KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hamparan areal persawahan di Kecamatan Bittuang, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Jumat (19/1/2018). Petani atau kelompok petani perlu diajak untuk mengelola bisnis pertanian dari segala tahapan, mulai dari pratanam, masa tanam, masa panen, hingga pascapanen, secara profesional, modern, terlembaga, efisien, dan menguntungkan. Intinya, terjadi korporatisasi pertanian.
Miris di negeri yang katanya agraris. Tak menampik fakta bahwa sedikit saja pemuda yang bercita-cita menjadi petani. Sering kali, citra petani masih diidentikkan dengan pekerjaan mencangkul di sawah, melelahkan, dan menguras keringat di bawah panas terik matahari.
Anggapan pekerjaan petani itu kotor, miskin, tidak jelas pendapatannya mungkin masih melekat di benak khalayak ramai. Bahkan, penurunan jumlah petani dalam konteks pembangunan dipandang sebagai kemajuan. Sebuah perspektif global yang menganggap hanya sektor industri yang bisa memajukan bangsa.
Sektor industri memang melaju sangat cepat, sangat jauh melebihi sektor pertanian. Bahkan, kesenjangan terlihat begitu besar, antara kesejahteraan tenaga kerja industri dan petani. Keadaan ini menjadi alasan utama sektor pertanian tidak lagi menarik bagi angkatan kerja, terutama kelompok generasi muda.
Ditambah lagi isu perubahan iklim, dan kualitas serta luas lahan pertanian yang kian menyusut, hal itu tentu memengaruhi pilihan masa depan petani. Saat ini sudah terlihat bahwa generasi tua mulai enggan bertani, begitu pula generasi muda yang kehilangan gairah meneruskan usaha pertanian warisan orangtuanya.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melaporkan, hampir tidak ada anak petani yang ingin menjadi petani. Hanya sekitar 4 persen pemuda berusia 15-35 tahun yang berminat menjadi petani. Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat, sekitar 91 persen petani yang ada saat ini sudah berusia di atas 40 tahun.
Sektor pertanian memang sudah sejak lama memiliki citra yang suram.
Sektor pertanian memang sudah sejak lama memiliki citra yang suram. Selain tidak menjanjikan dari segi pendapatan, status sosial bekerja di bidang pertanian masih dipandang rendah. Lantas ke mana saja sarjana pertanian selama ini? Mengapa tidak berkontribusi untuk membuat wajah pertanian di Indonesia menjadi lebih modern?
Tantangan di sektor pertanian memang tidak sederhana. Selain permasalahan budidaya, cuaca, lahan, dan keadilan agraria, persoalan disparitas harga di tingkat produsen dan konsumen juga menjadi kendala. Jangankan mendapat untung, bahkan tak bisa dimungkiri bahwa tidak sedikit petani yang tidak balik modal.
Berkaca dari kompleksitas masalah pertanian, sangat logis apabila sarjana pertanian lebih memilih untuk bekerja di sektor lain yang lebih menjanjikan. Banyaknya sarjana pertanian yang bekerja di bidang lain non-pertanian dapat juga diartikan bahwa kampus pertanian belum mampu menjanjikan masa depan yang cerah bagi alumninya.
Kampus yang lamban beradaptasi dengan perubahan zaman, dan negara yang belum optimal mendorong investasi di sektor pertanian, merupakan problem dasar yang harus segera dicarikan solusinya. Untuk itu, diperlukan integrasi antara calon petani muda, kampus, dan negara dalam merekonstruksi wajah baru pendidikan pertanian.
Negara harus hadir secara nyata mengatasi masalah ini. Ingat, pertahanan negara bukan hanya maju perang dengan memanggul senjata, melainkan juga soal ketahanan pangan. Negara yang semakin bergantung pada negara lain karena pangan, semakin lemah pertahanan negara tersebut.
Di sisi lain, kampus sangat diharapkan menjadi lokomotif utama perubahan paradigma pendidikan pertanian. Sekaligus membuktikan bahwa pertanian merupakan sektor yang menjanjikan. Kampus harus peka, dan sudah seharusnya mengembangkan kurikulum pendidikan yang beradaptasi dengan kemajuan zaman.
Tiga kunci wajah baru pendidikan pertanian adalah (1) manajemen mahadata, (2) otomatisasi, dan (3) kecerdasan buatan. Saat ini, data biologis, lingkungan, dan sosial yang dihasilkan kampus pertanian sangat besar, setidaknya dari hasil penelitian yang terus ada setiap tahun. Namun, sebagian besar data belum terintegrasi dan terkelola dengan baik.
Sudah sepatutnya inovasi pertanian yang lahir saat ini harus berpedoman pada cara-cara yang sesuai zamannya.
Di sisi lain, kecanggihan mekatronika dan ilmu komputer telah menjadi keniscayaan yang menggeser budaya. Orang sudah terbiasa menjadikan semua urusan menjadi lebih mudah. Semuanya tinggal klik. Sudah sepatutnya inovasi pertanian yang lahir saat ini harus berpedoman pada cara-cara yang sesuai zamannya.
Bagi generasi milenial, pertanian sudah semestinya tidak melulu soal mengangkat cangkul di sawah. Inovasi mulai dari produksi hingga pascapanen, termasuk branding, packaging, sampai pemasaran, masih terbuka lebar. Dari sisi produksi, misalnya, teknologi hidroponik, aeroponik, akuaponik, ataupun pertanian presisi yang tentu saja berbasis mahadata, otomatisasi, dan kecerdasan buatan.
Sebagaimana aplikasi Petani, DesaApps, dan Rektanigama yang dikembangkan Universitas Gadjah Mada (UGM); aplikasi DigiTani, WebGIS Ecosystem, VertixPlant yang dikembangkan IPB University; juga drone pertanian yang sedang marak dikembangkan antara lain oleh Universitas Diponegoro (Undip) dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
DOKUMENTASI PRIBADI
Rayndra Syahdan Mahmudin mengajak anak-anak muda untuk menjadi petani dan peternak di desa. Salah satunya dengan memperkenalkan kegiatan pertanian organik kepada anak-anak sekolah di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sudah seharusnya penelitian pertanian modern yang sedang dikembangkan di kampus pertanian saat ini tidak hanya berhenti pada laporan penelitian. Sudah sepantasnya hal itu juga diinternalisasikan dalam kurikulum pendidikan pertanian untuk menyesuaikan dengan perkembangan gaya hidup anak muda dewasa kini.
Persepsi seperti inilah yang harus direkonstruksi agar pendidikan pertanian memiliki citra yang baru. Pendidikan yang mampu menghasilkan petani dengan kesan profesi yang sukses, kaya, dan menggenggam masa depan. Sehingga semua sarjana pertanian akan berlomba-lomba untuk menjadi petani modern.
Bagus Herwibawa, Dosen Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro