Bisnis, JAKARTA — Holding Badan Usaha Milik Negara Pertambangan Mining Industry Indonesia atau MIND ID meminta industri pengolahan dan pemurnian komoditas pertambangan mendapatkan harga gas bumi tertentu untuk mempercepat proses penghiliran di dalam negeri. Lili Sunardi & Nyoman Ary Wahyudiredaksi@bisnis.com

MIND  ID  meni-lai ketersediaan energi  primer,  termasuk  gas  dengan insentif khusus  dibu-tuhkan  oleh  pabrik  pengolahan  dan pemurnian atau smelter untuk menjamin industri tersebut berjalan dengan  lebih  kompetitif.Direktur Utama MIND ID Hendi Prio  Santoso  berharap  industri  smelter  bisa  mendapatkan  harga  gas  bumi  tertentu  (HGBT)  agar  bisa  melakukan  konversi  energi  dari  penggunaan  bahan  bakar  yang  memiliki  emisi  tinggi.Harapannya,  penggunaan  gas  bumi  juga  dapat  memperbesar  kontribusi  industri  penghiliran  terhadap  pencapaian  target  net zero  emission  yang  sedang  di-upayakan  oleh  pemerintah.“Kalau  Kementerian  ESDM  [Energi  dan  Sumber  Daya  Mine-ral]  memberikan  insentif  kepa-da  industri  lain,  seperti  keramik  dan lainnya, kami juga ingin du-kungan  yang  sama  agar  smelter  dan industri penghiliran kegiatan mineral  juga  bisa  mendapatkan  insentif,”  katanya  dalam  Rapat  Dengar  Pendapat  dengan  Komisi  VII  DPR,  Kamis  (24/11).Pemerintah  melalui  Peraturan  Presiden  No.  121/2020  tentang  Perubahan atas Peraturan Presiden No.  40/2016  tentang  Penetapan  Harga Gas Bumi memberikan HGBT senilai  US$6  per  Million  British  Thermal  Unit  (MMBTU)  kepada  tujuh  industri,  yakni  pupuk,  pet-rokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca,  dan  sarung  tangan  karet.Akan tetapi, kata Menteri ESDM Arifi  n  Tasrif,  pemerintah  hanya  memberikan  HGBT  kepada  per-usahaan yang terdaftar dari tujuh industri  tersebut.  Artinya,  tidak  semua  perusahaan  dari  tujuh  in-dustri  tersebut  serta  merta  men-dapatkan  HGBT.“HGBT memang ditujukan untuk tujuh  industri,  dan  selanjutnya  dikumpulkan jenis industri terse-but  beserta  perusahaannya  oleh  Kementerian  Perindustrian.  Nah  yang terdaftar dalam daftar itulah yang  masuk  ke  dalam  kelompok  [penerima  HGBT]  itu,”  kata  dia.Saat ini, ada usulan untuk me-nambah sektor industri penerima HGBT untuk mendorong investasi di Tanah Air. Usulan tersebut pun tengah  dibahas  bersama  dengan  Kementerian  Keuangan,  karena  harga tersebut mengurangi bagian negara dan biaya transmisi untuk mengalirkan  gasnya.Menurut  Arifi  n,  hingga  kini  In-donesia  belum  memiliki  aturan  untuk memberikan harga gas yang kompetitif  kepada  industri.  Meski  demikian, Kementerian ESDM siap menyalurkan gas kepada investasi baru yang akan masuk ke Indonesia.Di sisi lain, berdasarkan catatan Kementerian  ESDM  hingga  kini  penyerapan pasokan gas dari tujuh industri  penerima  HGBT  belum  optimal.  Tahun  lalu,  penyerapan  gas dengan harga tertentu berada pada  kisaran  81,08%  dari  total  alokasi  sebesar  1.241  BBTUD.Pupuk dan petrokimia menjadi industri  yang  paling  banyak  me-nyerap  gas  bumi  dengan  harga  tertentu, yakni masing-masing se-besar  730,14  BBTUD  dan  77,29  BBTUD.Direktur  Jenderal  Minyak  dan  Gas  Bumi  Kementerian  ESDM  Tutuka  Ariadji  mengatakan  bah-wa  pemerintah  terus  mendorong  pemanfaatan  gas  bumi  untuk  mendorong  pertumbuhan  eko-nomi  nasional.  Hingga  Septem-ber  2022,  pemanfaatan  gas  oleh  industri  mencapai  29,73%  atau  terbanyak  dibandingkan  dengan  sektor  lainnya.“Sebagian  besar  pemanfaatan  gas  dalam  negeri  untuk  sektor  industri sebesar 29,73%,” katanya.Setelah  industri,  pemanfaatan  gas  untuk  ekspor  LNG  mencapai  20,66%,  selanjutnya  gas  untuk  pupuk 13,03%, kelistrikan 11,46%, ekspor gas pipa 11,41%, domestik LNG 8,52%, lifting 3,48%, domes-tik  LPG  1,45%,  gas  kota  0,19%,  serta  gas  fuel  0,08%.Sementara itu, Sumatra Selatan tercatat  sebagai  daerah  yang  pa-ling banyak menyerap gas melalui pipa pada tahun ini dengan porsi 0,38%,  diikuti  oleh  Kalimantan  Timur  0,13%,  Jawa  Timur  dan  Sulawesi  Tengah  masing-masing  0,12%, Jawa Tengah 0,02%, serta Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah  masing-masing  0,01%.SATU HARGADalam kesempatan terpisah, Fo-rum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB)  mendorong  pemerintah  untuk menerapkan kebijakan satu harga gas domestik yang berlaku untuk  seluruh  industri.Permintaan  itu  disampaikan  setelah  inisiatif  pemberlakuan  harga  gas  US$6  per  MMBTU  le-wat  Keputusan  Menteri  ESDM  No.  134/2021  tentang  Pengguna  dan  Harga  Gas  Bumi  di  Bidang  Industri  tidak  berjalan  optimal  dalam  1  tahun  terakhir.Vice  Chairman  FIPGB  Achmad  Wijaya  mengatakan  bahwa  ke-bijakan  harga  gas  khusus  untuk  industri  domestik  belakangan  justru  menghambat  pasokan  ke  industri  dalam  negeri.“Di  dalam  perjalanan,  belum  sempurna  dan  belum  semua  da-pat  walau  hanya  tujuh  industri.  Usulan  kami  kalau  pemerintah  hitung  sana  dan  sini,  birokrasi  panjang, kenapa tidak bikin satu harga  saja,”  katanya.Malahan,  Achmad  menambah-kan,  industri  pengguna  gas  siap  membayar US$7 per MMBTU jika pemerintah  mau  menerapkan  satu  harga  gas  domestik,  karena  industri  dalam  negeri  memiliki  kemampuan  untuk  membeli  gas  dengan  harga  tersebut,  sehingga  bisa mengoptimalkan penerimaan negara  bukan  pajak  atau  PNBP.“Supaya  seluruh  industri  bisa  produksi  tiga  shift agar  industri  bisa  setor  pajak  lebih,  multiplier effect-nya  lebih  banyak,  itu  yang  harus dipikirkan pemerintah. Kalau tidak  sanggup  beri  subsidi  US$6  per  MMBTU,”  tuturya.Selain itu, FIPGB juga meminta pemerintah  untuk  memperluas  industri  penerima  manfaat  kebi-jakan  HGBT.  Perluasan  industri  penerima  manfaat  itu  diyakini  bakal  berdampak  positif  untuk  menjaga momentum pertumbuhan ekonomi  nasional  saat  ini.Adapun, Kementerian Perindus-trian  (Kemenperin)  melaporkan  perkembangan  sejumlah  kawa-san  industri  andalan  pemerintah  terhambat  akibat  ketidakpastian  pasokan gas dengan harga khusus.Pembina  Industri  Ahli  Madya  Direktorat  Industri  Kimia  Hulu  Kemenperin Tri Ligayanti menga-takan sebagian besar investor ma-sih menunggu kepastian pasokan gas  dengan  harga  patokan  US$6  per  MMBTU.  Akibatnya,  renca-na  investasi  dan  ekspansi  pada  kawasan  industri  tersebut  masih  belum  agresif.“Kawasan industri baru, yaitu di kawasan  Semarang,  Kendal,  dan  Batang, di sini banyak investor yang menanyakan soal kepastian untuk mendapatkan HGBT, namun di sisi infrastruktur pertumbuhan kawa-san  industri  baru  ini  terkendala  belum adanya pipa transmisi dari Cirebon  ke  Semarang,”  kata  Tri.Berdasarkan hasil kajian Kemen-perin bersama dengan LPEM FEB UI  pada  tahun  ini,  permintaan  gas  bumi  domestik  diproyeksi-kan  naik  dari  3.600  MMSCFD  ke  level  4.700  MMSCFD,  atau  naik 30% sepanjang 2022 hingga 2030.  Permintaan  gas  bumi  itu  masih  didominasi  oleh  wilayah  Sumatra  dan  Jawa.Di sisi lain, pasokan gas dari la-pangan existing ataupun plan of de-velopment (PoD) turut mengalami peningkatan dari 3.578 MMSCFD ke level 5.146 MMSCFD. Mayoritas lapangan  gas  potensial  berada  di  kawasan  timur  Indonesia.“Kami  sangat  berharap  realisasi  dari infrastruktur gas bumi tersebut agar dapat mendukung industri, ter-utama di Kawasan Industri Kendal dan Batang yang kemarin diresmi-kan  oleh  Pak  Presiden,”  kata  dia.Dia  menambahkan,  sebagian  besar  industri  belakangan  juga  meminta pasokan gas yang lebih besar  untuk  segera  beralih  dari  batu  bara  menuju  gas  bumi  se-bagai  bahan  bakar  mereka.Hanya saja, minimnya infrastruk-tur  saat  ini  belum  mampu  untuk  memenuhi permintaan gas sebagai medium  transisi  energi  tersebut.“Industri-industri yang mulai ber-kembang  di  kawasan  timur  ingin  mengganti energinya dari batu bara ke  gas  bumi,  industri  seperti  di  Morowali dan lainnya,” kata dia. Sum