Dewan Pers meminta Presiden untuk menunda pengesahan RKUHP. Jubir Tim Sosialisasi RKUHP Albert Aries menyebut permintaan itu sama saja menghendaki ”status quo” dari kondisi penegakan hukum yang kaku dan tak berkeadilan.

 

JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pers melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang ditargetkan pada tahun ini. Dewan Pers menilai, draf RKUHP terbaru, versi 9 November 2022, masih memuat sejumlah pasal bermasalah yang berpotensi menghalangi kemerdekaan pers.

Draf tersebut juga dinilai belum mengakomodasi sejumlah masukan Dewan Pers yang disampaikan pada Juli lalu kepada pemerintah dan Agustus kepada DPR dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III.

Atas permintaan penundaan itu, Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP Albert Aries saat dikonfirmasi, Selasa (22/11/2022), mengungkapkan, masukan dari Dewan Pers sudah sedapat mungkin diakomodasi. Salah satunya, mengakomodasi masukan terkait penyerangan kehormatan, harkat, dan martabat presiden/wakil presiden ke dalam bagian penjelasan Pasal 218 RKUHP.

”Permintaan Dewan Pers untuk menunda pengesahan RKUHP sama saja menghendaki status quo dari kondisi penegakan hukum pidana yang kaku dan tidak berkeadilan,” ujar Albert Aries.

Berdasarkan siaran pers Dewan Pers terkini, permohonan penundaan pengesahan RKUHP tersebut dilakukan Dewan Pers dengan mengirimkan surat kepada Presiden pada 17 November 2022 lalu. Permohonan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa masih ada beberapa pasal di RKUHP yang secara substansi menghambat kemerdekaan pers.

”Secara substansi RKUHP masih bermuatan membatasi kemerdekaan pers dan berpotensi mengkriminalisasikan karya jurnalistik. Secara prosedural, Dewan Pers juga belum menerima respons balik yang resmi dari pemerintah atas usulan yang telah Dewan Pers sampaikan kepada pemerintah tanggal 20 Juli 2022,” kata Muhammad Agung Dharmajaya, Pelaksana Tugas Ketua Dewan Pers, dalam siaran persnya.

Sebelumnya, Dewan Pers menilai masih ada sembilan pasal yang mengancam kebebasan pers. Pasal itu di antaranya Pasal 188 RKUHP terkait tindak pidana terhadap ideologi negara serta Pasal 218-220 terkait tindak pidana penyerangan kehormatan, harkat, dan martabat presiden. Selain itu, ada pula Pasal 240-241 terkait penghinaan terhadap pemerintah yang sah, Pasal 246 dan 248 terkait penghasutan untuk melawan penguasa umum, serta Pasal 263-264 terkait penyiaran dan penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.

Ada pula Pasal 280 terkait tindak pidana gangguan dan penyesatan proses peradilan, Pasal 302-304 terkait tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan, Pasal 351-352 terkait penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara, Pasal 440 terkait penghinaan dan pencemaran nama baik, serta Pasal 437 dan 443 terkait tindak pidana pencemaran (Kompas.id, 16/7/2022).

Selain kepada pemerintah, Dewan Pers juga menyampaikan usulan reformulasi RKUHP kepada Komisi III DPR melalui rapat dengar pendapat umum pada 23 Agustus 2022. Saat itu, DPR pun menyambut usulan reformulasi tersebut dan kemudian menyerahkan usulan reformulasi itu kepada pemerintah.

Selain minta penundaan pengesahan, Dewan Pers juga mengusulkan agar dilakukan simulasi kasus terlebih dahulu terhadap beberapa pasal yang berpotensi menghalangi kemerdekaan pers. Meskipun meminta penundaan pengesahan, Agung menuturkan bahwa Dewan Pers pada dasarnya mendukung upaya pembaruan RKUHP yang mana tujuan hukum pidana dan pemidanaan adalah untuk perlindungan masyarakat, kesejahteraan masyarakat, dan keamanan masyarakat.

Menanggapi surat Dewan Pers tertanggal 17 November 2022 kepada Presiden Jokowi untuk menunda pengesahan RKUHP, Albert Aries tetap menghormati pandangan Dewan Pers tersebut. Namun, ia mengklarifikasi bahwa tidak benar RKUHP menghalangi dan mengkriminalisasi kemerdekaan pers. Sebab, pasal-pasal yang dipersoalkan oleh Dewan Pers sudah ada sejak lama dan eksistensinya sudah melalui serangkaian pengujian (judicial review) di Mahkamah Konstitusi.

Albert Aries menambahkan, berlakunya RKUHP adalah untuk ”setiap orang” dan tidak secara spesifik ditujukan kepada insan pers/jurnalis sebagai bagian dari demokrasi Pancasila. Apalagi, ketentuan Pasal 3, 4, dan 8 Kode Etik Jurnalistik juga mengatur bahwa dalam melakukan pemberitaan, wartawan harus menerapkan praduga tak bersalah, tidak memuat berita bohong dan fitnah, serta menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi.

”Jika yang dikhawatirkan oleh Dewan Pers adalah soal implementasi dan perilaku penegak hukum di awal sistem peradilan pidana, maka silakan dicek kembali putusan Mahkamah Agung yang begitu konsisten baik dalam perkara perdata maupun pidana, misalnya dalam kasus Bambang Harymurti, kasus Teguh Santosa, dan kasus Supratman, di mana Mahkamah Agung senantiasa mengedepankan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP, sepanjang mekanisme hak jawab dilakukan dan pers yang bersangkutan sudah terdaftar di Dewan Pers,” kata Albert Aries.

Selain itu, masukan dari Dewan Pers kepada Tim Perumus RKUHP juga telah sedapat mungkin diakomodasi. Misalnya terkait penyerangan harkat dan martabat diri presiden/wakil presiden, di bagian penjelasan Pasal 218 RKUHP sudah diberikan uraian mengenai apa yang dimaksud dengan ”dilakukan untuk kepentingan umum” sebagai alasan penghapus pidana. Di antaranya, kritik dalam Pasal 218 RKUHP ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

”Bunyi penjelasan dari Pasal 218 RKUHP itu juga diadopsi langsung dari bunyi ketentuan Pasal 6 huruf d UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurut dia, permintaan Dewan Pers untuk menunda pengesahan RKUHP sama saja menghendaki status quo dari kondisi penegakan hukum pidana yang kaku dan tidak berkeadilan. Ditambah lagi ada kondisi lembaga pemasyarakatan yang sudah overcrowding (kelebihan penghuni) yang diakibatkan oleh tidak adanya keseimbangan antara asas legalitas dan keadilan.

Hal itu semua ditawarkan oleh pembaruan RKUHP yang menganut keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif dan mengatur alternatif sanksi selain penjara (denda, pengawasan, dan kerja sosial) serta tujuan dan pedoman pemidanaan (standard of sentencing) sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern yang menjadi kebutuhan Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat.

Perlu sinkronisasi

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, berdasarkan informasi yang ia terima dari Komisi III DPR sebagai komisi teknis yang membahas RKUHP bersama pemerintah, masih ada beberapa pasal yang belum disinkronisasi para pihak. Namun, sebenarnya Komisi III DPR memiliki semangat yang sama dengan pemerintah, yakni untuk segera mengesahkan RKUHP di masa sidang ini.

”Oleh karena itu, teman-teman di Komisi III terus berupaya, bekerja keras siang dan malam, untuk melakukan harmonisasi dan komunikasi kepada masing-masing pihak, agar apa-apa yang belum selesai diharapkan dapat diselesaikan di akhir tahun 2022 ini,” ujar Dasco.

Untuk diketahui, masa sidang pembahasan RKUHP ini akan berakhir pada 15 Desember mendatang. Setelah itu, DPR akan memasuki masa reses hingga 9 Januari 2023.

Menurut dia, apabila nanti terdapat beberapa hal yang belum disepakati antara DPR dan pemerintah, diharapkan pemerintah juga tidak terlalu lama menyosialisasikannya kepada Presiden. Dengan begitu, RKUHP yang pengesahannya sudah dinanti ini bisa segera terealisasi. ”Itu harapan kita semualah, bukan hanya harapan DPR, tetapi juga harapan pemerintah,” ucapnya.

Bahkan, lanjut Dasco, jika pemerintah dan Komisi III DPR menginginkan pembahasan RKUHP ini dilakukan di tengah masa reses, pimpinan DPR akan menyetujuinya. Ini semata-mata agar pembahasan tersebut bisa berjalan dengan baik.