https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/-tWX6EfF6f9caC4g83xHuCcLedQ=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191016_ENGLISH-KONFERENSI-PANGAN_B_web_1571235764.jpgKOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Semakin sempitnya lahan pertanian di perkotaan disiasati petani dengan membuat kebun hidroponik, seperti di pusat pertanian hidroponik di Depok, Jawa Barat, Kamis (28/3/2019).

Pandemi Covid-19 telah mendongkrak pamor pertanian kota. Dengan beragam motif, warga coba menanam sendiri sayurannya, baik di pekarangan, teras, dinding, maupun atap rumahnya. Pembatasan pergerakan dan gangguan pasokan turut mengungkit hasrat untuk belajar memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri.

Media tanam, benih, pupuk, pot, dan segenap perangkat berkebun laris diburu pembeli. Sementara kelas-kelas daring membeludak pesertanya meski digelar secara berbayar alias tidak gratis. Kelas-kelas itu menawarkan pelatihan tentang bagaimana menanam, membudidaya, atau berkebun di rumah atau di lahan sempit perkotaan.

Sekelompok ibu-ibu yang tergabung di Keluarga Jahe di Tangerang Selatan, Banten, misalnya, mesti membuka kelas-kelas baru Kulwap alias Kuliah Whatsapp ”Vegetable Gardening” karena tak semua peminat tertampung. Kuota 250 perserta untuk setiap sesi pelatihan segera terpenuhi ketika pendaftaran dibuka sehingga sebagian mesti masuk ke daftar tunggu untuk kelas selanjutnya.

Sejumlah komunitas, lembaga sosial, dan filantrop membuka pelatihan serupa. Umumnya gratisan karena merupakan program amal. Mereka memanfaatkan kanal Youtube, Zoom, Google Meet, Instagram, Whatsapp, atau Telegram untuk menyebarkan materi pelatihan ke peserta. Seperti kelas yang diselenggarakan Keluarga Jahe pada sejumlah kelas, peserta didampingi selama mengaplikasikan ilmu berkebun atau budidaya di rumahnya.

Kebangkitan pertanian kota (urban farming) juga terlihat pada tren pencarian di Google. Di Indonesia, tren pencarian dengan sejumlah kata terkait pertanian kota mulai naik sejak awal April 2020 seiring perluasan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam rangka memutus rantai penyakit yang disebabkan virus korona baru.

Kata kunci pencarian yang melonjak antara lain ”menanam”, ”budidaya”, atau ”hidroponik” yang merujuk ke artikel tentang teknik atau tips tentang melakukannya sendiri (do it yourself) di rumah. Ada pula kata ”kangkung”, ”sawi”, ”bayam”, atau ”lele” yang merujuk pada jenis tanaman atau komoditas budidaya. Pencarian dengan sejumlah kata kunci itu naik hingga angka 100 yang berarti mewakili minat penelusuran tertinggi.

Masa depan

”Sayur yang ditanam sendiri terasa lebih enak,” tulis salah seorang teman di akun Instagramnya. Dia menggunggah foto selada yang baru saja dipanen dari pot-pot di teras rumahnya. Kepuasan serupa barangkali menyelimuti benak masyarakat yang tengah menikmati ”jerih payah” sendiri.

Baca juga: Gaya Berkebun Kaum Urban

Dalam skala yang lebih luas, hobi menanam dapat menopang tujuan kemandirian pangan. Dalam laporan ”Anticipating The Impacts of Covid-19 in Humanitarian and Food Crisis Contexts”, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bahkan menyarankan pemerintah negara-negara anggota untuk mendukung produksi pangan di tempat tinggal. Alternatif itu menjadi salah satu langkah meningkatkan ketersediaan pangan secara lokal dan menghindari disrupsi pada rantai pasok akibat pandemi.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/_IKga4TNCWEhi4Zk4f5zHpcdU1Q=/1024x1100/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20200504-ARS-Pertanian-Perkotaan-mumed_1588589684.png

Dengan proyeksi semakin banyak populasi manusia tinggal di perkotaan, tak terkecuali Indonesia, perkembangan pertanian kota amat positif dalam jangka panjang. Sebab, perkembangan itu akan membawa tantangan yang amat besar bagi pemerintah di masa depan, terutama soal bagaimana memenuhi kebutuhan perut warganya.

Bank Dunia dalam laporan ”Waktunya ACT untuk Mewujudkan Potensi Perkotaan Indonesia yang diluncurkan 3 September 2019 menyebutkan, saat ini 151 juta orang atau hampir 57 persen penduduk di Indonesia tinggal di kota-kota besar, menengah, dan kecil. Jumlahnya akan bertambah menjadi 70 persen atau 220 juta orang pada tahun 2045.

Baca juga: Hadapi Ancaman Krisis Pangan, Prioritaskan Kesejahteraan Petani

Selain tata ruang wilayah, perkembangan kota yang semakin pesat mengubah konfigurasi lingkungan, sosial, dan ekonomi, termasuk urusan pangan dan gizi penduduknya. Perebutan sumber-sumber pangan akan kian pelik. Sebab, ketika kebutuhan pangan terus meningkat, lahan pertanian cenderung semakin susut luas dan kualitasnya.

Booming” pertanian perkotaan kali ini bisa jadi karena ikut-ikutan. Namun,  pertanian perkotaan di banyak tempat di dunia bangkit sebagai respons atas sejumlah tekanan, seperti krisis lahan subur, keterbatasan air, dan produk pertanian tak ramah lingkungan.