunan di sana, harusnya bisa mengantisipasi gaya gempa ini.
Seperti dicatat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), guncangan gempa pekan lalu maksimum 0,15 gal di permukaan, dengan spektrum respons maksimum pada periode pendek maksimal 0,3 gal. Artinya, masih di bawah standar SNI yang ditetapkan. Jadi, apakah SNI itu diimplementasikan?
Fenomena serupa terjadi dengan banjir besar yang melanda Kalimantan Selatan baru-baru ini. Dengan buru-buru, sejumlah pejabat, bahkan Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa banjir disebabkan oleh hujan ekstrem sehingga seolah menutup peluang untuk berefleksi dan memperbaiki apa yang keliru dalam relasi kita dengan alam.
Hujan memang ekstrem, yang dalam catatan BMKG merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah di Kalsel. Namun, jika kita mau mengubah pola pikir bahwa tidak ada yang benar-benar bencana alam, kita akan tergerak untuk membenahinya.
Baca juga: Elegi Awal 2021, Longsor di Hulu Banjir di Hilir
Curah hujan tinggi jelas ancaman, tetapi menjadi bencana jika daya dukung dan daya tampung alam terlampui. Sederas apa pun hujan, jika daya dukung lingkungan masih baik, Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito terjaga dari penebangan hutan dan tambang, banjir besar pasti bisa dihindari.
Lagi pula, hujan ekstrem yang belakangan semakin tinggi peluangnya, juga tidak bisa dilepaskan dari faktor antroposen. Pemanasan global yang memicu perubahan iklim, merupakan dampak membesarnya emisi karbon, dan termasuk di antaranya disumbang oleh tambang batubara dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan pertanian di Kalimantan.
Jadi, sekali lagi, tak ada yang namanya bencana alam. Akan tetapi, bencana selalu disebabkan oleh ulah kita sendiri. Masalahnya, sering kali yang berulah berada di tempat yang aman, sedangkan yang terdampak adalah orang lain. Dalam konteks banjir di Kalsel dan gempa Majene-Mamuju, audit lingkungan dan audit bangunan menjadi sangat penting.