RAPBN 2017 Target PDB Akan Direvisi Kurniawan A. Wicaksono & Veronika Yasinta Kamis, 01/09/2016 09:38 WIB JAKARTA – Pemerintah mengestimasi adanya kemungkinan koreksi hingga 0,1% pertumbuhan ekonomi dari asumsi yang ditetapkan dalam APBN Perubahan 2016 sebesar 5,2%. Estimasi ini disebut sebagai salah satu imbas dari penyesuaian rencana belanja pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan saat ini pihaknya masih meminta Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu untuk mengkaji efek stimulus fiskal yang muncul dari pemangkasan anggaran hingga Rp137,6 triliun terhadap laju produk domestik bruto (PDB). “Kalaupun ada koreksi dari growth mungkin adalah sekitar 0,1%. Ini akan bisa menjadi basis untuk kita membahas asumsi makro 2017,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (31/8). Dia mengatakan memang secara volume ada pengurangan rencana belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun, volume yang dipangkas ini sebenarnya estimasi belanja yang tidak ada penerimaannya. Pada saat yang bersamaan, pemerintah mengestimasi shortfall – selisih antara realisasi dan target – penerimaan perpajakan sekitar Rp219 triliun. Dengan estimasi shortfall tersebut, lanjut dia, sebenarnya ada pelonggaran dari sisi upaya pengejaran target penerimaan pajak. Kondisi ini disebut mampu berimplikasi pada pergerakan sektor ekonomi terutama sektor riil. Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi laju produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II/2016 sebesar 5,18%. Dengan capaian pertumbuhan pada kuartal I/2016 yang mencapai 4,91%, realisasi semester I/2016 mencapai 5,04%. Bank sentral pun baru saja mamangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi hingga keseluruhan tahun ini hanya berada di kisaran 4,9%-5,3%.  Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memproyeksi laju PDB di kisaran 5,0%-5,4%. Di hadapan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR, Selasa malam (30/8), Menkeu Sri Mulyani menegaskan akan selalu menjaga kredibilitas fiskal sebagai bagian dari pengelolaan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan. Menkeu menegaskan penyesuaian anggaran yang dilakukan pada APBNP 2016 lewat pemangkasan dan penghematan belanja serta pengerekan defisit dilakukan dengan sangat hati-hati sebagai imbas dari terlalu ambisiusnya target penerimaan negara. “Saya tidak malu untuk mengatakan itu karena saya tahu bahwa kredibilitas bendahara negara akan sangat terpengaruhi dengan tidak berpura-pura kalau enggak punya uang,” ujarnya. Kendati memberikan estimasi shortfall, pihaknya memastikan tetap berupaya keras untuk mendapatkan penerimaan negara secara optimal. Langkah pemerintah saat ini, menurutnya, bukan semata-mata langkah mudah karena hanya memangkas anggaran ketika penerimaan tidak tercapai, seperti yang disampaikan beberapa anggota DPR. “Kalau dibilang saya harus melakukan reformasi perpajakan pasti akan saya lakukan, karena itu bukan sesuatu yang baru buat kami. Tapi, dengan pengalaman yang pernah saya lakukan, saya tahu seberapa cepat suatu langkah perbaikan akan bisa menghasilkan kenaikan penerimaan segera,” jelasnya. Sri Mulyani mengaku memang penyesuaian anggaran dalam APBNP 2016 memang berimplikasi pada pagu belanja modal. Namun, pihaknya menegaskan pengaruh tersebut sepenuhnya hanya akibat dari penghematan tender, bukan pemangkasan. Untuk beberapa proyek infrastruktur, pemerintah menggunakan skema multiyears contract.   //kredibilitas fiskal Pada kesempatan berbeda, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,18% pada kuartal II/2016 jauh lebih baik di antara negara berkembang lainnya. Namun, kepemilikan surat berharga negara yang besar dimiliki asing sebesar 39% bisa menjadi ancaman ketika kredibilitas fiskal diragukan. Kendati reformasi struktural dilakukan oleh pemerintah, menurutnya, penurunan penerimaan pajak yang meleset 14% dari target APBN-P atau kurang Rp219 triliun menjadi sorotan global. Selain itu, pengaruh ekonomi global terutama dari perbaikan ekonomi Amerika Serikat sehingga ada kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed perlu diwaspadai. Pidato Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen yang menyatakan kemungkinan untuk pengetatan kebijakan moneter AS telah menguat berhasil membuat dana asing keluar sebesar Rp7 triliun dalam jangka waktu tiga hari. Keluarnya dana asing itu bisa menjadi besar jika fundamental ekonomi tidak terjaga. “Indonesia yang fundamental kuat tapi akan tidak kuat kalau fiskal kita lemah. Kalau fiskal kita tidak kredibel, itu dana yang dimiliki asing dengan mudah akan keluar, kalau itu keluar maka ekonomi kita bisa mundur,” katanya, dalam paparannya di Badan Anggaran DPR, Jakarta, Selasa (30/8). Bank sentral juga akan terus memantau pemotongan anggaran belanja pemerintah senilai Rp133 triliun. Dia berpendapat pemotongan anggaran bisa dikaji lebih dalam sehingga jumlah yang disepakati akan mencerminkan APBN yang kredibel. Naiknya utang akan membuat debt service ratio (DSR) meningkat. DSR merupakan jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. DSR yang semakin besar akan membuat beban utang semakin berat.  Sebelumnya, BI mencatatkan utang luar negeri Indonesia pada kuartal II/2016 sebesar US$323,8 miliar. BI juga melaporkan DSR Tier 1 pada kuartal II/2016 meningkat dari 34,08 menjadi 37,28.  “Debt service ratio itu dianggap suatu kelemahan, tetapi kalau kita merespon dengan cara otoritas fiskal, otoritas moneter, otoritas sektor rill berkoordinasi dengan baik itu akan menciptakan confident,” ucapnya. BI memperkirakan defisit transaksi berjalan bisa menyentuh US$20 miliar atau 2,2% dari PDB. Pada 2017, defisit transaksi berjalan diproyeksikan berada di kisaran 2,6%-2,7%. Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. David Sumual mengatakan ekonomi global yang dipengaruhi pernyataan The Fed yang kemungkinan naik di September 2016 atau akhir tahun ini akan berpengaruh ke investasi portofolio di dalam negeri. Dampak tersebut lebih bersifat temporer. Selain itu, investasi di Indonesia masih menarik terutama fundamental ekonomi yang dilihat pasar masih bagus karena dapat tumbuh di atas 5% dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti Brazil dan Venezuela yang masih krisis.