https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/jrIrfGjqMcoiyql6fKvQPuQOdqk=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F8089a3c4-980d-49da-9ec9-bee3a229f459_jpg.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Petugas gabungan dari BPBD Kota Palangkaraya dan Manggala Agni juga relawan pemadam kebakaran menyiapkan selang untuk melakukan pendinginan lahan gambut bekas terbakar, di Jalan Danau Rangas, Kota Palangkaraya, Kalteng, Selasa (06/10/2020). Hari itu terdapat 22 kejadian kebakaran di 14 kabupaten/kota di Kalteng.

JAKARTA, KOMPAS – Upaya merestorasi dan merehablitasi ekosistem lahan basah yang mencakup gambut, rawa, dan mangrove terus dilakukan oleh berbagai pihak. Itu membutuhkan pendekatan lanskap melalui koordinasi antar-lembaga untuk mewujudkan tata kelola lahan basah terpadu dan berkelanjutan.

Hal tersebut terangkum dalam laporan Bank Dunia terkait dengan tata kelola lahan gambut dan ekosistem dataran rendah lainnya di indonesia yang diluncurkan secara daring, di Jakarta, Kamis (4/2/2021).

Kajian Bank Dunia itu juga menyatakan, dalam pengelolaan lahan basah di Indonesia, perlu tata kelola air terpadu, penggunaan indikator kinerja pengelolaan lahan basah, dan penggunaan mekanisme intensif serta skema pendanaan

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Nani Hendiarti menyampaikan, kajian Bank Dunia itu bisa digunakan untuk mendukung program pemerintah yang dijalankan saat ini.

Baca juga Restorasi Gambut Jadi Kebutuhan untuk Pencegahan Kebakaran

Menurut Nani, pemerintahan berbasis lingkungan (environmental governance) dapat menjadi pendekatan baru dalam mengelola pembangunan berkelanjutan. Hal yang menjadi fokus dalam pendekatan ini antara lain pengelolaan lanskap berbasis multi pihak. Keterlibatan berbagai pihak ini penting karena ekosistem lahan basah saling terkoneksi meski lintas wilayah dan administrasi.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/j7JbPqKq15xEWY8GRN0UudCOFUs=/1024x1723/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20201022-H25-ADI-lahan-Gambut-mumed_1603383755.png

“Pengelolaan berbasis baku mutu bersifat biofisik akan bergerak menuju pendekatan penyediaan jasa dan fungsi lingkungan. Kemudian konsumen juga akan menuntut bisnis siap dengan matriks ramah lingkungan yang terkoneksi dari hulu hilir sesuai rantai pasok. Instrumen yang digunakan yaitu ekonomi lingkungan berbasis informasi,” ujarnya.

Pengelolaan berbasis baku mutu bersifat biofisik akan bergerak menuju pendekatan penyediaan jasa dan fungsi lingkungan.

Guna menuju upaya pendekatan lanskap yang terkoordinasi antar-lembaga, Kemenko Marves mendorong kementerian dan lembaga terkait untuk menyusun pembagian fungsi dan kewenangan dalam mengelola rezim tata air dan pemeliharaan infrastruktur pemulihan. Pembagian fungsi dan kewenangan ini dilakukan secara horizontal di tingkat pusat maupun vertikal di daerah.

Baca juga Perusahaan Perkebunan Sawit Kalteng Masih Langgar Komitmen Restorasi Gambut

Selain itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)  diharapkan menyempurnakan penghitungan Indeks Kualitas Ekosistem Gambut (IKEG) sesuai mandat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Penghitungan IKEG digunakan untuk menggambarkan kinerja pengelolaan ekosistem gambut.

Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawiraatmadja mengatakan, sejak 2017, BRGM dan Bank Dunia telah menyepakati sejumlah kegiatan restorasi yakni terkait tata kelola gambut dan pendanaan. Hal ini perlu dilakukan karena berkaca dari negara lain, upaya restorasi gambut membutuhkan waktu yang lama.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/dIBW14aSM6d2zSjmHhWwBYhqzoI=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F20200921IDO_Sumur_Bor3_1600681796.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Salah satu anggota Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Pangkoh Sari memeriksa kesiapan sumur bor yang dibuat sejak tahun 2019 oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) RI melalui Lembaga Kemitraan, pada Senin (21/9/2020). Selain memeriksa, mereka juga membasahi lahan gambut yang mulai mengering.

“Kami melakukan dua pendekatan yakni melalui respons cepat yang berorientasi mengurangi titik panas indikator terjadinya kebakaran. Kemudian melalui restorasi terstruktur atau komprehensif yang akan dibantu dan difasilitasi oleh Bank Dunia,” katanya.

Hartono berharap, program pengelolaan lanskap berkelanjutan dari Bank Dunia dapat terus diperbarui sebagaimana perkembangan yang terjadi di Indonesia dan pembelajaran dari pengalaman internasional. Selain kajian, diharapkan juga program ini dapat memberikan dukungan lain yang manfaatnya dapat dilihat dan dirasakan masyarakat di tingkat tapak.

Upaya pemerintah

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman menyatakan, ekosistem hutan memiliki keterkaitan erat dengan ekosistem lain sehinga dalam pengelolaannya tidak lepas dari lanskap yang berkelanjutan. Melalui pengelolaan ini, keberadaan hutan dapat menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mendukung keberlangsungan ekosistem lainnya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/gRwloxiv4nPAR4HrBO3qqt9ygv0=/1024x768/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201211WEN11_1607661874.jpgKOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga melintasi garis pantai yang nyaris menghilang karena abrasi di Pantai Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (11/12/2020). Hilangnya kawasan mangrove karena beralih sebagai tambak, area industri dan permukiman menjadi faktor utama kerusakan area pesisir utara jawa.

Sejumlah upaya yang dilakukan untuk mengelola hutan secara berkelanjutan di antaranya melalui penerbitan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini lalu diimplementasikan melalui Keputusan Menteri LHK tentang Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

“Upaya yang telah dilakukan membuahkan hasil terjadinya penurunan deforestasi dan degradasi hutan yang signifikan enam tahun terakhir. Laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia memiliki kecenderungan semakin menurun setiap tahunnya dan secara langsung berkontribusi bagi penurunan emisi gas rumah nasional,” ungkapnya.