https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/vioeejsOt5VCYb2i-7tBlHeYfCw=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2F1661cd7b-22a6-4d3e-a401-a10e3f42b1ed_jpg.jpgKOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO

Warga dan petani menggelar upacara bendera merayakan HUT ke-75 Republik Indonesia di areal persawahan di Grumbul Kalibacin, Desa Mandirancan, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (17/8/2020).

Ketika sebagian besar sektor tumbang dihajar pandemi Covid-19, pertanian tumbuh positif pada triwulan II-2020. Pergeseran musim tanam memang berpengaruh, tetapi pertumbuhan sektor pertanian mengungkit kesadaran bahwa di tengah krisis ini tidak ada orang yang tidak membutuhkan pangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ketika perekonomian nasional terkontraksi (tumbuh minus) 5,32 persen pada triwulan II-2020, sektor pertanian justru tumbuh positif 2,19 persen dibandingkan dengan triwulan II-2019. Enam sektor lain tumbuh positif, antara lain real estat, informasi dan komunikasi, jasa pendidikan, serta jasa kesehatan, tetapi sumbangannya terhadap perekonomian nasional tidak sebesar pertanian yang mencapai 15,46 persen.

Sektor utama lain, yakni industri pengolahan yang memiliki kontribusi 19,87 persen terhadap struktur produk domestik bruto (PDB) nasional, tumbuh minus 6,19 persen pada triwulan II-2020, sementara sektor perdagangan (berkontribusi 12,86 persen) minus 7,57 persen, sektor konstruksi (10,56 persen) minus 5,39 persen, dan sektor pertambangan (6,28 persen) tumbuh minus 2,52 persen.

Subsektor tanaman pangan yang tumbuh 9,23 persen menjadi kontributor utama pertumbuhan sektor pertanian selama kurun April-Juni 2020. Pergeseran musim tanam mengakibatkan puncak panen padi mundur dari biasanya Februari-Maret menjadi April-Mei sehingga menopang angka pertumbuhan tersebut.

https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/08/20200806-H09-NSW-Pertumbuhan-PDB-mumed_1596726743.gif

Pertanian kembali menjadi penyangga ekonomi di tengah krisis kesehatan dan ancaman resesi kali ini. Saat krisis tahun 1998, BPS mencatat kontraksi ekonomi mencapai minus 20 persen pada triwulan IV-1998, tetapi pertanian justru tumbuh positif 5 persen ketika itu (Kompas, 16/3/1999). Dengan menyerap 38,05 juta orang atau 29,04 persen dari total penduduk bekerja (Februari 2020), pertanian merupakan sektor yang vital sekaligus krusial bagi perekonomian nasional.

Akan tetapi, perhatian pemerintah terhadap petani, peternak, dan nelayan dinilai masih kurang. Produsen pangan belum terjamin kesejahteraannya dan rentan tertekan oleh segenap situasi karena pandemi.

Baca juga : Cegah Resesi, Daya Beli Ditingkatkan

Kini, ketika pemerintah mengucurkan subsidi upah Rp 2,4 juta per orang untuk pekerja dengan gaji Rp 5 juta per bulan, petani tidak mendapatkannya. Petani tak termasuk dalam 15,7 juta pekerja yang jadi sasaran subsidi, yakni pekerja formal dan terdaftar sebagai peserta jaminan sosial di BP Jamsostek.

Petani, peternak, nelayan, dan pembudidaya juga kemungkinan besar tidak terciprat program Kartu Prakerja yang ditargetkan menyasar 5,6 juta pekerja dengan alokasi anggaran Rp 21 triliun. Sebab, sejak digelar mulai April 2020, baru 7.396 orang dari total 680.918 peserta program Kartu Prakerja yang berasal dari sektor UMKM dan informal.

Pemerintah bahkan tegas menyatakan tidak ada bantuan sosial khusus untuk petani dan nelayan. Para petani dan nelayan yang memenuhi kriteria sasaran bantuan diharapkan sudah tercakup dalam sejumlah program bantuan sosial yang telah ada, seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, atau bantuan langsung tunai dari dana desa.

Kementerian teknis, seperti Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, memang merealokasi anggaran untuk penanganan dampak pandemi Covid-19 di setiap sektor. Namun, seberapa besar cakupannya? Apakah tepat sasaran, sesuai kebutuhan, serta menopang daya beli dan kesejahteraan petani atau nelayan?

Baca juga : Bantuan Sosial Timpang

Sejumlah aktivitas petani/nelayan, pemerhati, dan akademisi menilai program pemulihan ekonomi di sektor pertanian, seperti bantuan sarana prasarana produksi dan proyek padat karya berupa perbaikan infrastruktur, belum spesifik menyasar kesejahteraan para pelaku utamanya. Jikapun ada, jangkauan program terbatas, cakupannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhannya.

Ada sederet pekerjaan yang belum tuntas. Apalagi jika motivasi utama mereka, yakni harga layak dan menguntungkan, tak kunjung terwujud. Sederet program dan bantuan itu tidak ada artinya jika harga hasil panen tetap saja naik turun bak roller coaster, hasil panen tak terserap karena produk impor membanjiri pasar, atau kebijakan masih menutup celah untung bagi petani hanya karena alasan inflasi.

Pertumbuhan positif sektor pertanian di triwulan II-2020 semestinya tidak membawa kita jemawa. Seolah sukses membangun pertanian, lalu lupa membenahi sederet pekerjaan rumah, lupa bahwa faktor iklim menopang kinerja itu, atau tidak sadar bahwa RUU Cipta Kerja mengancam masa depan petani dan kedaulatan kita.

Pesan Bung Karno 68 tahun lalu kiranya masih relevan: pangan adalah soal hidup matinya bangsa. Maka janganlah setengah hati untuk menyejahterakan aktor utamanya, yakni petani.