KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petani memanen tomat di Desa Gantang, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2020).
Empat bulan lalu, ketika pandemi Covid-19 makin jelas ”menginfeksi” jaringan logistik dan perdagangan global, kekhawatiran soal krisis pangan menyeruak. Sejumlah negara produsen menyetop dan mengurangi ekspor komoditas pangan, seperti gandum dan beras, demi mengamankan stok di dalam negerinya.
Presiden Joko Widodo berulang kali menyampaikan kekhawatirannya soal risiko krisis pangan. Dalam rapat terbatas pada 13 April 2020 dan 5 Mei 2020, misalnya, Presiden mengulang peringatan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengenai kemungkinan krisis pangan dunia akibat pandemi Covid-19.
Selain pembatasan mobilitas yang masif di banyak negara dan wilayah-wilayah di Indonesia guna menghambat penularan virus, faktor kekeringan dikhawatirkan menggerus produksi dan mengancam stok pangan global. Namun, beberapa bulan kemudian, kekhawatiran itu belum terjadi. Situasi iklim di Indonesia yang diprediksi kemarau basah pun terbukti sejauh ini.
Fenomena solar minimum di mana aktivitas Matahari mencapai siklus bintik matahari minimum menekan potensi El Nino yang menyebabkan kekeringan. Dampaknya, hujan berpeluang turun di tengah kemarau. Petani diuntungkan karena mayoritas pulau besar di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, berpotensi diguyur hujan dengan curah di atas normal selama Juli-September 2020.
Faktor cuaca juga menyokong kinerja sektor pertanian pada triwulan II-2020. Ketika sebagian besar sektor terpuruk dan secara keseluruhan perekonomian tumbuh minus 5,32 persen, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sektor pertanian justru tumbuh positif 2,19 persen. Sektor pertanian berkontribusi 15,46 persen, terbesar kedua setelah industri pengolahan, terhadap produk domestik bruto nasional (PDB) nasional pada triwulan II-2020.
Dengan segenap keuntungan itu, petani sebagai pelaku utama semestinya tengah bersukacita. Sebab, mereka berpeluang menambah intensitas penanaman. Potensi produksi dan pendapatan pun semestinya lebih tinggi. Situasi iklim juga menjauhkan Indonesia dari krisis pangan tahun ini. Namun, kenyataan justru sebaliknya, sebagaimana situasi yang menimpa petani hortikultura dan peternak unggas rakyat.
Baca juga: Menggapai Berkah Kemarau Basah
Para peternak yang tergabung dalam Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) berunjuk rasa dengan membagi-bagikan ayam secara gratis di depan kantor Kementerian Pertanian di Ragunan, Jakarta, Selasa (1/9/2020). Sebab, harga jual daging ayam anjlok hingga Rp 7.000 per kilogram (kg), jauh di bawah ongkos produksinya yang mencapai Rp 19.000 per kg. Situasi harga juga mengangkangi regulasi pemerintah soal harga acuan pembelian di tingkat peternak yang ditetapkan Rp 19.000 per kg-Rp 35.000 per kg.
Tak hanya peternak ayam pedaging, nasib serupa dialami peternak ayam petelur. Anjloknya harga jual telur dan daging ayam berulang kali terjadi dan menekan peternak kecil beberapa tahun terakhir. Sudah tidak sedikit jumlah peternak yang terpaksa gulung tikar karena sudah kehabisan modal, sementara utangnya semakian menumpuk.
KOMPAS
Peternakan ayam petelur milik Yuki di kawasan Curug, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (14/6/2020).
Petani sayur juga terdampak pandemi. Lesunya permintaan menekan harga di hulu. Dua bulan terakhir, kabar petani membagi-bagikan hasil panennya datang dari sejumlah daerah di Tanah Air. Petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, misalnya, membagikan sawi, buncis, tomat, dan cabai secara gratis. Cara serupa ditempuh petani di sentra sayur, seperti di Kabupaten Bandung dan Majalengka, Jawa Barat; Purbalingga, Jawa Tengah; dan Tabanan, Bali.
Keterpurukan petani sayuran dan peternak unggas terekam dalam data BPS. Selama dua bulan berturut-turut, yakni Juli-Agustus 2020, Indonesia mengalami deflasi yang ditandai turunnya harga sejumlah komoditas, khususnya kelompok barang dengan harga bergejolak (volatile food).
Baca juga: Jangan Setengah Hati Menyokong Petani
Komoditas yang turun harga, antara lain, adalah daging ayam ras, bawang merah, tomat, telur ayam ras, dan bayam. Situasi itu tecermin dari turunnya nilai tukar petani (NTP) subsektor peternakan, yakni dari 99,94 menjadi 98,64, serta NTP hortikultura dari 99,77 menjadi 97,8 yang mengindikasikan turunnya kesejahteraan petani dan peternak unggas.
Kini, ketika pemerintah meluncurkan subsidi upah Rp 2,4 juta bagi 15,7 juta pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan, bantuan tunai Rp 2,4 juta bagi 12 juta pelaku usaha mikro, serta melanjutkan program Kartu Prakerja untuk 5,6 juta pekerja dengan alokasi Rp 3,5 juta per peserta, dalam duka para petani sayur dan peternak ayam juga tengah membagi-bagikan hasil jerih payahnya secara gratis. Bagi mereka, lebih baik sayuran itu disedekahkan atau dibagikan cuma-cuma ketimbang dipetik dan dijual ke pasar karena perlu ongkos tambahan yang lebih besar.
Ketika berharap produksi pangan meningkat, pemerintah seharusnya memperhatikan kesejahteraan petani. Apa yang terjadi saat ini masih jauh dari ideal. Ketika pandemi menuntut negara mandiri dalam pemenuhan pangan, problem klasik ketidakseimbangan permintaan dan penawaran masih terjadi, kesejahteraan petani belum jadi prioritas utama. Padahal, tuntutan petani atau peternak sejatinya sangat sederhana, yakni harga jual yang layak atas hasil jerih payahnya. Harga yang menguntungkan adalah insentif yang hakiki bagi petani.