KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Seorang nenek melintas di tengah banjir dengan membawa makanan, di sekitar Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (19/1/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Bencana silih berganti di awal 2021. Selain gempa di Sulawesi Barat dan erupsi sejumlah gunung, bencana hidrometeorologis mendominasi. Mulai dari Aceh hingga Papua, sebagian kawasan hulu longsor dan di hilir banjir. Ini menjadi peringatan akan pentingnya tata kelola lahan, serta perencanaan pembangunan yang juga memperhitungkan risiko bencana.
Di Aceh, banjir pada awal tahun ini melanda Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Besar, Pidie, dan Langsa. Sebanyak 305 desa terendam dan 33.380 warga terdampak.
”Bencana hidrometeorologis semakin masif karena hujan ekstrem dan kondisi lingkungan yang buruk,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Ilyas, Senin (25/1/2021).
Sepanjang 2019, laju deforestasi hutan di Provinsi Aceh mencapai 15.140 hektar atau setara dengan 14.000 kali lapangan sepak bola profesional. Sebagian besar kerusakan dipicu perambahan perkebunan dan pembalakan liar.
Baca juga : Banjir Besar Kalsel, Potret Suram Kerusakan Alam
DOKUMEN BPBD ACEH TAMIANG
Banjir menggenangi Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (22/1/2021), saat difoto dari udara.
Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) juga memicu banjir di Aceh. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Krueng Aceh mencatat, dari 974 DAS dan sub-DAS di Aceh, sebanyak 20 DAS kondisinya rusak. DAS yang rusak, di antaranya, DAS Tamiang, Peureulak (Aceh Timur), Jambo Aye (Aceh Utara), Peusangan (Bireuen), Meureudu (Pidie Jaya), dan Panga (Aceh Jaya).
”Banjir sering terjadi pada kawasan 20 DAS (yang rusak) ini. Selama DAS ini belum pulih, potensi banjir tetap ada,” kata Kepala BPDAS Krueng Aceh Eko Nur Wijayanto.
Banjir terparah melanda Kalimantan Selatan (Kalsel). Tercatat 712.129 jiwa terdampak banjir, 113.420 di antaranya mengungsi. Sebanyak 24 orang tewas dan 3 orang hilang. Banjir juga melanda sebagian wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara.
Bencana hidrometeorologis semakin masif karena hujan ekstrem dan kondisi lingkungan yang buruk.
Di Pulau Jawa, banjir merendam lumbung pertanian di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pekan lalu. Sedikitnya 5.287 hektar sawah terendam banjir, ratusan hektar di antaranya terancam puso. Banjir juga melanda Sidorajo, Jawa Timur.
Simak juga : Banjir Melumpuhkan Jalan Nasional Porong Sidoarjo
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Warga menerobos banjir di jalur Arjawinangun-Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (18/1/2021). Baniir yang terjadi sejak Senin dini hari itu mengganggu aktivitas warga.
Hujan lebat kembali menyebabkan banjir dan longsor di berbagai lokasi di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (22/1/2021). Ini merupakan bencana hidrometeorologis kedua dalam sepekan setelah pada Sabtu (16/1/2021) terjadi longsor yang disebabkan hujan deras dan menewaskan enam orang.
Papua tidak luput dari bencana hidrometeorologis. Banjir bandang dan longsor dipicu hujan deras terjadi di Kabupaten Paniai, Selasa (19/1/2021). Sejumlah 30 unit rumah rusak berat dan 45 unit rumah terendam lumpur. Sekitar 400 jiwa terdampak dalam bencana ini.
Longsor
Awal tahun ini diwarnai dua kejadian longsor di Jawa Barat yang cukup menonjol. Longsor akibat guyuran hujan deras terjadi di Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Sabtu (9/1/2021), menelan 40 korban tewas. Longsor dan banjir bandang juga terjadi di Cisarua, Bogor, Selasa (19/1/2021). Ratusan warga dievakuasi.
Dua kejadian longsor itu memiliki kesamaan karakter. Berdasarkan laporan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), keduanya berada di lembah melengkung atau disebut daerah tapal kuda dengan kemiringan lebih dari 45 derajat.
”Bentuk tapal kuda merupakan salah satu indikator yang menunjukkan area tangkapan hujan lokal. Akumulasi dari aliran tersebut mampu meningkatkan massa tanah lebih cepat. Jika tidak ada pohon besar yang berfungsi sebagai tangkapan air, tidak ada yang menahan terjadinya longsor,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Agus Budianto.
Baca juga : Empati Tak Terbendung di Cimanggung
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Petugas gabungan mencari korban longsor di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (10/1/2021). Hingga Minggu malam, sebanyak 13 orang ditemukan meninggal akibat longsor yang terjadi pada Sabtu sore dan malam tersebut.
Longsor saat hujan juga dilaporkan terjadi di lubang tambang ilegal di Tanah Bumbu, Kalsel, Minggu malam. Sepuluh orang masih terperangkap di timbunan. Sementara longsor di bantaran Sungai Liliba, Kupang, Nusa Tenggara Timur, menewaskan dua warga.
Cuaca ekstrem yang menyebabkan hujan lebat dan bencana hidrometeorologis menandakan pemanasan global terus terjadi. Guna mengurangi dampak yang ditimbulkan, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) Mahawan Karuniasa menyatakan, setiap kebijakan tata ruang dan pengendalian pembangunan wilayah perlu menyesuaikan dengan perubahan iklim. Warga yang membangun permukiman di pinggir sungai, misalnya, harus berada pada jarak aman dari banjir alami.
Baca juga : Tata Ruang dan Wilayah di Kalsel Kelebihan Beban Perizinan
Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB), Denny Zulkaidi, menuturkan, pengendalian tata ruang sering terlambat saat bangunan sudah berdiri. ”Jadi, perlu diaudit dulu mana saja yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Setelah itu diberhentikan dan tidak boleh dikembangkan lagi,” ujarnya.
Langkah koreksi dilakukan Pemerintah Provinsi Kalsel yang akan meninjau kembali Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kalsel 2015-2035. ”Perda akan direvisi agar bisa lebih memperkuat antisipasi dan penanganan bencana banjir ke depan,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalsel Nurul Fajar Desira.
Baca juga : Palu Membalas Budi Sulbar
Pengamat kebencanaan dari Universitas Padjadjaran, Dicky Muslim, menyatakan, pemahaman mitigasi menjadi kunci untuk mengantisipasi jatuhnya korban saat terjadi bencana. Dengan mengetahui karakter wilayahnya, penduduk menjadi lebih waspada jika terjadi kondisi ekstrem yang dapat berujung pada bencana alam.