https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/79kbB9SJcDmNN6Sp2MjP_EpQLSU=/1024x695/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20201212WEN1_1607756550.jpgKOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Perajin memperlihatkan salah satu produk inovasinya berupa pembalut wanita ramah lingkungan di Rumah Batik Zie, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (12/11/2020). Mereka saat ini harus membuat inovasi kain batik dengan berbagai macam produk turunannya.

JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran publik untuk mengonsumsi produk ramah lingkungan dan barang secukupnya terus digalakkan. Hal ini diharapkan mendorong produsen untuk memberi pilihan produk serupa dan lebih banyak pemberian label produk berkelanjutan.

Menurut anggota Dewan Pengawas Yayasan WWF Indonesia Natalia Soebagjo, di Jakarta, Minggu (18/7/2021), konsumen harus memiliki pola pikir untuk membeli produk-produk baik. Itu berarti produk tersebut dibuat secara bertanggung jawab oleh produsen, baik dari pemilihan bahan baku yang berkelanjutan, proses produksi ramah lingkungan, hingga proses yang ramah pada pekerjanya.

Produk yang sudah memenuhi prinsip-prinsip berkelanjutan kemudian disertifikasi lalu diberi label penanda atau ekolabel. Namun, belum semua produk berekolabel.

”Kita mesti teliti sebagai konsumen. Saya pribadi menerapkan prinsip (membeli barang) yang lebih gampang, misalnya dengan membeli barang yang perlu saja, bukan yang diinginkan. Kalau tidak perlu, jangan beli,” kata Natalia dalam diskusi daring.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/DLWg8NdxWgzkxNJuPEXpePtLdeg=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2FSupermarket-di-Jalan-Cemara_89657174_1591288767_jpg.jpgKOMPAS

Masyarakat memenuhi salah satu supermarket di Jalan Cemara, Medan, Sumatera Utara, Selasa (26/5/2020). Penularan Covid-19 masih terus terjadi di Sumut dan kini mencapai 315 kasus positif.

Adapun WWF Indonesia mengampanyekan gerakan ”Beli yang Baik” bersama Ashta District 8. Tujuan kampanye ini agar masyarakat memulai gaya hidup sederhana dengan konsumsi yang minim. Masyarakat juga diajak untuk membeli barang secara sadar atau mindful.

Baca juga: Saatnya Konsumen Pilih yang Ramah Lingkungan

Ada enam prinsip utama yang ditawarkan untuk mengonsumsi barang secara baik dan sadar. Pertama, membeli barang yang diperlukan. Kedua, beli barang produksi lokal. Ketiga, beli barang berbahan alami. Keempat, beli barang yang awet atau tahan lama. Kelima, beli produk berekolabel. Keenam, mempertanyakan apa produk yang dibeli berdampak negatif atau tidak ke lingkungan.

Kita mesti teliti sebagai konsumen. Saya pribadi menerapkan prinsip (membeli barang) yang lebih gampang, misalnya dengan membeli barang yang perlu saja, bukan yang diinginkan.

Natalia menuturkan, kesadaran membeli produk yang ramah lingkungan sudah mulai dimiliki sebagian masyarakat. Keberadaan konsumen kritis isu lingkungan diperlukan agar produsen terdorong memproduksi barang sesuai prinsip keberlanjutan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/cXQMrQmuuSXgOydY_pv-M1EOqrU=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2Fc9ec7172-ff8a-4014-8211-57b866eb9280_jpg.jpgKOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Karyawan toko ritel Hypermart Puri Indah di Kembangan, Jakarta Barat, mencari dan menyiapkan barang belanjaan yang dipesan konsumen melalui fasilitas percakapan dalam jaringan Whatsapp, Selasa (31/3/2020). Layanan belanja dari rumah bagi pelanggan yang bertempat tinggal sejauh maksimal 5 kilometer dari lokasi pembelian itu untuk mendukung imbauan pemerintah agar masyarakat tinggal dan bekerja dari rumah.

Menurut survei WWF Indonesia dan Nielsen pada 2017, sebanyak 63 persen konsumen Indonesia bersedia mengonsumsi produk ramah lingkungan. Sementara hasil studi MarkPlus menyatakan, 82 persen responden bersedia mengubah konsumsi produk-produk yang menggunakan minyak kelapa sawit berkelanjutan bila produknya tersedia di pasar. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pasar produk ramah lingkungan cukup tinggi.

”Jika konsumen semakin kritis, produsen akan menyesuaikan permintaan konsumen. Semakin mindful dan kritis konsumennya, maka ini akan mendorong produsen ke perubahan yang lebih baik,” ujar Natalia.

Baca juga: Konsumen Kian Butuh Label Pengidentifikasi Produk Sawit Berkelanjutan

Mulai dari rumah

Pada kesempatan sama, pendiri Tumbuhijaurban, Dila Hadju, mengatakan, kesadaran terhadap isu lingkungan bisa dimulai dari rumah. Menumbuhkan kesadaran bisa dari hal kecil, seperti mengajarkan anak cara memilah sampah. Sampah di rumahnya dibagi menjadi empat kategori, yaitu sampah daur ulang, organik, anorganik, serta B3 (bahan berbahaya dan beracun) dan residu.

Menurut Dila, anak usia 0-2 tahun hendaknya diajak mengenal lingkungan dengan stimulasi pancaindra. Anak usia 2-4 tahun dapat diajak mengenal variasi alam dan penghuninya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/0UKQ7uA_uCqHpAiJQUTVtiXa-h4=/1024x620/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2Fe6dd9668-04ad-442a-9bb0-c17c66943250_jpg.jpgKOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Tutup botol yang berhasil dikumpulkan ibu-ibu PKK saat bergotong royong memilah sampah di Kampung Kalibokor 1 Stal, Kelurahan Kertajaya, Kecamatan Gubeng, Surabaya, Jawa Timur (29/11/2020). Selain mencari nilai ekonomis dari sampah, kegiatan yang berlangsung dua minggu sekali itu untuk menjalin silaturahmi antarwarga dan menanggulangi permasalahan sampah pada lingkungan.

Anak usia 4-6 tahun dikenalkan siklus kehidupan. Ketika anak berusia 6-8 tahun, orangtua dapat mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan manusia akan berdampak ke lingkungan. Lalu, saat anak berusia 8-10 tahun, orangtua dapat menjabarkan kondisi lingkungan saat ini dan membimbing anak menjaga lingkungan.

”Jika anak sudah terbiasa, maka tidak akan sulit dan berat melanjutkannya. Semoga kepedulian lingkungan akhirnya menjadi kebutuhan, bukan lagi keharusan,” kata Dila dan suaminya, musisi Rayi Putra.