Keputusan pemerintah untuk mengimpor satu ton beras pada tahun ini merupakan langkah yang mengejutkan, bahkan dapat dikatakan blunder.
Beberapa alasan kuat, bukan semata karena panen raya yang segera mampu menyuplai gudang Bulog secara nasional, tetapi juga karena langkah ini semakin menjauhkan petani dari cita-cita kesejahteraan seutuhnya.
Dengan demikian, di manakah kita menempatkan posisi petani saat ini, subyekkah, atau kebalikannya?
Berbagai kebijakan pertanian yang dilakukan sejak Revolusi Hijau tercapai seolah tak mampu menempatkan petani sebagai subyek pertanian itu sendiri.
Bahkan, langkah dan cita-cita kemandirian pangan yang hendak dituju sering kali terganjal perilaku kerja pemerintah itu sendiri. Di sinilah letak urgensi beras terhadap kemandirian pangan penting untuk kita bahas.
Posisi perberasan
Dengan mengacu dan melihat posisi perberasan saat ini, kita dapat menilai langkah impor yang dilakukan saat ini.
Apakah langkah tersebut merupakan langkah tepat atau justru sebaliknya, apakah hendak menuju kondisi memperkuat ketahanan pangan dengan meningkatkan cadangan pangan nasional atau justru hendak menunjukkan industri perberasan yang sangat pragmatis dan berpihak pada pasar bebas.
Kondisi data perberasan merujuk pada beberapa data, yang sering kali tidak sinkron, terutama pada data BPS, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Bulog.
Kondisi perberasan nasional per akhir bulan Februari sebenarnya berada dalam kondisi sangat aman.
Kondisi perberasan nasional per akhir bulan Februari sebenarnya berada dalam kondisi sangat aman. Hal ini tergambar dari data BPS di mana produksi beras pada Januari-April 2021 berada pada posisi lebih kurang 14 juta ton. Angka ini bahkan mengalami kenaikan lebih dari 25 persen dari produksi beras pada tahun 2020.
Selain itu, posisi panen raya yang akan berlangsung pada Januari-April mendatang juga membuat kita berpotensi surplus 4,8 juta ton beras.
Di sisi lain, sisa stok gudang Bulog pada tahun 2020 berada pada kondisi cukup memadai, karena pada tahun 2020 pergerakan produksi beras mencapai 54,65 juta ton. Sementara total kebutuhan beras tahunan umumnya berada pada kisaran 29,6 juta ton.
Dengan kondisi seperti itu, hampir dapat dipastikan neraca perberasan masih dapat surplus. Karena itu, impor beras hampir dapat dikatakan belum layak dilakukan sekarang.
Di balik rencana impor pemerintah, harga gabah berada pada kondisi tertekan. Di beberapa daerah, bahkan kurang dari Rp 3.500 per kilogram.
Dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang telah ditetapkan Rp 4.200 saja petani masih sulit membayar ongkos produksi, apalagi dalam kondisi impor beras. Pastinya kondisi petani semakin tertekan, bahkan hampir dapat dikatakan kesejahteraan petani adalah hal yang mustahil tercapai.
Melihat situasi ini, seharusnya pemerintah berpikir kembali tentang rencana impor. Serapan hasil panen petani saat ini seharusnya lebih diutamakan, menimbang belum semua gabah hasil panen mampu diserap Bulog. Terlebih kondisi tani saat ini merupakan penopang bagi sektor lain yang terdampak pandemi Covid-19.
Kemandiran pangan
Beberapa dekade silam, Indonesia pernah menjadi salah satu negara yang berhasil melakukan swasembada beras. Hal ini menjadi momentum serta kebanggaan bagi masyarakat tani. Seiring dengan hal tersebut, swasembada pangan kian diuji, terutama pada kondisi produksi yang kian menurun.
Kondisi produksi yang menurun bukan saja diakibatkan dari kurangnya input teknologi, melainkan juga karena hasil pertanian kian sulit menafkahi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kondisi pertanian juga telah berubah drastis, infrastruktur pertanian kian tergerus, pupuk sering kali langka, bahkan asuransi bagi tani juga tak kunjung hadir.
Infrastruktur pertanian adalah hal yang sangat vital. Jaringan irigasi—yang menjadi sarana mutlak agar panen dapat dilakukan tiga kali setahun atau bahkan lebih (IP 300)—saat ini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Banyak dari jaringan irigasi berubah fungsi sehingga lahan pertanian semakin terancam.
Kemandirian pangan sudah seharusnya ditempatkan pada program utama di negeri agraris ini.
Belum lagi masalah kelompok tani yang kurang mendapat pendampingan atau kalaupun ada, program-program yang dilakukan pemerintah sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Dengan demikian, kemandirian pangan adalah hal sukar di negeri ini.
Kemandirian pangan sudah seharusnya ditempatkan pada program utama di negeri agraris ini. Bagaimana tidak, hamparan lahan yang terbentang cukup luas, kesuburan alami yang terbilang cukup baik, bahkan kondisi curah hujan terbilang tinggi adalah potensi kemandirian pangan yang seharusnya dapat tercapai.
Sayangnya, kita telah gagal mengelola potensi ini. Bahkan, kita menjadi terjebak pada situasi runyam pangan dan perberasan di negeri ini. Kondisi ini sudah seharusnya segera disikapi, menerjemahkan langkah kemandirian pangan.
Menyelaraskan kerja kementerian dan lembaga pemerintah pada tujuan bersama, hingga menyusun data pangan yang terintegrasi, adalah hal yang mendesak untuk dilakukan sesegera mungkin.
Marenda Ishak S, Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran