”Banks follow business”, itu kalimat yang selalu disampaikan oleh almarhum Rudjito, Direktur Utama BRI periode 2000-2004, di setiap presentasinya. Ini berarti bahwa sejak dulu kala, fungsi bank adalah menunjang bisnis, bukan pencipta bisnis.
Tidak pernah terjadi ketika suatu daerah belum ada kegiatan usaha, kemudian didirikan sebuah bank, maka daerah tersebut langsung berkembang ekonominya. Yang lazim terjadi adalah bank akan hadir apabila sebuah area telah ada kehidupan bisnis.
Prinsip pendirian sebuah bank sampai saat ini masih seperti itu. Hal ini diperkuat dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI)/Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang prinsip kehati-hatian bank bahwa bank dilarang membiayai usaha yang beroperasi komersial kurang dari dua tahun. Prinsip ini semakin menguatkan bahwa bahwa lembaga perbankan tidak mungkin menjadi motor penggerak ekonomi. Bank selamanya hanya akan berfungsi sebagai akselerator kegiatan ekonomi yang telah berjalan.
Wacana pendirian sebuah bank pertanian kembali mengemuka setelah baru-baru ini Presiden Joko Widodo mengajak generasi milenial menekuni dunia pertanian (Kompas, 6 Agustus 2021). Apabila menengok kembali pada sejarah perbankan nasional, kehadiran bank pertanian sebenarnya pernah terjadi di era tahun 1960-an, ketika itu melalui undang-undang, pemerintah mendirikan Bank Koperasi, Tani, dan Nelayan (BKTN) yang sekarang telah berubah menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Baca juga : Urgensi Investasi bagi Korporasi Petani
Fungsi BKTN saat itu fokus hanya membiayai koperasi, petani kecil, dan nelayan. Sementara bidang usaha lain yang lebih besar diamanahkan kepada bank BUMN lainnya, yaitu Bank Bumi Daya (BBD) fokus pada sektor kehutanan, Bank Dagang Negara (BDN) fokus di sektor pertambangan, Bank Pembangunan Indoensia (Bapindo) fokus di proyek jangka panjang dan infrastruktur, Bank Ekspor Impor Inodnesia (BEII) fokus unutk pembiayaan perdagangan luar negeri, Bank Negara Indonesia (BNI) fokus di pembiayaan manufaktur besar, dan Bank Tabungan Negara (BTN) fokus pada pembiayaan perumahan rakyat.
BADAN PUSAT STATISTIK
Survei Ongkos Usaha Tani Padi 2017
Aspek kelembagaan perbankan
Diskusi tentang pendirian bank pertanian menyangkut dua aspek, yaitu aspek kelembagaan dan aspek skema pembiayaan. Aspek kelembagaan terkait dengan urgensi pendirian sebuah bank yang khusus membiayai sektor pertanian.
Untuk mewujudkan sebuah bank pertanian dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu mendirikan sebuah bank baru atau dengan mengubah bank yang telah ada menjadi bank pertanian. Mendirikan bank baru jelas lebih mahal karena diperlukan modal inti sedikitnya Rp 3 triliun sehingga pilihan praktisnya adalah mengubah bank yang telah ada menjadi bank pertanian.
Mewujudkan sebuah bank pertanian adalah perkara mudah. Yang lebih sulit adalah menjamin bahwa bank pertanian tersebut nanti benar-benar fokus membiayai sektor pertanian dalam arti luas, khususnya pertanian skala kecil dan berkelanjutan.
Baca juga: Pertanian dan Petani Terpinggirkan
Sebagaimana pelajaran dari dinamika industri perbankan, ketika diluncurkan deregulasi perbankan tahun 1983 dan Paket Oktober 1998, pada akhirnya semua bank melepaskan fokus bisnisnya dan masuk ke semua sektor bisnis. Lebih-lebih dengan ketatnya regulasi Penilaian Tingkat Kesehatan bank yang menerapkan kualitas aset dana profitabilitas, sebagai faktor yang diperhitungkan, maka bank akan mengejar kedua indikator tersebut semaksimal mungkin.
Sebagaimana diketahui, sektor pertanian di Indonesia pada umumnya berskala kecil dan rentan terhadap suku bunga yang tinggi. Hal ini akibat pembatasan harga jual produk pertanian sehingga kian hari, nilai dasar tukar komoditas pertanian (Terms of Trade) semakian tertinggal terhadap harga barang industri.
Akibatnya, bank tidak terlalu tertarik untuk fokus di pembiayaan sektor pertanian karena belum menjanjikan profit yang tinggi bagi bank. Demikian juga risiko sektor pertanian sangat bergantung pada musim dan hama sehingga ketika terjadi perubahan musim atau adanya hama, akan menyebabkan gagal panen dan kredit menjadi macet. Stigma bahwa sektor pertanian adalah low income high risk belum bisa hilang dari benak para banker.
Bank tidak terlalu tertarik untuk fokus di pembiayaan sektor pertanian karena belum menjanjikan profit yang tinggi bagi bank.
BKTN yang sekarang telah berubah menjadi BRI, dan juga Bank Agro, ternyata juga tidak dapat menjaga fokus bisnis pada sektor pertanian, khususnya skala kecil. BRI saat ini fokus pada UKM, tetapi di semua sektor, dan Bank Agro justru akan difokuskan menjadi Bank Digital. Dari uraian ini jelas bahwa mewujudkan sebuah bank pertanian tidak hanya soal mengejar kemasan lembaga saja, tetapi esensi fokus bisnis ke sektor pertanian adalah tantangan paling berat.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Berbagai jenis sayur organik yang dikembangkan di salah satu perkebunan di Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (1/3/2021).
Aspek skema pembiayaan
Untuk saat ini, mewujudkan sebuah bank pertanian bukan merupakan prioritas karena berbagai program untuk memajukan sektor pertanian selama ini masih dapat ditugaskan melalui bank yang ada. Di perbankan dikenal dua skema program pembiayaan pertanian, yaitu skema penerusan (chanelling) dan skema eksekuting.
Untuk program penerusan, pemerintah menempatkan dana di bank untuk program khusus yang ditentukan pemerintah, di mana bank hanya bertugas menyalurkan sesuai ketentuan dan bank mendapatkan jasa pengelolaan (handling fee). Semrntara risiko kemacetan kredit 100 persen ditanggung pemerintah. Skema ini sudah jarang dilaksanakan karena tingginya moral hazard yang terjadi di lapangan, baik yang berasal dari nasabah maupun dari internal petugas bank.
Ada[un skema eksekuting, di mana pemerintah menempatkan dana di perbankan untuk program tertentu, tetapi penyaluran kredit sepenuhnya diserahkan kepada bank dan risiko kredit 100 persen menjadi ririko bank. Skema eksekuting yang paling legendaris adalah program KIK/KMKP pada era 1980-an, di mana pada akhir program semua dana pemerintah akhirnya ditarik kembali.
Di era sebelum Oktober 1998, cukup banyak kredit program pertanian yang dititipkan ke perbankan.
Di era sebelum Oktober 1998, cukup banyak kredit program pertanian yang dititipkan ke perbankan antara lain KKPA (Kredit Ketahanan Pangan Anggota), PIR (Perkebunan Inti Rakyat), KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi), KUT (Kredit Usaha Tani) untuk Tebu dan Padi, dan sebagainya. Bahkan di era 1980-an BRI pernah ditugasi pemerintah untuk membuka BRI Unit Desa untuk menyalurkan kredit program untuk mendukung swasembada beras.
Karena pembukaan BRI Unit pada waktu itu menggunakan pendekatan supply side, dan bukan demand side, maka program swasembada beras memang berhasil, tetapi eksistensi BRI Unit yang didirikan di tengah-tengah sawah ternyata tidak berkelanjutan. Dengan diubahnya pendekatan pendirian BRI Unit ke demand side, akhirnya BRI Unit hanya didirikan di lokasi yang telah ada kegiatan ekonomi agar lebih sustainable.
Sebagaimana diketahui bahwa karakteristik utama sektor pertanian, khususnya skala kecil, adalah rentan terhadap cuaca, pengendalian hama, harga jual yang tidak pasti, dan diperlukan masa tenggang (grace period) bagi tanaman untuk menghasilkan. Berdasarkan karakteritik seperti itu, bank wajib menyediakan skema yang tepat sekaligus mitigasi risiko yang memadai agar harapan pengusaha di bidang pertanian dapat dicapai, yaitu hasil panen yang memadai (tidak gagal panen), dan harga jual yang baik sekaligus memberikan keuntungan yang berkelanjutan.
Baca juga : Konsensus Pembangunan Pertanian
Apa pun risiko yang dihadapi sektor pertanian, risiko utama pemberian kredit bagi bank adalah tidak terbayarnya kembali kredit atau kredit menjadi macet. Untuk mendorong agar bank tetap terpacu untuk menyalurkan kredit ke sektor pertanian, pemerintah dapat menyediakan fasilitas penjaminan kredit. Saat ini bank-bank milik negara dan BPD telah menyalurkan KUR (kredit usaha rakyat) untuk semua sektor yang dijamin oleh Askrindo dan Jamkrindo.
Hampir semua skema kredit untuk pertanian dapat disalurkan melalui jaringan perbankan yang telah ada, dengan catatan bank harus diberikan keyakinan bahwa risiko kredit macet harus dijamin pada tingkat yang masih menguntungkan perbankan.
Catatan akhir
Kembali pada prinsip bahwa bank hanya mengakselerasi bisnis, maka prinsip di mana ada gula di situ semut akan berkerubung. Beberapa sektor pertanian, seperti kelapa sawit, sangat menarik minat perbankan untuk membiayai. Faktor utama penentu keberhasilan pembiayaan kelapa sawit bukan karena adanya bank khusus pertanian, tetapi karena pengelolaan usaha kelapa sawit dapat dilakukan secara menguntungkan dan berkelanjutan. Daya saing dan risiko yang relatif rendah di kelapa sawit sangat menarik sebagian besar perbankan untuk masuk dalam pembiayaan.
Selain itu, ekspor komoditas perikanan dan udang juga sangat prospektif. Kualitas dan harga yang bersaing serta jaminan keberlanjutan bisnis ikan dan udang sangat menarik minat perbankan untuk membiayainya, baik dalam skala kecil, menengah, maupun besar.
Baca juga : Kebangkitan Neo-pertanian
Dari dua contoh komoditas pertanian tersebut jelas bahwa pendirian bank pertanian bukan hal yang mendesak. Yang diperlukan adalah tersedianya skema pembiayaan yang sesuai dengan karakterisik sektor pertanian dan mitigasi risiko bagi petani sehingga usaha pertanian mampu memberikan keuntungan bagi pelaku usaha.
Bagaimana membuat sektor pertanian menjadi semacam gula sehingga semut perbankan akan mengerumuninya, tentu bukan tugas pelaku perbankan. Itulah ”PR” bagi pihak yang berkompeten untuk mewujudkan sektor pertanian impian sebagaimana yang kita saksikan di negara maju.
Djoko Retnadi, Direktur Pelaksana Indonesia Exim Bank 2019-2020