Magnitudo gempa di Cianjur yang baru saja terjadi sebenarnya tergolong kecil. Namun, apa yang membuat gempa kemudian menelan ratusan korban dan ribuan rumah rusak?

Oleh YOESEP BUDIANTO

Gempa berkekuatan Magnitudo 5,6 yang melanda Cianjur dan sekitarnya menyebabkan banyak kerusakan dan korban jiwa. Meskipun kejadian gempa tidak dapat dihentikan, risiko kerusakan dan korban jiwa sebenarnya dapat ditekan apabila seluruh pihak memahami kerentanan geologis wilayah dan diimbangi infrastruktur standar aman gempa.

Gempa berkekuatan M 5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat, dan sekitarnya pada 21 November 2022. Getaran gempa dapat dirasakan hingga wilayah Jakarta yang berjarak lebih dari 100 kilometer.

Hingga 23 November 2022, BNPB mencatat korban jiwa sebanyak 271 orang dan masih ada korban hilang sejumlah 40 orang. Selain korban jiwa, jumlah masyarakat yang mengungsi mencapai sekitar 61.908 orang dan korban luka 2.043 jiwa.

Sementara kerusakan rumah masyarakat karena gempa terhitung lebih dari 56.320 unit. Selain rumah, sejumlah bangunan fasilitas umum turut mengalami kerusakan parah, seperti rumah sakit daerah dan perkantoran. Sebagian ruas jalan juga terpaksa putus karena getaran gempa.

Apabila dibandingkan dengan sejarah gempa bumi yang berulang terjadi di sekitar Cianjur atau Indonesia, magnitudo gempa di Cianjur yang baru saja terjadi sebenarnya tergolong kecil. Gempa besar sebelumnya pernah terjadi pada 2012 dengan kekuatan M 6,1. Kekuatan gempa Cianjur yang baru saja terjadi jugamasih lebih kecil dari gempa Palu (M 7,4) ataupun gempa Aceh (M 9,1).

Mempertimbangkan kekuatan gempa yang sebenarnya relatif kecil dari gempa besar lain, ada faktor penyebab lain yang menyebabkan banyak kerusakan dan kehilangan keluarga. Saat dilihat lebih mendalam, faktor penyebab kerusakan parah selain kekuatan gempa ialah jarak lokasi dari sumber gempa, pola dan jalur penjalaran gelombang gempa, serta tingkat kepadatan kondisi tanah.

Kedalaman episentrum gempa Cianjur tercatat 10 kilometer sehingga tergolong gempa dangkal. Kedalaman yang dangkal membuat magnitudo gelombang makin bersifat rusak. Apalagi, ada dua jenis gelombang yang muncul karena pergerakan struktur geologi, yaitu gelombang primer dan sekunder. Keduanya memiliki sifat merusak, tetapi memiliki pola dan daya rusak berbeda.

Gelombang gempa yang pertama kali menjalar disebut dengan gelombang primer. Sifatnya belum terlalu merusak dan memiliki pola penjalaran gelombang yang turun dan naik secara bergantian. Adapun gelombang sekunder jauh lebih merusak karena pola penjalaran mendatar zig-zag. Akibatnya, banyak bangunan rusak berat.

Selain ukuran magnitudo gempa, skala guncangan gempa juga terukur saat kejadian bencana. Skala guncangan gempa Cianjur mencapai VI-VII MMI yang menunjukkan bahwa hampir semua penduduk dapat merasakan getaran dengan jelas. Karakteristik gempa sangat menentukan tingkat kerusakan.

Hanya saja, dampak di Cianjur terpantau jauh lebih parah dari sekadar kekuatan getaran gempa dari dalam Bumi. Secara teknis, harusnya setiap bangunan memiliki standar aman gempa, khususnya di wilayah rawan. Banyaknya bangunan rumah dan fasilitas publik yang hancur menunjukkan faktor kualitas bangunan turut menjadi penyebab.

 

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/JudCw9K_iUAlOV3AYn5Fq9GJ6oo=/1024x2565/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F23%2F0df31740-3127-4c2b-8981-6f1a2ff2cf0d_jpg.jpg

Kerentanan geologis

Kabupaten Cianjur memiliki kerentanan geologis yang perlu diwaspadai. Berdasarkan pantauan BMKG, lokasi gempa berada di darat pada koordinat 107,05 Bujur Timur dan 6,84 Lintang Selatan dengan kedalaman 10 kilometer.

Episentrum gempa terletak sekitar 9,65 kilometer dari Kota Cianjur dan 16,8 kilometer dari Kota Sukabumi. Posisi sumber gempa yang berada di daratan saja sudah dapat dipastikan kerusakan akan lebih parah dari yang diperhitungkan, apalagi di dekatnya ada pusat permukiman atau perkotaan. Hal itu diperparah munculnya longsor karena runtuhnya stabilitas lereng akibat gempa.

Kerentanan geologis wilayah Cianjur dapat didalami melalui tiga pendekatan, yaitu morfologi, struktur geologi, dan material geologi. Morfologi wilayah Cianjur didominasi dataran hingga perbukitan bagian tenggara Gunung Api Gede. Artinya, semua wilayah tidak akan luput dari guncangan gelombang gempa.

Wilayah-wilayah perbukitan juga memiliki potensi longsor yang tinggi. Struktur lereng yang miring sangat rawan mengalami penurunan stabilitas, terlebih guncangan gempa akan membuat tanah runtuh dan terjadi longsor. Kerentanan morfologi turut diperparah karakteristik struktur geologi di bawahnya.

Kabupaten Cianjur terbukti sangat berisiko terjadi gempa karena pergeseran sesar. Secara geologi, wilayah tersebut dilalui sesar aktif Cimandiri. Struktur geologi tersebut melintas dari Pelabuhan Ratu, Kota Sukabumi, Kota Cianjur, hingga Padalarang, kemudian disambung Sesar Lembang di dekat Kota Bandung.

Setelah meninjau posko pengungsi di Taman Prawatasari, Presiden Joko Widodo berhenti di posko pengungsian lainnya di Kampung Warung Bawang, Desa Cibeureum, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur (22/11/2022).

MUCHLIS JR - BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN

Setelah meninjau posko pengungsi di Taman Prawatasari, Presiden Joko Widodo berhenti di posko pengungsian lainnya di Kampung Warung Bawang, Desa Cibeureum, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur (22/11/2022).

Kajian risiko kebencanaan gempa tidak akan lepas dari besarnya pengaruh struktur geologi, khususnya sesar atau patahan. Pergeseran struktur menyebabkan getaran kuat hingga permukaan. Karena itu, tidak heran apabila semua wilayah yang dilalui sesar gempa perlu waspada.

Selain struktur geologi, kerentanan geologis lainnya adalah jenis batuan dan tingkat konsolidasinya. Secara umum, wilayah Cianjur disusun oleh endapan kuarter (usia geologi muda) berupa batuan rombakan gunung api muda, yaitu breksi, lava, dan tuff. Material lain yang cukup dominan adalah aluvial dari pengendapan sungai.

Seluruh material tersebut memiliki kecenderungan bersifat lunak, lepas, dan belum terkonsolidasi dengan maksimal sehingga memperkuat efek guncangan dari gempa. Apalagi, banyak dari material batuan tersebut yang mengalami pelapukan sehingga strukturnya jauh lebih lemah.

Kewaspadaan tinggi sangat dibutuhkan untuk wilayah-wilayah yang rentan secara geologi. Apalagi, setelah guncangan besar pertama, gempa akan disusul dengan guncangan-guncangan lain yang jumlahnya bisa ratusan kali. Dalam kasus gempa Cianjur, BMKG mencatat sedikitnya ada 162 gempa susulan dengan kekuatan terbesar M 4,2.

Melihat kerentanan geologis yang tinggi, sebagian besar wilayah Cianjur sebenarnya masuk kategori kawasan rawan bencana (KRB) gempa yang tinggi. Potensi guncangan terbesarnya bisa lebih dari VIII MMI dan bersifat sangat merusak.

Santri di Pesantren Al Mubarok di Jalan Cisarua, Sarampad, Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mengumpulkan barang-barang yang bisa diselamatkan dari kerusakan akibat gempa, Rabu (23/11/2022).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Santri di Pesantren Al Mubarok di Jalan Cisarua, Sarampad, Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mengumpulkan barang-barang yang bisa diselamatkan dari kerusakan akibat gempa, Rabu (23/11/2022).

Bangunan

Setelah memahami kerentanan geologis wilayah, implementasi pengetahuan tersebut ke dalam kebijakan dan pembangunan akan meningkatkan kesiapan daerah saat menghadapi gempa. Kerusakan infrastruktur di Cianjur tergolong parah. Banyak sekali korban berjatuhan karena tertimpa bangunan.

Ribuan rumah masyarakat runtuh karena gempa, demikian pula bangunan publik, seperti sekolah dan rumah sakit. Besarnya kerusakan bangunan yang harusnya lebih kecil karena standar pembangunan aman gempa menjadi bukti bahwa kualitas bangunan masih kurang memerhatikan aspek keselamatan.

Sebenarnya, Indonesia sudah cukup lama mengadopsi konsep bangunan aman gempa, khususnya dari Jepang. Secara umum, bangunan aman gempa dirancang dengan standar kombinasi beban, material, dan penempatan massa struktur bangunan. Bangunan tersebut mampu bertahan dan bersifat fleksibel untuk meredam guncangan.

Pemerintah telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) Bangunan Gedung Tahan Gempa 2002, kemudian diperbarui tahun 2012 dan 2019. Versi terbaru SNI Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non-Gedung memuat persyaratan minimum mengenai beban, tingkat bahaya, kriteria yang terkait, dan sasaran kinerja untuk bangunan gedung.

SNI tersebut juga memuat kategori risiko gempa berdasarkan jenis bangunan. Level tertinggi bangunan aman gempa meliputi sekolah, rumah ibadah, rumah sakit, bangunan monumental, kantor polisi, tempat perlindungan darurat bencana, dan pusat layanan publik.

Aturan yang sudah mengakomodasi risiko gempa selayaknya diiringi dengan standardisasi bangunan di Indonesia dengan pengawasan ketat di seluruh bangunan. Pengawasan ini perlu dilakukan bukan hanya untuk bangunan-bangunan tinggi dan fasilitas publik, melainkan juga hunian masyarakat. Sebab, risiko lebih besar juga terletak pada bangunan rumah yang umumnya dibangun sendiri tanpa bekal pengetahuan yang cukup tentang risiko bencana.

Masyarakat juga perlu memahami karakteristik wilayah tempat tinggalnya. Pengetahuan yang cukup tentang risiko bencana adalah modal besar untuk menekan besarnya dampak yang ditimbulkan karena bencana. (LITBANG KOMPAS)