KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Presiden Joko Widodo tiba di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Ia bersama rombongan menteri memantau persiapan program lumbung pangan nasional (food estate).
Secara meyakinkan Presiden Jokowi mengajak kita untuk menyejajarkan persoalan ketahanan pangan nasional dengan pertahanan nasional. Tani sama pentingnya dengan TNI. Bahkan, Presiden telah menunjuk Menteri Pertahanan untuk memimpin langsung pembangunan cetak sawah baru untuk program lumbung pangan nasional (food estate) di Kalimantan Tengah.
Menunjuk Menhan dalam pembangunan cetak sawah baru memang menarik sejumlah debat. Umumnya, pekerjaan teknik sipil dalam pembangunan diserahkan kepada Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Sementara teknis pembangunan petani dan pertanian diserahkan ke Kementerian Pertanian.
Apalagi, PU terbukti cepat dan berkualitas dalam membangun sejumlah infrastruktur. Sementara Kementan, meski terkesan belum menunjukkan sejumlah terobosan, secara birokrasi tentu lebih memahami secara sisi teknis, antropologis dan sosiologis dunia pertanian.
Baca juga: Matinya Kedaulatan Petani dan Pangan
Namun, ajakan Presiden terkait pembangunan lumbung pangan nasional (food estate) jangan sekadar mengentak sisi manajemen birokrasi. Menempatkan politik pangan nasional sebagai unit yang sama gentingnya dengan pertahanan mesti diterjemahkan dalam beberapa aspek penting yang kita sebut Pertahanan Berdaulat Pangan.
Pertama, proyek lumbung pangan nasional sebelumnya yang dijalankan melalui Merauke Integrated Food and Enery Estate (MIFEE) di Papua telah membuat pelepasan kawasan hutan yang mahaluas kepada sejumlah perusahaan atas nama proyek pangan. Namun, nilai penggundulan hutan seperti itu tidak sebanding jumlah investasi yang dilaporkan masuk. Proyek lumbung pangan Merauke gagal.
Baca juga: Bangun Ketahanan Pangan
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu kanal primer di lahan bekas PLG tahun 1995 di wilayah Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Kanal itu, menurut rencana, bakal direhabilitasi untuk keperluan program lumbung pangan.
Berbeda dengan MIFEE yang didorong swasta, program lumbung pangan di Kalimantan Tengah merupakan program ekstensifikasi lahan padi yang dimotori proyek pemerintah. Sementara sebagian besar lahan proyek ini adalah eks Proyek Lahan Gambut (PLG) pada era Orde Baru. Hal ini mengkhawatirkan, sebab pertanian padi di areal eks gambut telah diuji coba bertahun-tahun, hasilnya adalah pertanian pangan berbiaya mahal.
Tentu menjadi seperti simalakama, diberikan pengelolaan ke swasta atau BUMN akan membutuhkan banyak insentif supaya mereka berani masuk, sedangkan jika dikelola rumah tangga petani tingkat pendapatannya kecil karena produktivitas tanah rendah.
Dengan demikian, program lumbung pangan nasional yang tengah disiapkan belum mengarah pada model pertahanan pangan baru yang memberi suluh pada jalan kedaulatan pangan. Perlu mengajak kalangan akademisi dan praktisi untuk mengkaji kelaikan proyek ini.
Pertahanan pangan baru
Bagaimana sebaiknya kita memastikan model pertahanan pangan baru yang berdaulat? Telah kita ketahui, tentara pangan kita alias petani sebagian besar adalah kumpulan petani gurem, buruh tani dan berada di Pulau Jawa yang subur.
Almarhum Prof Sajogyo pernah mengusulkan agar kelompok ini didesain ke dalam badan usaha buruh tani. Dengan dasar sosio-agrikultural semacam ini, dibutuhkan konsolidasi lahan, konsolidasi usaha, berbasis desa dan antardesa.
Baca juga: PSBB dan Kesiapan Stok Pangan Indonesia
Konsolidasi lahan dan konsolidasi usaha tani yang berisi petani gurem dan buruh tani ini tetap saja menghadapi kendala berupa lebih banyak tenaga produktif tersedia dibandingkan lahan. Rasio lahan per kapita tetap rendah.
Karena itu, konsolidasi usaha tani ini mestilah bersamaan dengan menghidupkan perbenihan, pupuk, pestisida secara mandiri melalui sistem pertanian alami berkelanjutan juga usaha tani lain, yakni ternak dan perikanan darat.
Sebenarnya, perkembangan Revolusi Teknologi 4.0 seharusnya lebih memudahkan pemahaman tentang konsolidasi lahan dan usaha tani yang berbasiskan data raksasa (big data) bagi perencana pembangunan pangan. Terakhir, langkah mengurangi kecilnya rasio lahan per petani adalah melakukan land reform dengan mengedepankan lahan-lahan lokal yang tersedia, seperti eks HGU Perkebunan.
Pertahanan pangan memiliki musuh internal yang berbahaya, yakni alih fungsi lahan pertanian pangan. Bahkan, alih lahan subur khususnya di Jawa dan Bali sangat mengkhawatirkan, rata-rata 56.000 hektar per tahun.
Pertahanan pangan memiliki musuh internal yang berbahaya, yakni alih fungsi lahan pertanian pangan.
Karena itu, mempertahankan lahan sawah yang ada dengan kebudayaan yang sudah terbentuk kemudian diberdayakan ke dalam konsolidasi lahan dan usaha, jauh lebih strategis secara nasional dibandingkan dengan program cetak sawah baru di lahan gambut. Larangan konversi lahan seperti amanat UU No 41/2009 harus ditegakkan.
Sejumlah uji coba yang dilakukan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dengan menggunakan model Desa Maju Reforma Agraria (Damara) yang serupa usul di atas memperlihatkan, konsolidasi lahan dan usaha yang direncanakan dalam skala desa telah membuat bukan saja pembenahan dari sisi produksi dan distribusi pangan, melainkan juga relasi sosial masyarakat perdesaan, khususnya relasi jender.
Akhirnya, hanya dengan model pertahanan pangan yang berbasiskan kenyataan petani gurem, buruh tani, desa, konsolidasi lahan dan usaha serta land reform, itulah sistem pertahanan pangan semesta yang mesti diterapkan.
ARSIP PRIBADI
Iwan Nurdin
Bahkan, pembangunan pertanian dan pangan dengan pola (food estate) sebenarnya bukanlah konsep pertahanan pangan yang baik. Menyerahkan tulang punggung produksi pangan ke perusahaan pangan justru membuat rapuh pertahanan pangan nasional.
(Iwan Nurdin, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria; Pengajar di Universitas Paramadina