https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/NjkN-CQM-xi_V3H_kZBdIgnwDw0=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F882349d9-4540-4982-9167-4a152d0f549f_jpg.jpgKOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto udara hamparan areal persawahan yang menghijau di Desa Cilalawi, Kecamatan Sukatani, Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu (25/7/2020).

Refleksi HUT Ke-75 Kemerdekaan RI penting dikaitkan dengan eksistensi pertanian kita dewasa ini. Suatu hal pelik yang kerap luput dari perhatian dalam dunia pertanian ialah fenomena melemahnya minat generasi muda desa untuk bertani.

Melemahnya minat generasi muda desa ini bisa disebabkan banyak faktor. Umumnya, menjadi petani bukanlah pilihan sadar yang ibarat nasib yang tak perlu lagi dipilih. Jadi petani seperti nasib guratan tangan yang sulit ditolak.

Meningkatnya jenjang pendidikan kaum muda desa tak menolong pertanian, justru kian memperkuat godaan untuk meninggalkan desa. Makin tinggi pendidikan kaum muda desa, makin besar potensi untuk pergi dari desa.

Dampaknya, pertanian lesu akibat kelangkaan tenaga kerja baru.

Meningkatnya jenjang pendidikan kaum muda desa tak menolong pertanian, justru kian memperkuat godaan untuk meninggalkan desa.

Di sawah dan ladang umumnya bekerja petani berusia lanjut dengan efektivitas kerja dan produktivitas yang cenderung menurun. Curahan tenaga di sawah dan ladang menjadi tak lagi optimal sehingga produktivitas pertanian pun terancam tergerus.

Dalam perspektif budaya kota, bekerja di lahan pertanian seolah jadi simbol keterbelakangan yang menghinakan pemuda atau pemudi desa. Bekerja di sawah dan ladang dicitrakan dengan pakaian kumal sebagai tanda ketidakberhasilan. Jika ingin dianggap sukses, kaum muda desa mesti pergi ke kota untuk menjadi apa saja, terkesan lebih keren. Ini pandangan bias kota yang menyesatkan.

Kita paham, keterbatasan pertanian yang utama adalah kelangkaan tanah sebagai lahan pertanian. Keterbatasan tanah milik petani jadi penghambat utama kemajuan pertanian. Tanah di desa, banyak dikuasai badan usaha raksasa di sektor perkebunan atau kehutanan, juga karena alih fungsi lahan dan pindah kepemilikan tanah dari petani ke kaum berduit.

Baca juga : Basis Pertahanan Berdaulat Pangan

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/-h9DlW68MJa0QQegpitgrV64VJg=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2Ff2476ecf-16ff-4560-bb26-d669fd9fc9c1_jpg.jpgKOMPAS/AGUS SUSANTO

Kluster hunian di tengah areal persawahan di Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (16/7/2020).

Kelangkaan tanah ini menyebabkan involusi pertanian sehingga terus meredup hingga titik nadir. Tak ada pertanian tumbuh tanpa tanah pertanian yang terpelihara secara berkelanjutan.

Selain tanah, kesulitan lain yang penting ialah benih lokal untuk ditanam dan pupuk organik untuk mengolah tanah pertanian. Demikian halnya dengan sistem teknologi pendukung untuk peningkatan produktivitas pertanian yang lemah telah memperburuk produktivitas pertanian. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di era digital belakangan ini masih jauh dari jangkauan umumnya petani di perdesaan.

Baca juga : Korona Mengubah Pertanian India

Belum lagi, ketiadaan jaminan bagi harga jual produk-produk pertanian telah menjadikan pertanian kalah bersaing dengan sektor lain. Ketidakpastian harga yang bisa diterima petani menjadi faktor yang memengaruhi keengganan kaum muda desa untuk bertani. Tak ada jaminan jika bertani itu menguntungkan. Bertani harus siap abadi dalam kemiskinan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/1Ofgv-pH8zPKjOzGfmLSxrL83JE=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F1a4dd3eb-0c56-4528-948d-a3c082797049_jpg.jpgKOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto udara buruh tani mencabut benih padi varietas Inpari 32 yang berusia satu bulan untuk ditanam kembali di lahan baru di Desa Sukaasih, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (16/7/2020).

Regenerasi petani

Jika kaum muda desa tak lagi mau bertani, sementara petani yang ada kian menua dan akhirnya habis, kiamat pertanian segera tiba. Ilmuwan antropologi dan sosiologi menyebut ini fenomena depeasantization. Ketika tak ada lagi regenerasi petani dan pertanian kehilangan tenaga kerja utamanya, kita mesti bersiap menyambut ketaksanggupan memenuhi kebutuhan pangan sendiri.

Kita harus siap menyongsong era di mana pangan didatangkan dari luar negeri. Cita kedaulatan pangan tinggal cita-cita dalam kenangan. Segala upaya menghidupkan pertanian rakyat berakhir. Model produksi pertanian pun bersalin rupa. Petani pergi, datanglah korporasi atau perusahaan raksasa. Penguasaan tanah dan pengusahaan tanah beralih sepenuhnya dari petani ke tangan korporasi di bidang pangan (food estate).

Baca juga : Sektor Pertanian Mendesak Ditata Ulang

Dengan kekuatan modal di tangannya, korporasi bisa mendapatkan hak atas tanah atau aneka izin usaha di atas tanah dengan relatif lebih mudah. Dengan modal besar, korporasi bisa menggendong berbagai sarana dan prasarana untuk ditebarkan di atas tanah pertanian secara masif. Modernisasi sistem informasi dan teknologi pertanian kian mudah digelindingkan.

Melalui kemampuan korporasi pertanian pangan yang luar biasa besar ini, dibayangkan produktivitas pertanian sontak meningkat. Jika kemampuan ini terus naik, Indonesia bisa surplus bahan pangan. Ketika produk pangan melimpah, Indonesia swasembada pangan. Tidak mustahil, kita jadi eksportir bahan pangan di dunia. Sebuah ilusi menakjubkan.

Mendapati pertanian tanpa petani. Semacam tragedi kemanusiaan yang menyesakkan.

Dalam model penguasaan dan pengusahaan pertanian yang bertumpu pada modal besar, jelas keuntungan akan jatuh pertama kali ke tangan pemilik modal. Karena petani sudah tak ada, tinggal buruh-buruh tani yang bekerja di korporasi pertanian.

Berbondong-bondong orang desa bekerja di atas lahan pertanian yang bukan lagi miliknya dengan menjual murah tenaganya demi remah-remah upah alakadarnya. Tragis. Mendapati pertanian tanpa petani. Semacam tragedi kemanusiaan yang menyesakkan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/MaWv4VkFBYlEwCVDJVOiuxeaOiY=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F08052018_PDS03.jpgKOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO

Usep Setiawan

Lonjakan produktivitas pertanian tanpa kekuatan petani yang mampu berdiri di atas kaki sendiri menjadikan pertanian yang jauh dari kemerdekaan. Tentu kita tak ingin semua ini terjadi. Pertanian dan petani harus dimerdekakan melalui konsistensi kita dalam melaksanakan reforma agraria dan meregenerasi petani sekarang juga. Merdeka!

Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden.