https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/2ozxRK7-Wo_shAMuaVmHE1J8hZg=/1024x771/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F20211019-Ilustrasi-Kerenisasi-Perguruan-Tinggi-Pertanian_1634655070.jpgKOMPAS

Didie SW

Penurunan minat lulusan SMA favorit dan sederajat melanjutkan studi di perguruan tinggi pertanian sudah menjadi fakta lama. Kita bisa melacaknya dari kian merosotnya peminatan program studi di lingkungan fakultas pertanian, perikanan, dan peternakan.

Kita bisa juga melacaknya dari berbagai bimbingan belajar. Program studi tersebut menjadi pilihan ”uncit” di Perguruan Tinggi Pertanian (PTP). Bukan pilihan pertama. Kalau bukan pilihan kedua, ya, ketiga. Amat miris, memang.

Sebelum pandemi, saya kerap kali mengunjungi tempat siswa SMA ”nongkrong”. Iseng-iseng bertanya asal SMA, kelas berapa, dan hendak melanjutkan ke perguruan tinggi mana seusai lulus. Dari sekian lokasi nongkrong mereka yang saya kunjungi, seperti kafe, resto, atau warung kopi, faktanya amat menyedihkan. Amat langka menemukan di antara mereka memilih PTP, khususnya dalam peminatan pertanian, perikanan, dan peternakan.

Kalaupun ada yang berminat masuk perguruan tinggi pertanian, pilihannya bukan ketiga program studi tadi. Melainkan memilih gizi, statistik, manajemen, aktuaria, teknologi industri pertanian, sipil, komunikasi, bisnis atau agribisnis, dan teknologi pangan.

Sementara itu, program studi peternakan, perikanan, atau pertanian nyaris tidak ada yang memilih. Kondisi ini memang mengkhawatirkan bagi pengelola fakultas yang membidangi ilmu-ilmu tersebut. Penurunan peminatan berimbas memperlemah daya saing PTP. Alhasil, kualitas siswa yang masuk PTP bakal terus merosot. Mengapa demikian? Lalu, apa konsekuensinya?

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Pii1kSOansUq5EKRZEyNf0_PawQ=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20210918MUDA05_1631959909.jpgFARHAN PUTRA PRASASTA

Rahmat Budiarto (tengah berbaju kotak), dosen Fakultas Pertanian Unpad, memberikan breefing kepada mahasiswa sebelum praktikum menanam jagung manis dan kedelai di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Sabtu (18/9/2021).

Ilmu pembentuk peradaban

Sejatinya pertanian, peternakan, dan perikanan merupakan ilmu pengetahuan yang membentuk peradaban dan budaya umat manusia. Pasalnya semua aktivitasnya menyangkut hajat hidup manusia yang paling mendasar, terutama pangan. Usia pengetahuan pertanian dan dinamika perkembangan teknologinya setua peradaban umat manusia di muka bumi ini.

Pengetahuan pertanian dan variannya sudah berkembang sejak peradaban Mesopotamia kuno di lembah Sungai Eufrat. Semasa berkuasa, salah satu Raja Babilonia, Hamurabi, membuat taman gantung (hanging garden). Bahasa kekiniannya vertical garden atau urban farming. Itu berlangsung 1.800 tahun sebelum Masehi (SM).

Jejak teknologi irigasi, pemupukan, dan budidaya tanaman ditemukan juga semasa kekuasaan Firaun di era Mesir kuno, sekitar 3.000 tahun SM. Hingga kini masih bisa kita saksikan di berbagai museum di Mesir. Pun demikian jejak pertanian di Republik Romawi kuno 500 tahun SM tersedia di berbagai museum di Eropa. Tak ketinggalan di era kekuasaan Islam selama paruh abad pertengahan di Andalusia kita masih dapat menyaksikan sisa-sisa irigasi kuno yang terjaga rapi hingga kini. Di kepulauan Nusantara kita juga masih menyaksikan situs irigasi kuno Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat yang menandakan adanya aktivitas pertanian padi.

Artinya, pertanian amat penting, karena itu tak dapat dipisahkan dari kehidupan dan kebudayaan manusia. Oleh karena itu, pertanian dalam bahasa Inggris disebut agriculture. Ada unsur culture (kebudayaan) yang membentuk peradaban manusia.

Baca juga: Pertanian Maju, Mandiri, Modern

Apabila pertanian kian lemah, bukan hanya soal ancaman kelaparan yang mencuat, melainkan akan menjauhkan harapan terwujudnya kedaulatan pangan. Bahkan, akan mengancam eksistensi kedaulatan dan entitas bangsa.

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, sudah mewanti-wanti, ”pertanian menyangkut mati hidupnya suatu bangsa”. Karena itu, pendirian IPB oleh pemerintah pada 1963 mengandung visi dan cita-cita mulia serta orintasi ideologis. Karena itu, pengembangan ilmu pertanian, perikanan, dan peternakan di PTP tak boleh melemah, tetap harus menjadi jangkar dan utama. Kekurangan perhatian bisa berbahaya. Implikasinya, ancaman kedaulatan bangsa.

Merosotnya animo generasi muda cemerlang menekuni bidang pertanian adalah fakta. Kita pun pantas merisaukannya. Karena, jika PTP dibanjiri generasi muda yang relatif kurang cemerlang dan cerdas, konsekuensinya panjang.

Karena itu, jika PTP dibanjiri generasi muda yang relatif kurang cemerlang dan cerdas, konsekuensinya panjang.

Perkembangan ilmu pengetahuan pertanian bakal mengalami perlambatan hingga mati suri. Imbasnya, inovasi teknologi dan kemajuan keilmuannya juga mengalami perlambatan. Alhasil, negara bisa terancam dan mengalami ketergantungan pangan dari negara lain. Kita akan terjebak dengan penjajahan model berbasiskan pertanian dan pangan.

Mengapa generasi muda cerdas dan cemerlang enggan menekuni bidang pertanian? Jawabannya sederhana. Pertama, mereka memandang pertanian tidak keren. Alias kuno, tidak kekinian, dan bukan gaya hidup elite. Memang di tataran produksi pertanian bukanlah dunia elitis. Akan tetapi, kalau nongkrong di kafe dan resto lalu minum kopi, makan burger, hingga menyantap steak itu baru masuk kategori elite.

Begitulah cara pandang mereka tentang gaya hidup elitis. Mereka mungkin tahu dan menyadari bahwa yang mereka konsumsi adalah produk pertanian. Bukan produk sintetis. Sayangnya, cara pandang  mereka soal pertanian tak berubah sama sekali. Mereka tetap bersikukuh memandang pertanian tidak keren bin gaya hidup kekinian.

Kedua, kaum milenial memandang pertanian tidak menjamin masa depan yang cerah. Lulusan PTP masa depannya suram. Lantas, apa yang mesti kita lakukan supaya menyelamatkan pertanian dan PTP? Mau tidak mau, mesti ada kebijakan yang mengangkat PTP pada level elite, eksklusif, dan mampu menjamin masa depan lulusannya. Bagaimana caranya?

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/UjU2Jk2rDfRGVV5sKvqnCukIKO4=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F04%2FIMG_6475_1618715322.jpgARSIP PRIBADI

Di Magelang, Rayndra mendirikan Sekolah Tani Milenial untuk menarik minat anak muda menjadi petani.

”Kerenisasi” PTP

”Kerenisasi” PTP maknanya mengangkat derajat PTP menjadi perguruan tinggi eksklusif dan terpandang sehingga diminati dan lulusannya memiliki masa depan yang terjamin. PTP menjadi istimewa dan pilihan favorit lulusan SMA dan sederajat alias jadi pilihan pertama dan utama.

Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan kebijakan ekonomi politik dan kelembagaan. Karena itu, pemerintah, lewat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek),  Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta lembaga terkait lainnya berkoordinasi dan menerbitkan kebijakan luar biasa (extraordinary policy). Kebijakan apa itu?

Pertama, memandatkan perguruan tinggi yang mengembangkan ilmu pertanian agar mengubah kurikulum program studi pertanian dalam arti luas, termasuk kelautan, perikanan, kehutanan, dan peternakan secara revolusioner. Kurikulumnya tak lagi monodisiplin an sich, tetapi menjadi multidisiplin dan transdisiplin sarjana strata 1 (S-1), termasuk sekolah vokasi diploma 4 (D-4). Utamanya, multidisplin dalam produksi ataupun budidaya pertanian.

Mandatkan perguruan tinggi yang mengembangkan ilmu pertanian agar mengubah kurikulum program studi pertanian dalam arti luas.

Nanti, lulusan PTP sebagai sarjana sains dan sarjana sains terapan yang memahami konsep pertanian secara terpadu. Mereka adalah lulusan yang menyandang gelar dengan keilmuan yang utuh. Karena itu, kurikulumnya mesti komprehensif dan terintegrasi. Dan, hal ini sesuai dengan sifat dan hakikat ilmu pertanian yang lintas batas. Sesuai pula dengan dunia sekarang ini yang tak lagi ada batas-batas secara sosial, ekonomi, dan politik.

Kurikulum yang terpadu tadi diintegrasikan pula dengan teknologi digital era kekinian. Beresonansi dengan teknologi informasi, teknologi cerdas, robot, dan artificial intelligent. Namun, tetap diikat dengan pertanian sebagai budaya (culture) dengan segenap atribut kedesaan dan kesederhanaannya.

Kedua, program studi pertanian dalam arti luas hanya menerima jumlah calon mahasiswa terbatas. Misalnya, makasimal hanya 50 orang per tahun ajaran lewat seleksi superketat. Kriteria kelulusannya tidak hanya pandai secara intelegensia, tetapi juga memiliki minat, bakat, keterampilan, dan inovasi yang kuat dalam bidang pertanian.

Baca juga: Regenerasi Petani dan Rendahnya Pendapatan di Sektor Pertanian 

Selain itu, penerimaan calon mahasiswa baru pun bisa memanfaatkan beasiswa utusan daerah (BUD). Ingat, Indonesia memiliki 416 kabupaten. Seandainya setiap kabupaten mengirim tiga calon mahasiswa pertanian per tahun, maka akan ada 1.248 mahasiswa pertanian.

Ketiga, pemerintah menjamin semua pembiayaan pendidikan. Termasuk biaya hidup selama masa pendidikannya. Lewat alokasi biaya yang pantas dan manusiawi bakal menjadi insentif bagi calon mahasiswa cerdas dan cemerlang rebutan mendaftar. Tidak ada diskriminasi antara mahasiswa dari golongan kaya ataupun miskin. Yang penting mereka berminat, lulus seleksi dan serius mengikuti proses pendidikan hingga lulus.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/R-LtzXZgyLX2IQkLeY8Wc_RVvKI=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_26859261_81_1.jpegKOMPAS

Mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanian Kewirausahaan sedang membersihkan tanaman dari gangguan gulma di areal percontohan sekitar kampus di Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, Senin (17/10/2016). Perguruan tinggi milik Pemkab Halmahera Barat itu kini membebaskan biaya pendidikan bagi semua mahasiswa.

Keempat, selain insentif pembiayaan, pemerintah mesti menjamin mereka setelah lulus berkiprah pada lembaga pemerintah. Mulai dari lembaga riset, perguruan tinggi, kementerian negara/lembaga, higga badan usaha milik negara (BUMN). Profesinya bisa sebagai dosen, peneliti, ataupun praktisi di lembaga-lembaga tersebut.

Artinya, kita menciptakan ”sarjana mirip pasukan komando” dalam bidang pertanian dalam arti luas. Persis di militer ada pasukan komando yang memiliki kemampuan khusus. Jaminan kerjanya secara kelembagaan tertuang dalam kontrak, apabila perlu seumur hidup. Dan, selama bekerja, mereka tidak boleh dirotasi ke bidang pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang keilmuannya.

Kita menciptakan ”sarjana mirip pasukan komando” dalam bidang pertanian dalam arti luas.

Kelima, bagi lulusan yang disiapkan menjadi dosen atau peneliti, baik sains maupun sains terapan, difasilitasi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan magister (S-2) dan doktor sains (S-3). Atau magister atau doktor terapan bagi mereka yang berkiprah sebagai dosen vokasi atau peneliti lembaga riset terapan.

Keenam, pemerintah pun menfasilitasi untuk berkolaborasi dengan perusahaan pertanian papan atas untuk pembiayaan dan penyerapan lulusan, terutama BUMN. Semua berbasiskan kontrak sehingga tidak menimbulkan problem konflik kepentingan secara kelembagaan.

Ketujuh, pemerintah dan DPR mesti memberikan dukungan politik anggaran berupa insentif pendanaan khusus bagi fakultas atau sekolah yang mendapatkan mandat tersebut. Mereka dapat mengembangkan riset-riset berkelas dan ambisius dalam bidang sains dan teknologi. Tujuannya, menghasilkan inovasi-inovasi yang menjawab persoalan krusial dalam bidang pertanian dan terbarukan. Alhasil, sumber daya manusia unggul yang dihasilkan dari program tersebut memperolah ekosistem tepat untuk mengembangkan keilmuan dan keahliannya.

Baca juga: Wajah Baru Pendidikan Pertanian

Penulis yakin PTP yang memegang mandat tersebut akan menjadi PTP yang keren, eksklusif, dan dapat mencuri perhatian kaum milenial untuk menggandrungi pertanian. Pertanian sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban baru Indonesia. Kerennya, saya sebut Indonesian neo agricultural era. Sebuah era baru pertanian yang membentuk peradaban Indonesia masa depan. Era baru pertanian Indonesia ini akan melahirkan kelas menengah baru yang menggantungkan hidupnya pada pertanian dan mendorong pertanian kembali jaya sebagai fondasi ekonomi negara yang kokoh.

Lewat kebijakan ini, saya yakin PTP akan menjadi perguruan tinggi keren, elite, dengan peminat eksklusif dan lulusannya memiliki masa depan yang cerah sehingga bisa berjalan dengan tegap sebagai pertanda kesiagaannya memajukan pertanian. Mungkinkah? Amat mungkin. Asalkan semua komponen bangsa: pemerintah, parlemen, dan masyarakat sipil memberikan dukungan politik untuk merealisasikan kebijakan ini. Semoga!

Aceng Hidayat, Sekretaris Institut, IPB University; Dosen Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, FEM IPB University