https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/NZJDzqgkFXRZ4Tzq-4TSRa_mk3c=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2Fpelantikan-kepala-BRGM_1608733556.jpgKOMPAS

Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawiraatmaja saat membacakan sumpah janji dalam pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/12/2020).d

Akhir Desember 2020, Presiden Joko Widodo memperpanjang masa kerja Badan Restorasi Gambut atau BRG dan menambah tugasnya untuk merehabilitasi mangrove yang rusak di sembilan provinsi prioritas. Hartono Prawiraatmadja yang ditunjuk sebagai pimpinan lembaga yang kini bernama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove ini akan melanjutkan target restorasi yang belum tercapai sekaligus meningkatkan sinergi antarlembaga.

Selama empat tahun ke depan, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mempunyai dua target utama, yakni merestorasi 1,2 juta hektar ekosistem gambut dan merehabilitasi 600.000 hektar mangrove yang rusak. Upaya restorasi dan rehabilitasi ini juga harus diiringi dengan pelaksanaan perbaikan penghidupan masyarakat di sekitar lokasi.

Target dan upaya BRGM ini disampaikannya dalam perbincangan bersama Kompas secara daring, Rabu (3/2/2021). Ia pun menjawab terkait proyek food estate yang menyasar gambut. Selengkapnya berikut petikan wawancara Kompas dengan Hartono.

Baca juga: Pengelolaan Gambut dan Mangrove di Tingkat Tapak Akan Diperkuat

Apa pesan Presiden saat Anda dilantik menjadi Kepala BRGM?

Presiden menyatakan bahwa meski belum sempurna dan mencapai target, kinerja BRGM sudah cukup baik dan perlu dilanjutan serta dikonsolidasikan. Presiden menyampaikan bahwa untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan, upaya restorasi harus dibuat permanen karena konsep yang kami kembangkan selama lima tahun terakhir yaitu menangani gambut yang sudah dimanfaatkan. Jadi, harus ada adaptasi agar bahaya kebakaran bisa dikurangi dan dicegah.

Presiden juga menyampaikan, Indonesia seperti perlu melakukan aksi yang lebih progresif untuk penanggulangan perubahan iklim, di antaranya rehabilitasi mangrove yang sudah terdegradasi. Rehabilitasi bertujuan agar mangrove tidak hanya berfungsi untuk kepentingan lingkungan, seperti mencegah abrasi dan penyaring polutan, tetapi juga ada dimensi sosial ekonomi yang meningkat.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/kRIxdx8tQAubGRZsKl2lMdINy6I=/1024x877/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201223LAILY36_1609146738.jpgBIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/LAILY RACHEV

Presiden Joko Widodo, Rabu (23/12/2020), melantik sekaligus Irjen Dr Petrus R Golose sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) serta Hartono Prawiraatmadja sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

Dalam satu bulan ini, apa saja perubahan di BRGM yang cukup signifikan?

Terdapat perubahan di struktur organisasi yang dimandatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020. Dulu, kami punya kedeputian riset dan kajian, tetapi sekarang ditiadakan karena dilebur di Kementerian Riset dan Teknologi. Kedeputian yang kosong ini kemudian diubah menjadi pemberdayaan masyarakat.

Rehabilitasi mangrove menjadi tantangan yang lebih berat karena ini merupakan tugas dengan wilayah kerja yang juga baru. Kami akan mengidentifikasi dan koordinasikan dengan komunitas atau lembaga non-pemerintah di daerah setempat untuk berbagi pengalaman serta inspirasi ataupun hambatan yang ditemui saat merehabilitasi mangrove.

Apa strategi untuk mencapai target yang telah ditetapkan?

Upaya yang dilakukan BRGM selama lima tahun terakhir sudah cukup efektif dan kami tinggal melanjutkan restorasi seperti yang sudah dikerjakan selama ini. Kami berharap BRGM serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bisa lebih solid dalam koordinasi pelaksanaan restorasi sehingga bisa lebih mudah berbagi tugas.

Kami tetap merekomendasikan paludikultur untuk dikembangkan di lahan gambut. (Hartono Prawiraatmadja)

Sementara untuk mangrove, satu bulan pertama kami terus melakukan rapat dengan KLHK serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) guna menentukan lokasi yang akan direhabilitasi. Kami menentukan kriteria dan memetakan status serta fungsinya untuk memberikan gambaran terkait kewenangan dari lokasi tersebut.

Apa saja evaluasi selama lima tahun terakhir?

Pertama, terkait dengan regulasi untuk menyatukan pemahaman yang berbeda karena restorasi merupakan barang baru di Indonesia. Kedua, perlunya perencanaan awal yang disepakati bersama antarlembaga untuk melancarkan eksekusi di lapangan. Sementara evaluasi ketiga yaitu terkait dengan tugas supervisi pelaksanaan restorasi di wilayah konsesi di dalam dan luar kawasan hutan. Sebab, para pemegang konsesi di wilayah hak guna usaha relatif bisa menerima, sedangkan lainnya masih sedikit bermasalah dengan regulasi.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/mWpcPw9UdFb3QYrQ6ZbEeYCeOys=/1024x678/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2FIMGP9312.DNG_1609240636.jpgHUMAS BRGM

Serah terima jabatan Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove dari Nazir Foead (kanan) kepada Hartono Prawiraatmadja (kiri), di Jakarta, Selasa (29/12/2020).

Dari hasil evaluasi, adakah prioritas daerah yang akan dilakukan restorasi gambut dan rehabilitas mangrove terlebih dahulu?

Untuk restorasi gambut kami masih bekerja di tujuh provinsi prioritas seperti periode lalu, tetapi di kesatuan hidrologis gambut yang berbeda. Tujuh provinsi itu yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Gambut rusak yang perlu direstorasi di tujuh provinsi ini sebenarnya lebih luas daripada target yang ditetapkan.

Sementara untuk rehabilitasi mangrove sesuai dengan peraturan presiden, yaitu berada di Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, dan Papua Barat. Untuk lokasi di tingkat kabupaten hingga desa masih kami petakan. Harapannya, akhir Februari semua lokasi sudah kami dapatkan.

Apakah program BRGM di tingkat tapak berbasis peran serta masyarakat akan dilanjutkan ke depan dan seperti apa konsepnya?

Setelah kami cermati satu bulan ini, ternyata partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove itu lebih tinggi. Di lokasi juga sudah ada kelompok masyarakat, komunitas, dan lembaga non-pemerintah yang melakukan kegiatan rehabilitasi secara mandiri ataupun dengan kerja sama.

Baca juga: Menanti Kelanjutan Pemulihan Gambut dan Mangrove Partisipatif

Konsep Desa Peduli Mangrove (DPM) yang nantinya akan kami kerjakan juga hampir sama dengan Desa Peduli Gambut (DPG). Kegiatan yang dikembangkan di DPM di antaranya sosialisasi, edukasi, dan fasilitasi pembuatan kelompok masyarakat yang nantinya ikut dalam pengelolaan. Kegiatan yang dilakukan tidak hanya untuk pengelolaan, tetapi juga pengembangan ekonomi mangrove.

Apakah sudah ada target berapa DPM yang akan dibentuk selama empat tahun ke depan?

Kami belum mengidentifikasi berapa desa dari target 600.000 hektar rehabilitasi mangrove. Namun, intinya semua desa yang mempunyai mangrove yang akan direhabilitasi itu nantinya akan kami fasilitasi pembentukan DPM sama halnya dengan DPG. Selama ini kami juga berkoordinasi dengan Kementerian Desa karena adanya program desa membangun di mana DPM masuk menjadi kriteria.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/dIBW14aSM6d2zSjmHhWwBYhqzoI=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F20200921IDO_Sumur_Bor3_1600681796.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Salah satu anggota Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Pangkoh Sari memeriksa kesiapan sumur bor yang dibuat sejak 2019 oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Lembaga Kemitraan, Senin (21/9/2020). Selain memeriksa, mereka juga membasahi lahan gambut yang mulai mengering.

Pengelolaan gambut dan mangrove akan lintas kementerian dan lembaga, bagaimana mengintegrasikannya?

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sudah empat kali mengumpulkan kementerian dan lembaga untuk bekerja sama merealisasikan target rehabilitasi 600.000 hektar. Setiap kementerian memiliki dasar hukum untuk mengklaim lokasi rehabilitasi tersebut. Namun, jangan sampai ada kementerian yang mengklaim wilayah, tetapi tidak mau melakukan rehabilitasi.

Saat ini kami bersama-sama sedang membuat lokasi prioritas dan menganalisis kewenangan kementerian/lembaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mangrove yang di luar kawasan hutan akan ditangani KKP dan di dalam kawasan hutan wewenang KLHK. KLHK nantinya juga akan ada pembagian lagi untuk wewenang dari direktorat jenderal.

Saat ini ada program food estate (lumbung pangan) di lokasi gambut, bagaimana peran BRGM terkait hal ini?

Food estate yang dilakukan di Kalimantan Tengah sebenarnya semacam revitalisasi sawah bergambut yang terbengkalai karena karhutla 2015. Sawah bersertifikat tersebut tidak mungkin ditutup dan dihutankan kembali karena tata ruangnya bukan untuk hutan. Konteks yang dilakukan BRGM yaitu memberikan pengalaman kepada petani untuk meneruskan sawah yang mereka miliki, tetapi tidak dengan menggunakan metode bakar.

Baca juga: Lumbung Pangan di Papua Berisiko Sosial dan Lingkungan

Kami bantu petani untuk melakukan tata kelola air mikro, kemudian dikerjakan secara berkelompok. Hasilnya telah dilakukan panen perdana meski belum sampai pada tingkat produksi yang kami harapkan, rata-rata masih 2,5 ton per hektar dari target 4 ton per hektar. Hal ini diharapkan dapat menjadi referensi jika keputusan politik pemerintah tetap memanfaatkan lahan eks proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar.

Selain padi, apakah tidak ada pilihan tanaman lain yang sesuai dengan kondisi ekosistem di Kalimantan Tengah?

Di Kalteng ada dua pola yang dikembangkan, yaitu revitalisasi sawah mangkrak dan pengembangan paludikultur di lokasi-lokasi yang belum dibuka. Akan tetapi, nantinya yang akan ditanam dalam proyek food estate di Kalteng adalah padi sehingga kami memberikan referensi sesuai dengan apa yang telah dilakukan BRGM. Namun, kami tetap merekomendasikan paludikultur untuk dikembangkan di lahan gambut.

Editor:
ICHWAN SUSA