Warga yang menaiki kursi roda mengantre untuk menerima bantuan langsung tunai bahan bakar minyak dan bantuan pangan non-tunai di Kantor Pos Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (14/9/2022). Bantuan sebesar Rp 500.000 itu diharapkan dapat meringankan beban masyarakat di tengah kenaikan harga BBM dan sejumlah bahan pangan.KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Warga yang menaiki kursi roda mengantre untuk menerima bantuan langsung tunai bahan bakar minyak dan bantuan pangan non-tunai di Kantor Pos Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (14/9/2022). Bantuan sebesar Rp 500.000 itu diharapkan dapat meringankan beban masyarakat di tengah kenaikan harga BBM dan sejumlah bahan pangan.

Suasana Kantor Pos Cirebon di Jalan Yos Sudarso, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (14/9/2022), bukan pasar malam. Namun, banyak orang, termasuk anak-anak, hilir mudik. Pedagang kaki lima berdatangan melihat peluang. Mereka tidak sedang bermain, tetapi berusaha bertahan dalam pertarungan mempertahankan hidup.

Warga dari Kelurahan Karyamulya dan Kelurahan Pulasaren itu bahkan ada yang rela melantai di atas tanah. Tidak sedikit ibu-ibu menggendong anak sambil menghalau pengap dengan kipas. Tangisan bayi bercampur dengan suara warga dan pengumuman nomor antrean.

Mereka mengantre demi menerima uang Rp 500.000 dari pemerintah. Sebanyak Rp 300.000 berasal dari bantuan langsung tunai (BLT) BBM untuk September-Oktober. Sisanya, Rp 200.000, merupakan bantuan pangan non-tunai untuk bulan ini.

Setelah menunggu sekitar dua jam, Tarsini (40) dan ibunya, Saunah (56), akhirnya berada di bagian depan antrean. Mereka menunjukkan kartu tanda penduduk elektronik dan dokumen bukti penerima bantuan. Petugas kemudian memberinya uang masing-masing Rp 500.000 dan dipotret.

”Alhamdulillah, BLT ini membantu. Kemarin saya dapat Rp 350.000 dari jualan. Uang Rp 250.000 untuk modal. Untungnya, Rp 100.000. Tapi, itu habis untuk pijat cucu,” ucap Tarsini yang sehari-hari berdagang otak-otak dan es teh.

Baca juga: Meski Sulit, Jangan Berhenti Berbagi

 

Korek tabungan

Ratusan warga mengantre untuk menerima bantuan langsung tunai bahan bakar minyak dan bantuan pangan non-tunai di Kantor Pos Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (14/9/2022). Bantuan sebesar Rp 500.000 itu diharapkan dapat meringankan beban masyarakat di tengah kenaikan harga BBM dan sejumlah bahan pangan.KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Ratusan warga mengantre untuk menerima bantuan langsung tunai bahan bakar minyak dan bantuan pangan non-tunai di Kantor Pos Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (14/9/2022). Bantuan sebesar Rp 500.000 itu diharapkan dapat meringankan beban masyarakat di tengah kenaikan harga BBM dan sejumlah bahan pangan.

Menurut rencana, uang bantuan kali ini akan dijadikan modalnya berdagang. Namun, ia tidak yakin, uang ratusan ribu itu bertahan lama. Modalnya Rp 300.000 per hari. Jumlah bisa lebih tinggi karena harga sejumlah bahan pangan naik seiring melonjaknya harga BBM bersubsidi.

Harga kentang, misalnya, naik dari Rp 11.500 per kilogram (kg) menjadi Rp 14.000 per kg. Uang untuk beli bensin juga bertambah dari biasanya Rp 10.000 per hari jadi Rp 17.000. Dia terpaksa beli pertamax karena antrean pertalite terlalu panjang.

Memilih angkutan umum juga bukan solusi ideal. Tarif angkot yang sebelumnya Rp 5.000 kini menjadi Rp 6.000 per penumpang. Saat mengambil bantuan saja, Tarsini mengeluarkan uang sekitar Rp 32.000 untuk naik angkot dan ojek pergi pulang dengan jarak sekitar 14 kilometer. Belum lagi jika ada kebutuhan mendadak.

Beberapa waktu lalu, misalnya, ada biaya sekolah anaknya sekitar Rp 2,5 juta. Untungnya, saat itu Tarsini mendapatkan uang Rp 1,75 juta dari Program Keluarga Harapan yang cair setiap tiga bulan. Seketika uang itu pun habis. Bahkan, ia mengorek tabungannya untuk uang tambahan.

Belum lagi, suaminya kadang sakit. Setiap berobat, ia mengeluarkan sekitar Rp 50.000. Sebagai buruh harian lepas, suaminya tidak punya penghasilan tetap. Kadang ia jadi kuli bangunan dengan pendapatan Rp 110.000 sehari. Sayangnya, suaminya lebih sering menganggur.

Oleh karena itu, saat ditanya apakah bantuan Rp 500.000 dari pemerintah itu cukup, Tarsini memandang ke atas dan terdiam beberapa detik. ”Ya, cukup enggak cukup. Makanya, Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) tolong harga barang-barang jangan pada naik lagi,” katanya tersenyum.

Baca juga: BLT BBM Rp 150.000 Dinilai Terlalu Kecil

Jejak panjang

Warga menunjukkan uang Rp 500.000 yang merupakan bantuan langsung tunai bahan bakar minyak dan bantuan pangan non-tunai di Kantor Pos Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (14/9/2022). Bantuan itu diharapkan dapat meringankan beban masyarakat di tengah kenaikan harga BBM dan sejumlah bahan pangan.KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Warga menunjukkan uang Rp 500.000 yang merupakan bantuan langsung tunai bahan bakar minyak dan bantuan pangan non-tunai di Kantor Pos Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (14/9/2022). Bantuan itu diharapkan dapat meringankan beban masyarakat di tengah kenaikan harga BBM dan sejumlah bahan pangan.

 

Kenaikan BBM ini seperti menguak kembali jejak panjang kemiskinan yang selama ini ditanggung warga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jabar, jumlah warga miskin di Jabar tahun 2021 saja sudah mencapai 4,19 juta jiwa.

Kumalasari (43), warga Cirebon lainnya, kini menggantungkan hidup pada BLT BBM dan BPNT milik ibunya. Sama-sama hidup susah, janda beranak lima ini tidak mendapat bantuan negara. Padahal, dia mengatakan, sebelum kenaikan BBM, hidupnya serba pas-pasan.

Saban hari ia hanya meraup untung sekitar Rp 100.000 dari jualan kue keliling. Namun, ia juga harus mengeluarkan minimal Rp 50.000 untuk makan dan minum keluarganya.

”Semoga harga barang juga turun. Mendingan bantuan tidak ada, tetapi ekonomi cukup, pekerjaan ada. Percuma juga ada bantuan kalau harga BBM dan barang-barang naik,” kata Kumalasari.

Sebelumnya, pemerintah menyesuaikan harga BBM di tengah kenaikan harga minyak dunia dan geopolitik global. Kondisi itu membuat subsidi BBM membengkak tiga kali lipat, dari anggaran awal Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun.

Itu sebabnya, ada penyesuaian harga BBM. Sebagai kompensasi dan meredam inflasi, pemerintah memberikan BLT BBM, bantuan subsidi upah, dan dana transfer umum. BLT disalurkan kepada 20,65 juta keluarga di Indonesia, termasuk 38.537 penerima di Kota Cirebon.

Sekretaris Daerah Kota Cirebon Agus Mulyadi mengatakan, pemkot menyiapkan dana Rp 3 miliar untuk pelaku transportasi, nelayan, dan warga yang terdampak harga BBM. Itu merupakan 2 persen dari Rp 151 miliar DAU dan DBH Kota Cirebon periode Oktober-Desember.

Pihaknya juga menyiapkan Rp 5 miliar dari belanja tidak terduga untuk pengendalian inflasi. ”Kalau dibilang cukup, ya, relatif. Tapi, bantuan dari pemerintah ini sudah berdasarkan ukuran dan diharapkan meringankan warga yang terdampak penyesuaian harga BBM,” ucapnya.

Baca juga: Siasat Masyarakat Hadapi Dampak Kenaikan Harga BBM

 

Terjepit

Petugas memotret penerima bantuan langsung tunai bahan bakar minyak (BLT BBM) sebelum memberikan bantuan di Kantor Pos Bandung, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/9/2022). Pemotretan ini diperlukan sebagai bukti bahwa penerima manfaat telah mendapatkan bantuan.KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Petugas memotret penerima bantuan langsung tunai bahan bakar minyak (BLT BBM) sebelum memberikan bantuan di Kantor Pos Bandung, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/9/2022). Pemotretan ini diperlukan sebagai bukti bahwa penerima manfaat telah mendapatkan bantuan.

Buruh juga kini tidak tenang. Meski sebagian sudah mendapat bantuan subsidi upah (BSU), ada nasib orang terdekat juga butuh tambahan uang. Seperti roti lapis (sandwich), mereka terjepit di antara kondisi ini.

Novi (22), buruh salah satu pabrik di Kabupaten Subang, misalnya, bingung menyisihkan sebagian uangnya untuk orangtuanya. BSU sebesar Rp 600.000 hingga bantuan sosial dari pemerintah di tengah pandemi sebesar Rp 1,5 juta dan Rp 1 juta tidak seimbang dengan pengeluarannya.

”Saya biasa memberikan uang untuk orangtua. Namun, sepertinya sekarang akan saya simpan dulu. Beban hidup saya sekarang tidak ringan,” kata buruh berpenghasilan Rp 3 juta per bulan ini.

Keresahan Novi bertambah saat ada isu pabrik tempatnya bekerja bakal mengurangi waktu kerja. ”Baru dapat info dari teman-teman, katanya bisa kurang sampai Rp 500.000 per bulan. Mudah-mudahan tidak lama karena sekarang semuanya serba naik,” katanya.

Kekhawatiran akan kenaikan harga bahan pokok juga dirasakan oleh Deni (47), warga Kecamatan Regol, Kota Bandung. Penghasilannya jadi buruh serabutan jauh dari harapan hidup sejahtera.

BLT yang diberikan pemerintah sebesar Rp 150.000 per bulan gagal mencukupi kekurangan itu. Dalam sepekan, dia mengeluarkan uang lebih dari Rp 300.000 untuk menghidupi empat anggota keluarga lainnya.

”Penghasilan saya rata-rata seminggu hanya Rp 350.000 dalam seminggu. Seminggu ini kosong karena tidak ada pekerjaan. Kasihan anak-anak, makannya tidak pakai lauk. Sekarang beli telur saja sulit,” ujarnya.

Aneka bantuan dari pemerintah disambut senyum oleh penerimanya. Akan tetapi, kenaikan harga bahan pangan dan BBM juga perlu menjadi perhatian. Jangan sampai BLT jadi bantuan langsung tandas.

Baca juga: Beban Berat Generasi Sandwich