https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/OZwSFnjY8MuPmtFLDEViHzfhJAE=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20190121TAM-02_1548064975.jpgKOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Tim SAR gabungan mencari korban longsor di Kampung Garehong, Kedusunan Cimapag, Desa Sirnaresmi, Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (3/1/2019). Potensi longsor di Jabar pada Februari masih tinggi.

BANDUNG, KOMPAS — Penggalian nilai-nilai tradisional yang hidup di masyarakat menjadi salah satu cara mengamati rekam jejak bencana di masa lalu. Pelestarian nilai-nilai itu bisa meningkatkan kesadaran mitigasi bencana masyarakat ke depan.

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia  (LIPI) Eko Yulianto menuturkan, rekam jejak bencana di masa lalu dapat ditemui dari cerita rakyat yang ada di antara masyarakat. Kisah-kisah tersebut menjadi penanda bencana besar yang dinilai secara nalar orang-orang masa lalu.

”Instrumen pembentuk mitos itu sama dengan sains. Semua folklore dihasilkan oleh ilmuwan masa lalu,” tuturnya dalam webinar LIPI bertema ”Kajian Multidisiplin dalam Pengurangan Bencana” yang disaksikan di Bandung, Kamis (22/10/2020).

Salah satu kisah yang diungkit Eko adalah legenda Nyi Roro Kidul dalam Serat Srinata dari Babad Tanah Jawi. Dalam beberapa petikan tulisan dari tulisan kuno tersebut terdapat beberapa ciri dari tsunami, seperti toya minggah ngawiyat (air naik ke angkasa) dan apan kadya amor mina toyanipun (bahkan, airnya bercampur dengan ikan).

Menurut Eko, kisah-kisah tersebut membuktikan rekam jejak tsunami yang sudah ada di bagian selatan Jawa dari zaman dahulu melalui kisah turun-temurun tersebut. ”Mereka membaca fenomena dunia nyata tentang alam semesta dengan menampilkan mitos, yang dianggap benar-benar terjadi dan punya cerita,” ujarnya.

Kisah-kisah tradisional ini bisa menjadi salah satu bentuk penelusuran fenomena alam yang terjadi di masyarakat. Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara menuturkan, ingatan kolektif ini menjadi landasan untuk memberikan kesadaran akan mitigasi bencana di masa yang akan datang.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/H_SnwujT4pyzUN5efRuAkeB_Qsc=/1024x602/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F954287ba-9a18-4d09-ac40-151320cbb744_jpg.jpgKOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Distribusi bantuan makanan bagi warga korban banjir bandang di Kampung Cibuntu, Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (22/9/2020). Musibah bandang yang terjadi pada Senin (21/9/2020) sekitar pukul 17.00 ini mengakibatkan dua warga tewas dan puluhan rumah mengalami kerusakan akibat diterjang air dan lumpur.

Karena itu, tutur Herry, pendekatan multidisiplin dibutuhkan dalam memberikan pemahaman mitigasi di dalam masyarakat. Tidak hanya dari kisah-kisah tradisional, cabang disiplin ilmu lainnya, seperti pengetahuan mengenai tata ruang yang ada di masyarakat, juga dibutuhkan. Tujuannya, agar semuanya dapat memberi pemahaman risiko di kawasan rawan bencana.

Herry berujar, pengetahuan tradisional dan pemahaman terhadap lingkungan sekitar bisa membantu masyarakat dalam menghadapi bencana. Semua respons dan adaptasi ini akan menghasilkan model tentang community resilience atau ketahanan kelompok masyarakat.

”Dalam riset, menjadi penting melihat keragaman penduduk. Masalah-masalah yang ada terakit persoalan adat, tradisi, hingga masalah lainnya terkait desa harus dipahami. Kemampuan lokal ini bisa memperlihatkan kemampuan kontrol mereka,” tuturnya.

Baca Juga: Setelah Banjir Bandang, Tiga Kecamatan di Sukabumi Tanggap Darurat

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/frwR9uj6i7-nKw7hlKnK9_Yfnso=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2Fantarafoto-banjir-bandang-sukabumi-220920-ysw-5_1600753087.jpgANTARA/YULIUS SATRIA WIJAYA

Sejumlah sukarelawan gabungan mengevakuasi material kayu yang terbawa banjir bandang di Kampung Cibuntu, Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (22/9/2020). Data sementara yang dikeluarkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dampak akibat banjir bandang yang terjadi di Kecamatan Cicurug, Senin (21/9), mengakibatkan 12 rumah hanyut dan 85 rumah terendam.

Ketahanan ini dibutuhkan masyarakat yang berada di lokasi rawan bencana, salah satunya di Jabar. Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Agus Budianto, saat ditanya terpisah, memaparkan, Jabar menjadi salah satu daerah yang memiliki titik kejadian gerakan tanah terbesar setiap tahunnya.

Titik-titik ini, tutur Agus, umumnya merupakan daerah rawan dengan permukiman penduduk di kemiringan ekstrem dan berada di daerah yang memiliki perubahan fungsi lahan. Wilayah-wilayah ini kerap ditemukan di bagian selatan Jawa Barat, seperti Sukabumi, Cianjur selatan, Garut, hingga Tasikmalaya.

”Kewaspadaan ini seharusnya dilakukan sejak sebelumnya. Alih fungsi lahan perlu diwaspadai, terutama daerah perkebunan dan persawahan yang tidak bisa dikontrol. Ini pola-pola alam yang harus dipahami,” tuturnya.