Perubahan Sistem Pendidikan Kedokteran Perlu Dipersiapkan Matang

Perubahan yang akan dilakukan pada sistem pendidikan kedokteran perlu mempertimbangkan berbagai hal sehingga tujuan untuk pemerataan dan peningkatan jumlah dokter di Indonesia bisa dipastikan.

Oleh
DEONISIA ARLINTA
 

Muhammad Asroruddin, dokter spesialis mata di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura, Pontianak (baju batik), membimbing koasistensi (koas) sarjana kedokteran FK Untan, awal Mei 2015, di Pontianak, Kalimantan Barat.

KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA (ESA)

Muhammad Asroruddin, dokter spesialis mata di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura, Pontianak (baju batik), membimbing koasistensi (koas) sarjana kedokteran FK Untan, awal Mei 2015, di Pontianak, Kalimantan Barat.

JAKARTA, KOMPAS — Intervensi pada sistem pendidikan kedokteran menjadi salah satu solusi untuk mengatasi persoalan kurangnya jumlah dokter spesialis dan subspesialis di Indonesia. Namun, intervensi tersebut perlu dimatangkan sehingga solusi yang dihasilkan bisa memastikan ketersediaan dokter spesialis yang merata dan mencukupi.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga, di Jakarta, Senin (12/12/2022), mengatakan, berbagai hal perlu dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan terkait pemenuhan dokter spesialis di Indonesia. Itu termasuk soal rencana pemerintah untuk mengubah sistem pendidikan kedokteran dari yang sebelumnya hanya berbasis perguruan tinggi menjadi berbasis perguruan tinggi dan berbasis rumah sakit.

Menurut Tjandra, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan jika akan menerapkan sistem pendidikan berbasis perguruan tinggi dan rumah sakit. Pertama, kesenjangan perlakuan bisa terjadi antara dokter spesialis yang dididik di fakultas kedokteran dan dokter yang dididik berbasis rumah sakit.

Kedua, kurikulum dan tenaga pendidik yang akan terlibat dalam sistem pendidikan perlu dipersiapkan, terutama pada sistem pendidikan berbasis rumah sakit. ”Sekarang ini jenjang jabatan akademik adanya di sistem fakultas kedokteran, bukan di rumah sakit. Kurikulum juga dibuat oleh insan pendidikan di fakultas. Jadi, kalau akan pendidikan berbasis rumah sakit, hal-hal ini perlu diselesaikan dahulu,” katanya.

Baca juga: Pemenuhan Kekurangan Dokter Spesialis Jangan Korbankan Kualitas

Hal ketiga yang juga patut dipertimbangkan, yakni pada sistem pengawasan dan bimbingan. Pengawasan dan bimbingan diperlukan untuk memastikan pendidikan bisa berjalan dengan baik dan bermutu.

Data Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Program Profesi Dokter (UKMPPD)

DOKUMENTASI KEMDIKBUDRISTEK

Data Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Program Profesi Dokter (UKMPPD)

Tjandra berpendapat, kebijakan yang sebelumnya pernah diterapkan di Indonesia bisa menjadi pertimbangan lain untuk perbaikan sistem pendidikan kedokteran saat ini. Kebijakan tersebut mengamanatkan pada dokter yang baru lulus akan ditempatkan di puskesmas di seluruh Tanah Air dengan status pegawai negeri sipil (PNS). Setelah tugas di puskesmas selesai, dokter tersebut bisa melanjutkan pendidikan spesialisasi.

Kebijakan tersebut, menurut Tjandra, memiliki sejumlah keunggulan. Keunggulan tersebut, antara lain, menjamin ketersediaan dokter di puskesmas serta memastikan dokter bisa menerima gaji. ”Karena sudah PNS, ketika selesai di puskesmas dan masuk pendidikan spesialis maka tentu saja dokter dapat menerima gaji. Jadi, berbeda dengan situasi sekarang,” tuturnya.

Rencana untuk mengubah sistem pendidikan kedokteran berbasis rumah sakit dan perguruan tinggi dari sebelumnya hanya berbasis perguruan tinggi sempat disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat dialog dengan dokter peserta program pendidikan dokter spesialis secara daring, di Jakarta, Minggu (4/12/2022). Dengan mengubah pendidikan berbasis rumah sakit diharapkan dapat meningkatkan jumlah dokter.

Bagi dokter umum yang mengambil pendidikan spesialis berbasis rumah sakit, ia akan mendapatkan gaji sebagai pegawai rumah sakit sekaligus dokter tersebut bisa mendapatkan pendidikan dokter spesialis. Konsep tersebut juga diterapkan di sejumlah negara, seperti Australia, Amerika Serikat, dan Malaysia.

Budi menyampaikan, ketersediaan dokter di Indonesia baru mencapai 0,48 dokter per 1.000 penduduk. Padahal, standar ideal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 1 dokter per 1.000 penduduk.

Unjuk rasa para dokter muda di teras Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Jakarta, awal April 2019. Mereka menuntut ijazah dokter setelah usai mengikuti program ko-asisten di rumah sakit diberikan.

KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR

Unjuk rasa para dokter muda di teras Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Jakarta, awal April 2019. Mereka menuntut ijazah dokter setelah usai mengikuti program ko-asisten di rumah sakit diberikan.

Akan tetapi, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam menuturkan, apabila pemerintah akan mengubah sistem pendidikan kedokteran menjadi pendidikan berbasis rumah sakit, perubahan kebijakan perlu dilakukan. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran menyebutkan, pendidikan kedokteran diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Ketersediaan dokter di Indonesia baru mencapai 0,48 dokter per 1.000 penduduk. Padahal, standar ideal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 1 dokter per 1.000 penduduk.

Sementara terkait dengan insentif atau gaji, pada peraturan tersebut sebenarnya sudah mengatur bahwa mahasiswa berhak memperoleh insentif di rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran. Insentif tersebut diberikan oleh rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis.

Baca juga: Dokter Spesialis di Indonesia Belum Merata, Kemenkes Buka Beasiswa

Revisi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran sudah sempat diusulkan. Meski DPR telah sepakat membahas revisi tersebut, prosesnya hingga kini belum juga rampung (Kompas, 30/9/2021).

Transformasi

Budi dalam siaran pers yang diterima Sabtu (10/12/2022) menuturkan, upaya pemenuhan dokter spesialis beserta fasilitas penunjang di rumah sakit merupakan bagian dari transformasi sistem kesehatan di Indonesia. Ia pun menargetkan kebutuhan dokter spesialis di seluruh rumah sakit umum daerah (RSUD) bisa segera terpenuhi.

Sementara dokter spesialis yang menjadi prioritas pemenuhan di RSUD, yakni spesialis onkologi, spesialis jantung dan pembuluh darah, spesialis neurologi, serta spesialis nefrologi. Kebutuhan dokter tersebut berkaitan dengan jenis penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia, yaitu penyakit jantung, stroke, dan kanker.

Bupati Banyumas Achmad Husein didampingi dokter dan tenaga kesehatan berkunjung ke RSUD Margono Purwokerto untuk menyemangati pasien dan para dokter dalam menghadapi Covid-19,  akhir Juni 2021.

HUMAS PEMKAB BANYUMAS

Bupati Banyumas Achmad Husein didampingi dokter dan tenaga kesehatan berkunjung ke RSUD Margono Purwokerto untuk menyemangati pasien dan para dokter dalam menghadapi Covid-19, akhir Juni 2021.

”Rumah sakit di semua provinsi pada 2024 harus bisa melayani penyakit jantung, stroke, dan kanker. Akses layanan dan standar layanan tertentu untuk jantung, stroke, dan kanker harus rata tersedia di semua provinsi,” kata Budi.

Ia menuturkan, salah satu upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan tenaga dokter yakni melalui sistem kesehatan akademik. Program tersebut sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Menteri Kesehatan tentang Peningkatan Kuota Penerimaan Mahasiswa Program Sarjana Kedokteran, Program Dokter Spesialis, dan Penambahan Program Studi Dokter Spesialis melalui Sistem Kesehatan Akademik.

Baca juga: Pendidikan Dokter Spesialis, Investasi SDM Masa Depan Bangsa

Salah satu konsep yang diusung dalam sistem kesehatan akademik, yakni mengintegrasikan pendidikan kedokteran bergelar dengan program pendidikan profesional kesehatan lainnya yang memiliki rumah sakit pendidikan ataupun berafiliasi dengan rumah sakit pendidikan dan sistem kesehatan.

”Kebutuhan dokter harus diperbanyak, harus ada akselerasi dan 10 tahun terakhir ini akselerasinya sangat lambat. Jadi, ini harus dipercepat baik dokter umum maupun dokter spesialis,” ujar Budi.