Wakil rakyat yang terkekeh saat gempa adalah cerminan ketidaksiapsiagaan kita. Gempa Cianjur menjadi penutup babak “masa bodoh” para pihak di negara dengan risiko bencana melimpah ini.
Oleh NELI TRIANA
Seorang wakil rakyat yang terekam tetap anteng duduk di kursinya sembari terkekeh geli itu tak berbeda dengan orang yang asik merekam video di dalam gedung tinggi, saat ia dan sekitarnya terayun-ayun terdampak gempa yang berepisentrum di Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022) siang. Alih-alih segera bergerak mengamankan diri, sebagian warga ibu kota dan sekitarnya kala itu bertahan di rumahnya, kantornya, sibuk berlomba menjadi pengunggah pertama pengalamannya di media sosial.
Sikap bodoh dan masa bodoh itu terus ditunjukkan banyak orang dari beragam latar belakang pendidikan, ekonomi, bahkan selebritas dan pejabat. Di lokasi gempa, masih banyak orang datang berkerumun untuk sekedar menonton proses evakuasi. Wisata bencana selalu menjadi tren baru usai musibah besar terjadi.
Penanganan di titik gempa dan kawasan terdampak paling parah pun tak secepat yang diharapkan. Laporan Harian Kompas, hingga hari kedua, bantuan masih belum merata didistribusikan di Cianjur. Warga korban bencana yang selamat menyebar mencari tempat sendiri dan berakhir tidur di tepi jalan raya, kandang kambing, tengah sawah yang berkontur landai, atau lahan terbuka terdekat yang bisa mereka temukan.
Padahal, Cianjur yang dikenal sebagai kawasan wisata alam, seperti tetangganya di Puncak, Bogor, itu, hanya 3,5 jam berkendara dari Jakarta dan 2,5 jam dari Kota Bandung, Jawa Barat. Kabupaten seluas sekitar 3.800 kilometer persegi di lereng Gunung Gede dengan kurang lebih 2,5 juta penduduk ini juga sudah lama akrab dengan gempa. Sejak 1969 hingga 2020, setidaknya terjadi delapan kali gempa. Kini, publik dan warga setempat terperanjat bukan kepalang ketika gempa memakan korban ratusan jiwa.
Hingga Kamis (24/11/2022), lebih dari 30 gedung sekolah di Cianjur rusak bersama lebih dari 50.000 rumah dan bangunan lain. Dari sekitar 130 jasad (total 272 korban jiwa) yang sudah teridentifikasi, hampir separuhnya berusia di bawah 15 tahun. Mereka terjebak di gedung sekolah dan di dalam rumah.
Sebagian bangunan di Cianjur memang berada di lahan curam, dekat persawahan berundak, minim tegakan pohon penghijauan. Perumahan padat di tepi jalan raya berjejalan dengan kafe, tempat makan, serta berbagai bangunan beton lainnya. Dari kerusakan yang terjadi saat gempa, diyakini hampir semua bangunan di sana bukan dibangun dan didesain tahan gempa.
Cianjur tak sendiri. Melompat ke Jakarta, lautan jutaan bangunan beton menutupi dataran seluas 661,5 kilometer persegi atau hanya seperenam Kabupaten Cianjur. Sebanyak lebih dari 10 juta warga menghuni ibu kota ditambah puluhan juta warga kota tetangga yang setiap hari beraktivitas di Jakarta. Sebagian bangunan, terutama fasilitas publik dan gedung tinggi yang dibangun sekitar 10-20 tahun terakhir telah diwajibkan didesain tahan gempa. Namun, belum ada data jelas berapa persen bangunan di Jakarta yang benar-benar tahan gempa.
Jika guncangan yang sama seperti di Cianjur melanda Jakarta yang juga rawan gempa, tak terbayangkan kerusakan yang terjadi.
Namun, tak terlalu susah mencari padanan dahsyatnya dampak gempa di perkotaan padat penduduk. Pada 27 Mei 2006, gempa bumi melanda Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah. Korban jiwa kala itu mencapai 6.000 jiwa dan kerusakan fisik luar biasa.
Mirisnya, gempa Yogyakarta itu belum jua menggerakkan pemerintah maupun publik semua daerah untuk serius memitigasi bencana yang tak sebatas seremoni, menempel tanda titik kumpul di lahan parkir kantor, dan menumpuk mi instan untuk cadangan bahan makanan.
Di Jakarta, bahkan bangunan sekolah masih dipertanyakan kekuatannya terlebih setelah pada pekan pertama Oktober lalu, tembok salah satu sekolah di Jakarta Selatan roboh dihantam banjir dan menewaskan tiga siswanya.
Gempa Cianjur kali ini kembali mengingatkan semua pihak bahwa mitigasi bencana sangat penting dilakukan. Langkah bijaksana jika Kabupaten Cianjur menjadi laboratorium lapangan tempat penanganan pascabencana yang tepat sekaligus menjadi acuan mitigasi bencana daerah lain.
Seiring berbagai upaya penanganan jangka pendek, bisa segera ditetapkan secara bertahap dan target waktu terukur untuk membenahi tata ruang seluruh Cianjur dengan memperhatikan bentang alam, risiko bencana, dan kebutuhan ruang warganya.
Pembangunan ulang fasilitas publik, seperti gedung sekolah, yang tahan gempa dan menjadi tempat bernaung warga sekitar kala bencana menggempur lagi kelak menjadi prioritas. Bersamaan dengan itu, dicari cara membangun rumah dan memastikan bangunan yang sudah ada agar tidak mematikan siapa pun kala musibah terjadi kembali.
Di luar itu, mewujudkan upaya memastikan respons tepat saat bencana menjadi budaya sehari-hari warga. Caranya bisa dengan menggelar latihan rutin di kurikulum sekolah, program pos yandu di kampung, juga dibahas dalam pengajian dan arisan warga di perkampungan.
Pemerintah pusat juga jangan ragu menegakkan regulasi dengan sanksi tegas, yang dijadikan pegangan pemerintah daerah membenahi tata ruang serta meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana di wilayahnya. Penghentian transfer dana alokasi umum dan dana alokasi khusus (DAU/DAK) -jika daerah tak punya rencana tata ruang wilayah yang baik- bisa membuat pemda berlomba memenuhi kewajibannya.
Dari Cianjur, saatnya menutup babak “masa bodoh” terhadap bencana dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Belum terlambat, karena di negeri kepulauan seperti Indonesia, gempa pasti akan berulang di banyak tempat, termasuk di Cianjur.