DRAWING/ILHAM KHOIRI
Ahmad Arif, wartawan Kompas
Ribuan bangunan rusak dan ratusan orang meninggal setelah gempa berkekuatan M 5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022) pukul 13.21. Sekalipun terjadinya gempa bumi tak bisa dicegah, risiko jatuhnya korban jiwa sebenarnya bisa dihindari jika bangunan kita memenuhi standar aman gempa.
Jika dibandingkan dengan deretan gempa bumi yang telah berulang terjadi di negeri ini, magnitudo gempa di Cianjur kali ini tergolong kecil. Bandingkan, misalnya, dengan gempa Palu sebesar M 7,4 pada 2018 atau bahkan gempa Aceh sebesar M 9,1 pada 2004.
Ambruknya bangunan akibat gempa bumi memang tidak semata-mata disebabkan magnitudo gempa. Namun, selain kekuatan gempa, jarak sumber gempa juga bisa menentukan, selain juga jalur penjalaran gelombang dan kondisi tanah setempat.
Upaya untuk memperkuat bangunan rakyat agar tahan gempa mau tak mau harus diiringi dengan insentif.
Pusat gempa yang dekat di darat dan hiposenter dangkal jelas bisa memperkuat efek getaran tanah. Mengacu data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pusat gempa bumi kali ini berada di kedalaman sekitar 10 kilometer (km), relatif dangkal. Sedangkan jaraknya sekitar 10 km barat daya Kabupaten Cianjur dan 15 km timur laut Kota Sukabumi.
Meski demikian, berdasarkan data BMKG, guncangan tanah (shakemap) akibat gempa di Cianjur memiliki kekuatan rata-rata VI dan maksimal VII dalam skala modified mercally intensity (MMI). Jadi, sekalipun getarannya tergolong kuat, potensi merusaknya dalam kategori sedang.
Mengacu skala VI-VII MMI, bangunan yang mengikuti standar aman gempa seharusnya hanya mengalami rusak ringan hingga sedang, seperti retak-retak pada dinding dan atap, tidak sampai merusak struktur utamanya. Struktur bangunan yang telah didesain aman gempa seharusnya masih bisa bertahan hingga guncangan skala IX MMI.
Faktanya, banyak bangunan di Cianjur yang roboh sehingga banyak korban jiwa. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Selasa (22/11/2022) sore, sebanyak 6.570 rumah rusak berat, 2.071 rumah rusak sedang, dan 12.641 rumah rusak ringan. Sedangkan korban jiwa mencapai 268 orang dan 151 orang masih dalam pencarian.
Baca juga: Gempa Lagi, Rusak Lagi
Bahkan, sejumlah bangunan publik, seperti sekolah dan rumah sakit, juga rusak parah. Hal ini menunjukkan bahwa bukan kekuatan gempa yang menyebabkan banyaknya korban jiwa di Cianjur, melainkan kualitas bangunan yang buruk.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Warga melintasi reruntuhan di Desa Gasol, Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Selasa (22/11/2022). Kondisi kerusakan akibat gempa yang melanda Cianjur pada Senin (22/11/2022) terlihat pada sejumlah wilayah desa yang terdampak.
Secara teknis, bangunan publik seharusnya bisa bertahan dari guncangan gempa kali ini, kalau memang didesain dan dibangun mengikuti standar. Oleh karena itu, perlu investigasiuntuk mengetahui apakah ada kelalaian dalam pembangunan dan pengawasan bangunan publik yang rusak ini atau ada faktor lain.
Untuk bangunan rakyat, yang kebanyakan dibangun oleh tukang, memang masih jadi pekerjaan rumah terbesar. Riset ahli bangunan aman gempa Teddy Boen (2015) menunjukkan, dari 30,2 juta rumah penduduk di perkotaan, 81 persennya berada di zona gempa kuat. Sedangkan dari 30,8 juta rumah di perdesaan yang berada di zona gempa kuat sebesar 85 persen. Bangunan di zona gempa ini, terutama rumah rakyat, baik di perdesaan maupun perkotaan, umumnya belum mengikuti standar aman gempa.
Bangunan tradisional di Indonesia, termasuk di Sunda, yang menggunakan kayu dengan fondasi umpak atau ditumpukkan di atas batu, dinding bambu, serta teknik sambungan pasak dan ikatan seperti terlihat di Kampung Naga di Tasikmalaya dan Baduy di Banten, sebenarnya tahan gempa. Namun, rumah-rumah dari batu bata rata-rata belum mengikuti kaidah aman gempa yang menunjukkan adanya keterputusan pengetahuan tradisional ke modern.
Baca juga: Kegagalan Mitigasi Bangunan Tahan Gempa
Bangunan tembok yang mulai meluas dipakai setelah era kolonial memang lebih rentan terdampak guncangan gempa walau sejumlah ahli telah menunjukkan cara untuk memperkuatnya. Teddy Boen dan tim, misalnya, mengembangkan teknik perkuatan rumah rakyat dengan melapisi dinding bata dengan kawat ayam di kedua sisinya. Setelah itu, setiap sisi yang telah dilapisi kawat ayam diplester campuran semen dan pasir setebal 2 sentimeter. Lapisan itu disebut ferrocement (Kompas, 8 Mei 2015).
VIDELIS JEMALI
Seorang tukang memasang kawat pada dinding sebuah rumah untuk menghasilkan rumah tahan gempa dalam pelatihan di Desa Rogo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulteng, awal Desember 2019.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Sarwidi juga mengembangkan sistem Barrataga, akronim dari bangunan rakyat tahan gempa. Prinsip dasar Barrataga adalah dengan memberikan pengikat-pengikat praktis yang biasanya terbuat dari beton untuk memperkokoh bangunan, selain memberikan lapisan pasir di bawah fondasi bangunan yang berfungsi sebagai bantalan yang meredam gaya gempa (Kompas, 13 Juli 2015).
Pemerintah juga sudah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Bangunan Gedung Tahan Gempa 2002 dan diperbarui pada 2012 dan 2019. Meski demikian, SNI ini hanya diberlakukan untuk bangunan tinggi. Misalnya, di Jakarta, hanya bangunan di atas delapan lantai yang dipantau keamanan konstruksinya.
Padahal, risiko lebih besar pada bangunan rakyat yang umumnya dibangun sendiri atau oleh tukang, tanpa desain teknis. Pemberlakuan SNI bangunan tahan gempa untuk rumah rakyat memang tidak akan mudah.
Baca juga: Audit Bangunan Kurangi Risiko
Sekalipun hampir seluruh wilayah Indonesia berada di zona kegempaan yang aktif, kebanyakan masyarakat kita belum sadar tentang pentingnya membangun rumah tahan gempa dan kalaupun mau, terkendala biaya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Kendaraan yang tertimpa beton di Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, akibat gempa, Selasa (22/11/2022). Kondisi kerusakan akibat gempa yang melanda Cianjur pada Senin (22/11/2022) terlihat pada sejumlah wilayah desa yang terdampak.
Upaya untuk memperkuat bangunan rakyat agar tahan gempa mau tak mau harus diiringi dengan insentif, khususnya bagi masyarakat kurang mampu, dan edukasi untuk masyarakat yang mampu.
Pemerintah Jepang, misalnya, memberikan subsidi kepada warganya agar mau merenovasi rumah lama sesuai standar gempa terbaru. Ini karena pengurangan risiko bencana dianggap sebagai investasi (Kompas, 16 Desember 2016).
Tanpa perubahan dalam perspektif publik, kebijakan pemerintah, dan implementasi, gempa yang terus berulang di Indonesia akan identik dengan kerusakan bangunan dan korban jiwa. Padahal, bukan gempa yang mematikan, tetapi bangunan kita yang abai terhadap prinsip tahan gempa yang selalu menimbulkan korban.