KOMPAS/PRIYOMBODO
Foto aerial longsor yang memutus jalur Cipanas-Cianjur di Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Selasa (22/11/2022). Proses pembersihan material longsor di jalur utama yang menghubungkan Kabupaten Bogor menuju Kabupaten Cianjur tersebut dilakukan dengan menggunakan alat berat. Kini jalur tersebut sudah bisa dilintasi dengan sistem buka tutup karena proses pembersihan yang masih berlangsung.
Gempa bumi M 5,6 yang mengguncang Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat, pada Senin (21/11/2022) yang menewaskan ratusan orang bukanlah yang pertama dan bisa berulang. Bencana kali ini harus menjadi pelajaran untuk memperkuat mitigasi agar gempa berikutnya tidak lagi menelan korban jiwa.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, pusat gempa M 5,6 kali ini berada di 6,84 derajat Lintang Selatan, 107,05 derajat Bujur Timur atau sekitar 10 kilometer (km) barat daya Kabupaten Cianjur dan 15 km timur laut Kota Sukabumi. Adapun hiposenter gempa berada di kedalaman 10,152 km di bawah tanah.
Catatansejarah menunjukkan, kawasan Cianjur-Sukabumi, yang dilalui sesar darat Cimandiri, telah berulang kali dilanda gempa. Gempa kali ini pun bukan terkuat yang bisa terjadi di jalur sesar ini.
Bangunan tembok dianggap simbol kemakmuran, sebaliknya rumah kayu dan bambu simbol ketertinggalan.
Mengacu pada Peta Sumber dan Bahaya Gempa Bumi Indonesia pada 2017, Sesar Cimandiri memiliki tiga segmen, yaitu Rajamandala sepanjang 45 km dengan potensi gempa hingga M 6,6, Nyalindung-Cibeber sepanjang 30 km dengan potensi gempa hingga M 6,5, dan Cimandiri sepanjang 23 km dengan potensi gempa hingga M 6,7.
Laporan Supartoyo dan tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dalam ”Katalog Gempa Bumi Merusak di Indonesia 1612-2014” menyebutkan, pada 10 Oktober 1834, terjadi gempa yang merusak bangunan dan memicu retakan jalan Bogor-Cianjur. Diperkirakan intensitas guncangannya mencapai VIII-IX modified mercally intensity (MMI).
Berikutnya, gempa merusak di Cianjur-Sukabumi terjadi pada 1879, 1900, 1910, dan 1912. Gempa pada 28 Maret 1879 menyebabkan banyak kerusakan bangunan di Sukabumi. Southeast Asian & Caribbean Images (KITLV) juga mencatat kerusakan parah di kawasan Pecinan Cianjur.
Setelah kemerdekaan Indonesia, gempa bumi juga berulang kali melanda Cianjur-Sukabumi, seperti pada 2 November 1969 dengan kekuatan M 5,4. Gempa ini pusatnya di kedalaman 57 km dan banyak menimbulkan kerusakan. Bahkan, getaran gempa yang kuat juga terasa hingga Bogor.
Baca juga: Gempa Cianjur M 5,6 Bukan yang Terkuat dan Bisa Berulang
Pada 26 November 1973, gempa M 4,3 juga melanda dan menimbulkan retakan tanah dan bangunan di Citarik dan Cidadap, Sukabumi. Berikutnya, pada 10 Februari 1982, terjadi gempa M 5,5. Laporan Kompas pada 13 Februari 1982 menyebutkan, gempa ini merusak 1.500 rumah dan banyak orang terluka.
KLIPING KOMPAS
Kliping digital Harian Kompas pada 13 Februari 1982 terkait gempa di Cianjur.
Gempa bumi berkekuatan M 5,1 kemudian terjadi pada 12 Juli 2000. Supartoyo melaporkan, di Sukabumi sebanyak 35 orang luka-luka, 365 bangunan rusak berat, dan 633 bangunan rusak ringan. Gempa juga menyebabkan kerusakan RS Cibadak.
Bahaya gempa dangkal
Rangkaian gempa di Cianjur-Sukabumi ini pada umumnya memiliki kekuatan skala menengah. Bahaya dari gempa bumi yang sumbernya dari sesar darat memang tidak hanya kekuatannya, tetapi juga kedekatan sumber gempa dengan permukiman. Hal ini pula yang terjadi dengan gempa kali ini. Sekalipun kekuatannya relatif kecil, pusat gempa yang dangkal membuat efek guncangannya lebih kuat.
Berdasarkan rekaman intensity meter BMKG, gempa di Cianjur-Sukabumi ini memiliki getaran terkuat VII dalam skala MMI, yang berarti lebih kecil dibandingkan intensitas gempa pada 1834, sebagaimana dilaporkan Supartoyo. Skala MMI ini merekam efek guncangan gempa di tanah yang bisa direspons bangunan. Selain dipengaruhi kekuatan gempa dan kedalamannya, juga jalur penjalaran gelombang dan kondisi tanah setempat.
Ahli gempa di Pusat Seismologi Teknik BMKG, Rachmat Triyono, mengatakan, getaran VII MMI ini tercatat di Kecamatan Kadudampit, Sukabumi dan Kecamatan Sukaresmi, Cianjur. Sementara di Kecamatan Cipanas, Cianjur, dalam skala VI MMI.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para korban gempa yang dirawat di halaman RSUD Sayang, Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022). Gempa berkekuatan Magnitudo 5,6 berdampak pada sejumlah tempat di wilayah Kabupaten Cianjur.
Mengacu tabel referensi guncangan, Rachmat mengatakan, bangunan yang mengikuti standar tahan gempa seharusnya hanya mengalami rusak ringan hingga sedang dengan guncangan VI-VII MMI, seperti retak pada dinding dan tidak sampai merobohkan struktur utama.
Jadi, sekalipun gempa dangkal kali ini tergolong kuat efek guncangannya, jika struktur bangunan tahan gempa, seharusnya tidak memicu kerusakan fatal. Laporan Guru Besar Fakultas Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Sarwidi menyebutkan, bangunan tahan gempa dengan sistem Barrataga yang dirancangnya bisa bertahan dari guncangan gempa bumi tahun 2006 di Yogyakarta yang memiliki intensitas maksimum IX MMI (Kompas, 13 Juli 2015).
Mitigasi gempa
Risiko gempa bumi di jalur Cianjur-Sukabumi ini sebenarnya telah disadari sejak zaman Belanda. Menurut kesaksian astronom sepuh Bambang Hidayat (88), Belanda dulu melarang masyarakat di Cianjur dan Sukabumi membangun rumah tembok dan merekomendasikan menggunakan bahan kayu dan bambu. Sementara kawasan Cugenang, yang dalam gempa kali ini mengalami longsor dan banyak menelan korban jiwa, dilarang untuk hunian.
Baca juga: Bukan Gempa yang Membunuh
Bambang, yang pernah menjadi Kepala Observatorium Bosscha dan Guru Besar Departemen Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan, larangan tersebut kemungkinan terkait dengan keberulangan gempa di situ. Namun, setelah kemerdekaan, larangan membangun rumah tembok ini dianggap sebagai politik Belanda untuk merendahkan martabat masyarakat Indonesia. Bangunan tembok dianggap simbol kemakmuran, sebaliknya rumah kayu dan bambu simbol ketertinggalan.
Padahal, rumah tembok memang lebih rentan terhadap guncangan gempa sekalipun bisa diperkuat agar tahan gempa dengan berbagai rekayasa. Sementara itu, secara tradisional, masyarakat Indonesia sebenarnya telah memiliki kemampuan membangun rumah kayu dan bambu yang tahan gempa.
FRANSISKUS PATI HERIN
Contoh rumah darurat tahan gempa yang terbuat dari daun sagu. Rumah itu ditemukan di lokasi pengungsian Desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, pada Desember 2019.
Untuk saat ini, sepertinya mustahil untuk kembali ke bangunan tradisional dan melarang masyarakat membangun rumah tembok. Namun, pengetahuan dan kesadaran leluhur kita untuk membangun rumah tahan gempa harus terus dipegang karena kita memang tinggal di zona tektonik aktif sehingga rentan gempa bumi.