BANJARMASIN, KOMPAS — Banjir masih belum surut dan kian meluas di Kalimantan Selatan. Selain curah hujan yang tinggi, banyak orang menilai banjir merupakan dampak buruk dari kerusakan lingkungan karena masifnya alih fungsi lahan.

Pada Selasa (19/1/2021), Kasnadi (64) keluar dari posko pengungsi di Masjid Agung Al-Karomah di Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, tempat ia dan keluarganya mengungsi selama seminggu belakangan. Kasnadi ingin pulang ke rumahnya di Teluk Selong, Martapura Barat.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/AXziyIi4I0ZSjMv7A3Bt5tOrqDg=/1024x575/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2FIMG_1164_1611057507.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Sebuah sekolah terendam anjir di wilayah Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (19/1/2021). Banjir kali ini dinilai merupakan banjir paling parah sepanjang sejarah Kalimantan Selatan.

Di kampungnya itu, ketinggian air sudah menutupi setengah lebih rumahnya atau lebih dari 1 meter. Untuk menuju rumah, ia pun harus menerjang banjir  yang menggenang di wilayah Sungai Tabuk. Di tempat itu, air sudah mencapai 45-50 sentimeter.

”Saya takut maling. Di rumah masih ada TV dan motor. Pintu rumah juga mudah sekali orang bobol, saya mau pulang untuk memeriksa keadaan, besok kembali lagi ke posko,” kata Kasnadi yang menjinjing plastik berisi makanan.

Seumur hidup Kasnadi tinggal di kampungnya belum pernah merasakan banjir separah saat ini. Menurut dia, banjir pernah terjadi tahun 1996, tetapi itu hanya berlangsung  seminggu. Banjir kali ini, menurut Kasnadi, sudah hampir sebulan terjadi karena luapan Sungai Martapura.

Baca juga: Banjir di Kalsel Diperparah Kerusakan Lingkungan

Senada dengan Kasnadi, Muhammad Fauzi (43), warga Desa Pekauman, Martapura, Kabupaten Banjar, sudah mengungsi selama sebulan lebih ke rumah koleganya. Ia kemudian diminta pindah ke Stadion Demang Lehman lantaran ada kunjungan Presiden Joko Widodo oleh para petugas.

”Di tempat kerabat juga kebanjiran, jadi kami bikin tenda sendiri di depan jalan, lalu disuruh pindah ke stadion,” ungkap Muhammad.

Muhammad menjelaskan, saat Kota Banjarmasin dan sekitarnya baru direndam banjir enam hari yang lalu, ia dan ribuan orang di Pekauman sudah hampir sebulan merasakan banjir.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/9mMyvDstdnvtqHjpYDb8LS59lho=/1024x575/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2FIMG_1167_1611057643.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Seorang warga Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, tertidur di posko yang merupakan tempat pengungsi mandiri berkumpul, Selasa (19/1/2021).

Baik Kasnadi maupun Muhammad Fauzi percaya bahwa banjir terjadi bukan hanya karena cuaca ekstrem. Kasnadi bahkan mengaku pernah mengalami cuaca yang lebih ekstrem dari saat ini, tetapi tidak menimbulkan banjir, sekitar tahun 1989.

”Hutan di hulu sana, kan, sudah tidak ada, jadi sudah pantas kalau hujan berhari-hari airnya tidak tertahan dan mengalir seperti air bah ke sungai-sungai di sini,” kata Kasnadi.

Lingkungan rusak

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, dugaan warga soal kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab bencana banjir benar. Bahkan, ia memilih percaya pada dugaan itu dari pada sekadar menyalahkan hujan.

Baca juga: Banjir di Kalsel Masih Belum Surut, Ratusan Gardu Listrik Mati

”Kalsel dijuluki wilayah 1.000 sungai, tetapi apa pernah dihitung jumlahnya sampai sekarang masih segitu atau tidak? Pasti tidak, karena di hulu-hulu sungai sudah hancur karena tambang, di hilir yang merupakan ekosistem gambut dihajar perkebunan sawit,” ungkap Kisworo.

Data yang dikumpulkan tim Save Our Borneo (SOB), setidaknya terdapat 1,7 juta hektar konsesi pertambangan di Kalsel, 488.000 hektar konsesi perkebunan kelapa sawit, dan 780.000 hektar konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) Kalsel. Semua itu merupakan izin yang sudah beroperasi ataupun yang belum beroperasi.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Zb2Pk3VACvPLnXYWO2NBVmPD44Q=/1024x575/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2FIMG_1172_1611057766.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Warga Sungai Tabuk menjemur kasurnya di pagar rumah karena terendam banjir, Selasa (19/1/2021). Mereka sempat mmengungsi ke posko, tetapi memilih pulang lagi untuk memantau rumah mereka.

Negara, tambah Kisworo, merupakan lembaga yang saat ini paling bertanggung jawab atas banjir besar di Kalimantan Selatan. Menurut dia, saat ini pemerintah perlu fokus pada penanganan banjir dan evakuasi para korban. Masih banyak warga yang mengungsi mandiri belum mendapatkan perhatian dari pemerintah.

”Tampaknya pemerintah gagap terhadap bencana yang terjadi saat ini, itu terlihat dari cara penanganannya,” ungkap Kisworo.

...di hulu-hulu sungai sudah hancur karena tambang, di hilir yang merupakan ekosistem gambut dihajar perkebunan sawit.

Dalam konferensi pers pada Selasa pagi, Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel Roy Rizal mengungkapkan, banjir terjadi lantaran luapan sungai yang tidak mampu menahan debit air yang terlampau besar. Ia bahkan menjelaskan, banjir seperti ini pernah terjadi tahun 1928 di daerah tangkapan air Barabai.

”Kondisi seperti ini bisa mungkin merupakan periode ulang 100 tahunan, dalam analisis. Ini akan menjadi dasar untuk pembangunan dam yang akan kami bangun di Kalsel nanti,” kata Roy.

Baca juga: Jembatan Penghubung Kalsel-Kaltim Ambruk Lagi Dihantam Arus Deras

Banjir, tambah Roy, juga terjadi karena adanya lereng sehingga akumulasi air terbentuk dalam jumlah yang sangat besar. Lokasi yang terdampak banjir pun merupakan wilayah rendah, meliputi Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar, Kota Banjar Baru, Kota Tanah Laut, Kota Banjarmasin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan, Kabupaten Tabalong, Kabupataen Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Batola.

”Perizinan (kebun dan tambang) belum terlihat sebagai faktor utama, sedang kami pelajari. Karena, banyak pada area penggunaan lain, bukan wilayah hutan,” tambah Roy.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/HYW5wy1g3IREEmMGBDKBHBPfH_0=/1024x612/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2FIMG_1181_1611057987.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Seorang nenek melintas di lokasi banjir membawa makanan di Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (19/1/2021).

Roy menjelaskan, perizinan tambang secara luas juga hanya 37.000 hektar dari area izin sebesar 55.000 hektar sejak 2008. Termasuk yang milik masyarakat mencapai 108.000 hektar.

”Pemerintah akan mengambil langkah-langkah ke depan. Dalam konsultasi publik terdapat lubang bekas tambang berjumlah sekitar 168 di sekitar Sungai Barito. Ini sedang disiapkan perpresnya untuk penanganan pascatambang,” kata Roy.

Dalam perencanaan tata ruang, lanjut Roy, masih akan dibahas oleh tim teknis dan masih terus dibahas ke depannya. ”Saat ini kami fokus pada penanganan dulu, yang lain akan dilakukan pascabanjir,” ucapnya.