Oleh ADE ANGGRAINI

Kekuatan gempa Cianjur tergolong sedang, tetapi menelan banyak korban jiwa dan menimbulkan kerusakan cukup berat. Mengapa satu daerah bisa menanggung akibat gempa yang begitu parah?

Senin, 21 November 2022, 13.21 WIB, Pulau Jawa kembali diguncang gempa dengan episenter berjarak hanya 10 kilometer dari Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Situs resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan gempa berkekuatan M 5,6 berpusat di 6,84 LS, 107,05 BT pada kedalaman 10 kilometer. Hingga artikel ini disusun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat korban meninggal 271 orang, 40 jiwa dalam pencarian, 2.043 luka-luka, dan sekitar 61.000 orang mengungsi.

Dampak gempa dirasakan oleh 12 kecamatan di Provinsi Jawa Barat. Kekuatan gempa Cianjur yang tergolong sedang, tetapi menelan banyak korban jiwa dan menimbulkan kerusakan yang cukup berat tentunya menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat. Mengapa satu daerah bisa menanggung akibat gempa yang begitu parah? Mungkinkah kita mengetahui potensi dampak gempa di wilayah tempat tinggal kita?

Risiko gempa Busur Sunda

Sumatera dan Jawa adalah dua pulau besar di Busur Sunda yang terkenal aktif secara tektonik. Studi tentang bahaya gempa di Busur Sunda telah menarik perhatian para peneliti sejak lama.

Studi mengenai gempa zona subduksi terutama fenomena gempa megathrust pembangkit tsunami, intensif dilakukan sebagai respons terhadap bencana gempa dan tsunami Boxing Day 2004.

Tak hanya Sumatera, studi kegempaan zona subduksi dan tsunami di Jawa juga intensif dilakukan terutama sejak kejadian gempa tsunamigenik 27 Juli 2006 yang menghantam pesisir Pangandaran dan Cilacap dan menelan ratusan korban jiwa. Lewat studi kegempaan dan tsunami di Sumatera dan Jawa ini pula kita bisa memiliki sistem peringatan dini tsunami yang andal seperti sekarang.

Gencarnya diseminasi hasil studi kegempaan dan tsunami di zona subduksi melalui publikasi ilmiah di jurnal ternama maupun melalui forum yang melibatkan kalangan awam, meningkatkan literasi masyarakat mengenai potensi bencana yang berasal dari aktivitas zona subduksi tadi. Sebagai negara kepulauan tempat interaksi tiga lempeng utama —Eurasia di utara-barat, Indoaustralia di selatan, dan Pasifik di timur—potensi bahaya gempa di Indonesia tak hanya berasal dari zona subduksi.

Infografik Gempa Cianjur

Aktivitas tektonik masa lalu bersama dinamika interaksi tiga lempeng utama saat ini, menghasilkan banyak fitur tektonik dan vulkanik di sebagian besar wilayah Indonesia. Salah satu fitur tektonik yang terbentuk dan patut diwaspadai adalah patahan atau sesar dangkal di kerak bumi (shallow crustal fault).

Sesar semacam ini memiliki potensi dampak yang tidak kalah mengerikan dibandingkan gempa megathrust. Dangkalnya sumber gempa dan letaknya yang di daratan membuat jarak antara sumber gempa dan infrastruktur yang dibangun manusia menjadi sangat dekat.

Kondisi geologi lokal di mana bangunan berdiri dan kurangnya pemahaman tentang bangunan tahan gempa juga menjadi faktor penentu dampak gempa. Kombinasi semua faktor di atas membuat kejadian gempa bumi akibat sesar dangkal tadi seolah menjadi mesin pencabut nyawa yang mengintai setiap saat di negara berpenduduk padat seperti Indonesia.

Tipe sesar

Fenomena gempa Cianjur sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia. Sebagian dari kita pasti masih ingat gempa yang mengguncang Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah di Sabtu pagi, 27 Mei 2006. Gempa itu berkekuatan M6,3 berpusat di 8,007° LS dan 110,286° BT pada keda- laman 17 kilometer, menewaskan sekitar 5.700 jiwa. Lebih dari 100.000 rumah dan bangunan runtuh atau rusak.

Dari lokasi episenter dan kedalamannya, gempa Yogyakarta 2006 dan gempa Cianjur 2022 disebabkan oleh tipe sesar yang mirip. Gempa Yogyakarta awalnya ditafsirkan bersumber di Sesar Opak karena kerusakan paling parah berada di sepanjang Kali Opak yang selama ini digambarkan sebagai lokasi sesar tersebut dalam peta geologi.

Namun, rekaman gempa susulan gempa Yogyakarta 2006 menunjukkan episenter gempa susulan berada di tinggian Wonosari, sekitar 15 kilometer di timur Kali Opak (Walter dkk, 2007, Walter dkk, 2008). Episenter gempa utama 2006 versi United States Geological Survey (USGS) juga menunjukkan posisi dekat dengan gempa susulan.

Temuan ini menimbulkan pemahaman baru terhadap lokasi sesar penyebab gempa Yogyakarta dan menuntut penjelasan tentang diskripansi lokasi sumber gempa dan daerah yang menderita kerusakan parah. Seperti yang dijelaskan di atas, selain kekuatan gempa dan jarak antara sumber gempa dengan daerah yang merasakan getaran, ada faktor lain yaitu kondisi geologi lokal daerah.

Dalam kasus gempa Yogyakarta, ketebalan sedimen dan sifat fisis material sedimen yang tidak kompak di sepanjang zona kerusakan menyebabkan penguatan amplitudo saat gelombang gempa mengguncang zona tersebut (amplifikasi). Guncangan tanah yang kuat merobohkan bangunan berkualitas buruk dan menewaskan penghuninya.

Bagaimana dengan gempa Cianjur? Beberapa pihak menyinyalir gempa ini disebabkan oleh pergerakan salah satu segmen sesar Cimandiri. Sesar Cimandiri sendiri membentang dari Sukabumi, melintasi Kabupaten Cianjur, hingga berhenti di barat laut Kabupaten Bandung. Sejak 2009, tercatat beberapa kali gempa terjadi di sepanjang sesar Ciman- diri mengindikasikan aktifnya sesar ini.

Usaha karakterisasi sesar Cimandiri sebenarnya sudah banyak dilakukan, mulai dari identifikasi geometri segmen sesar dengan pemetaan distribusi seismisitas yang akurat maupun pencitraan struktur bidang sesar menggunakan tomografi seismik. Selain geometri sesar, kuantifikasi kecepatan dan arah pergeseran segmen aktif juga dilakukan melalui observasi data global positioning system (GPS).

Terlepas dari publikasi hasil studi yang telah dilakukan, keberadaan permukiman warga di sepanjang sesar Cimandiri merupakan fakta yang tak dapat dimungkiri. Idealnya, daerah sepanjang zona sesar aktif adalah daerah yang terlarang untuk dihuni. Faktor dekatnya jarak bangunan dengan pusat gempa bersama faktor kualitas bangunan menyebabkan tingginya korban jiwa dan bangunan rusak akibat gempa Cianjur.

Literasi berbasis sains

Kembali ke pertanyaan di awal, mungkinkah kita mengetahui potensi dampak gempa di sekitar kita dan terhindar dari efek fatal? Upaya dari sisi sains untuk mengetahui potensi dampak gempa dangkal di Indonesia sudah cukup banyak dilakukan oleh para peneliti di lembaga riset, perguruan tinggi, serta institusi terkait. Sayangnya, hasil penelitian dan upaya dari sisi sains tersebut, belum secara konsisten diadopsi sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan dan literasi mitigasi gempa.

Hal ini jauh berbeda dengan isu dampak perubahan iklim di mana pemerintah maupun kelompok masyarakat sipil intens menggaungkan pendekatan kebijakan dan literasi berbasis sains. Sementara dampak gempa dan kebencanaan kebumian lainnya sangat nyata.

Sains dan topik seperti gempa telanjur dianggap hal yang rumit untuk dipahami masyarakat umum. Padahal, memopulerkan pendekatan sains sebagai dasar kebijakan dan literasi masyarakat tak sesulit yang dibayangkan.

Sebagai contoh, peta intensitas guncangan gempa (shakemap) dari BMKG bisa jadi rujukan masyarakat untuk mengetahui potensi dampak gempa di wilayahnya. Jika ada start up yang tertarik mengembangkan versi aplikasi populer yang mudah diakses masyarakat, akan sangat membantu upaya mitigasi.

ilustrasi

Tentunya kita punya pekerjaan rumah untuk memperbaiki akurasi dan resolusi. Namun, pekerjaan rumah yang lebih besar adalah sejauh mana kita konsisten menggunakan prediksi sains dalam kebijakan? Hal yang sederhana soal kebijakan tata ruang wilayah dan standar bangunan adalah contohnya.

Di sisi literasi, edukasi kebencanaan tak melulu harus lewat buku teks. Anak- anak usia sekolah di wilayah Gunung Merapi, misalnya, belajar mitigasi gunung api lewat ekstrakurikuler sekolah.

Di era kemudahan informasi digital saat ini, banyak ruang bagi literasi sains kebencanaan hadir lewat berbagai format dan bahasa yang dekat dengan masyarakat. Andaikan kesadaran pentingnya sains mendasari komitmen kita untuk berikhtiar hidup berdampingan dengan fenomena alam yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia, dampak katastropik seperti Cianjur, dapat kita hindari.

Ade AnggrainiDosen Departemen Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada