penyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dari hutan hujan tropis sekalipun. Selain itu, ekosistem pada lahan basah pun merupakan rumah bagi aneka ragam flora dan fauna unik.

Karena tuntutan kebutuhan ladang/perkebunan, permukiman, ataupun berbagai infrastruktur, lahan basah diuruk dan dikeringkan agar mudah dimanfaatkan menjadi berbagai peruntukan tersebut. Akibatnya, lahan basah menjadi kering dan menjadi pelepas emisi gas rumah kaca yang sangat tinggi. Bahkan, gambut yang mengering bisa menjadi bahan bakar yang memperparah kebakaran hutan dan lahan.

Kesadaran untuk memulihkan lahan basah, terutama gambut dan kini mangrove, kemudian muncul di sejumlah daerah. Indonesia pun sejak tahun 2016 memiliki Badan Restorasi Gambut (kini menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) yang memiliki amanat memulihkan gambut dan mangrove yang rusak di sejumlah tempat.

Sebuah studi tentang lahan basah yang direstorasi di Pulau Funen di Denmark mengungkapkan bahwa kekayaan spesies tanaman tetap sangat rendah bertahun-tahun setelah restorasi lahan basah. Ini seolah membalikkan asumsi luas bahwa lahan basah yang dipulihkan akan serta-merta meningkatkan keanekaragaman hayati lokal dan menjadi menyerupai lahan basah alami dari waktu ke waktu. Namun, menurut para ahli, lebih banyak yang harus dilakukan untuk mengatalisasi pemulihan lahan basah.

Dibutuhkan setidaknya seratus tahun agar lahan basah menyerupai lahan basah alami, terutama terkait dengan keanekaragaman spesies, karena imigrasi spesies yang lambat.

Di Denmark, dalam 25 tahun terakhir terdapat lebih dari 200 lahan basah yang telah dipulihkan. Restorasi itu lebih bertujuan untuk mencegah limpasan nutrisi dari ladang tanaman ke aliran air. Selain itu, otoritas di Denmark juga menunjuk restorasi lahan basah sebagai sarana untuk meningkatkan keanekaragaman hayati di seluruh negeri, yang telah menurun selama beberapa dekade.

Secara luas diasumsikan bahwa lahan basah yang direstorasi merupakan jalan bagi kembalinya keanekaragaman tumbuhan. Dan, pada akhirnya, daerah-daerah ini akan menyerupai lahan basah alami. Dalam kasus terbaik, spesies tanaman yang semakin langka di Denmark dalam beberapa dekade terakhir, seperti anggrek rawa, globeflower, tussock-sedge, dan ragged-robin, akan sekali lagi kembali menjadi berlimpah.

Namun, sebuah penelitian yang dipimpin oleh seorang mahasiswa doktoral Universitas Kopenhagen, Denmark, menunjukkan bahwa bahkan setelah pemulihan selama 17 tahun, lahan basah yang diteliti tetap miskin secara botani. Tidak ada perbedaan lahan basah dengan umur restorasi tujuh dan 17 tahun.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/0xE7mmGlBeV3pltul9w6x_VE9fc=/1024x493/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F1-s2.0-S0048969721042194-ga1_lrg_1640146160.jpgSCIENCE OF THE TOTAL ENVIRONMENT

Hasil pemulihan gambut pada tujuh dan 17 tahun yang tak menunjukkan perbedaan signifikan dari sisi keragaman hayati flora. Sumber infografik dari jurnal Science of the Total Environment edisi 1 Desember 2021.

”Hanya ada sedikit perkembangan, dalam hal keanekaragaman hayati, sejak lahan basah dipulihkan. Ini berlaku terlepas dari apakah area tersebut dipulihkan tujuh atau 17 tahun yang lalu, semuanya memiliki keanekaragaman tumbuhan yang sangat rendah, dan hanya sedikit tumbuhan yang ditemukan,” ujar Marta Baumane, ahli biologi di Departemen Biologi Universitas Kopenhagen, pada situs internet kampus itu, 20 Desember 2021.

Iklan

Baumane merupakan penulis utama studi yang diterbitkan dalam jurnal Science of the Total Environment edisi 1 Desember 2021 tersebut.

Dalam studi tersebut, para peneliti mempelajari sepuluh lahan basah di daerah tangkapan air Kratholm di Sungai Odense, semuanya dipulihkan antara tahun 2001 dan 2011. Tujuan utama restorasi mereka adalah untuk mengurangi pencucian nitrogen dan fosfor dari lahan pertanian di sekitarnya. Restorasi dilakukan dengan menghapus atau memutus saluran air dan parit serta membuat kembali sungai berkelok-kelok setelah berdekade sebelumnya diluruskan.

Mereka mengukur, lahan basah yang diselidiki itu memiliki rata-rata 9,5 spesies per 4 meter persegi. Ini sangat rendah dibandingkan lahan basah alami di Denmark yang mengandung sekitar empat kali lebih banyak spesies tanaman.

Para peneliti menduga bahwa penyebab utama rendahnya keanekaragaman hayati ini adalah masukan nutrisi yang tinggi dari pertanian yang terus mengalir ke lahan basah. Setiap tahun, daerah ini menerima hingga 400 kilogram nitrogen per hektar.

Baca juga : Harapan Baru Pemulihan Ekosistem Gambut dan Mangrove

Studi ini juga menunjukkan hambatan signifikan lain terhadap peningkatan keanekaragaman hayati serta ketersediaan dan penyebaran spesies lahan basah asli yang sangat terbatas. Sebagai konsekuensi dari area yang digunakan ataupun dekat dengan areal pertanian selama bertahun-tahun, sebagian besar spesies lahan basah telah menghilang dari seluruh daerah aliran sungai.

”Studi ini menunjukkan bahwa mungkin diperlukan waktu bertahun-tahun bagi lahan basah yang direstorasi untuk mencapai keragaman tanaman yang signifikan jika kita hanya mengandalkan proses biologis spontan. Jika nutrisi terus mengalir ke lahan basah dari ladang di dekatnya, upaya restorasi alam mungkin menjadi sia-sia. Bahkan, jika masuknya nutrisi ke lahan basah terputus, perkiraan kami adalah bahwa dibutuhkan setidaknya seratus tahun agar lahan basah menyerupai lahan basah alami, terutama terkait dengan keanekaragaman spesies, karena imigrasi spesies yang lambat,” kata Baumane.

Ia menunjukkan bahwa upaya tambahan diperlukan jika ingin lahan basah kembali seperti alami. Ia berharap pihak berwenang menggunakan hasil riset ini untuk memperbaiki lahan basah yang telah dipulihkan. Harapannya, pemulihan lahan basah tersebut tidak hanya jumlah nutrisi yang dibuang ke lahan basah, tetapi juga kembali dijejali dengan tanaman-tanaman asli yang beraneka ragam.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/yn-HKcCJnQuDayzLY3oPW_mGbYk=/1024x655/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F484071_getattachmentb8d69807-f528-436d-81fb-957c629a1318475456.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Sebanyak 69 ahli gambut dari sembilan negara bersama Badan Restorasi Gambut (BRG) dan masyarakat melakukan penanaman bibit pohon belangiran di Desa Taruna Jaya, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (4/11/2017). Mereka menanam sekitar 50 bibit pohon di sela-sela kunjungan di Kalimantan Tengah sekaligus melihat proses restorasi lahan gambut pascakebakaran hutan dan lahan.

Di Indonesia, langkah pendekatan restorasi lahan basah khususnya gambut bisa dikatakan lebih maju. Sejak awal BRG (kini BRGM) menggunakan prinsip 3R dalam program restorasinya, yang terdiri dari rewetting (pembasahan kembali), revegetation (penanaman kembali), dan revitalization (pemulihan kesejahteraan warga). Jadi, gambut tidak hanya dibasahi kembali, tetapi juga dilakukan intervensi dengan penanaman aneka tanaman asli ataupun tanaman bernilai ekonomi yang hasil nonkayunya bisa dimanfaatkan untuk pemulihan kesejahteraan warga.

Hingga kini ada lebih dari 2 juta hektar lahan dan hutan gambut yang harus direstorasi. Ini membutuhkan waktu yang tak singkat. Karena itu, selain menggalakkan restorasi, perlindungan gambut dan mangrove tersisa pun mesti serius dilakukan mengingat kerusakan gambut memiliki buntut panjang pada perubahan iklim dan kesehatan warga akibat kebakaran hutan dan lahan.

Sebuah studi dari University of Leeds, 2 Desember 2021, yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Communications menunjukkan, Indonesia bisa menghemat biaya miliaran dollar AS jika bisa menjaga dan memulihkan lahan gambutnya.

Hasil riset ini diperoleh dengan menganalisis data emisi kebakaran dan tutupan lahan berbasis model satelit. Peneliti menemukan bahwa restorasi lahan gambut dapat menghasilkan penghematan ekonomi sebesar 8,4 miliar dollar AS untuk kurun 2004-2015.

Baca juga : Dorong Pendekatan Lanskap Berkelanjutan dalam Restorasi Ekosistem Lahan Basah